Cerpen : Cinta dalam diam
Hay haayy. Assalamua’laikum. Piye kabare? Apik-apik ae kan? Hihi ;p aku
punya cerpen lagi nih. Adakah yang mau baca? Cerpen ini udah lumayan lama juga
aku buat, dari pada Cuma mendem di laptop bagus aku share ke blogku tercinta
ini kan? Hehe.
Oh yaa, mau curcol dikit dulu boleh tak? Boleh lah ya! Kemaren pas hari
Rabu aku nggak masuk kuliah, bukannya nggak ada jam tapi ada kendala yang bikin
aku nggak datang. Trus aku juga nggak ngasi kabar sama sekali ke anak kelas.
Malamnya Mumun SMS gini :
Bisa kebaca nggak dari hp jelek aku tu? Aku jelasin deh, katanya gini :
“beb kamu apa kabar? Aku kangen. Rasanya galau, satu hari ini nggak ada kabar
dari kamu.” Hihi. Duuuh, bebebku lebai deh ;* makasih ya udah kangenin aku.
trus tadi pas aku masuk kelas dengan tampang nggak bersalah banyak anak kelas
yang nanyain gini : “kemana kemaren? Bla bla bla.” Haha! wah, jadi keberadaan
aku penting yah woi? ;p
Oke, makasi. Love u F! ;* memiliki kalian adalah hal terindah buat aku
*acieee. Lebeh!* waaah, curcolnya kepanjangan ya? Oke langsung aja. Lest check this out :
Bisa kebaca nggak dari hp jelek aku tu? Aku jelasin deh, katanya gini :
“beb kamu apa kabar? Aku kangen. Rasanya galau, satu hari ini nggak ada kabar
dari kamu.” Hihi. Duuuh, bebebku lebai deh ;* makasih ya udah kangenin aku.
trus tadi pas aku masuk kelas dengan tampang nggak bersalah banyak anak kelas
yang nanyain gini : “kemana kemaren? Bla bla bla.” Haha! wah, jadi keberadaan
aku penting yah woi? ;p
Oke, makasi. Love u F! ;* memiliki kalian adalah hal terindah buat aku
*acieee. Lebeh!* waaah, curcolnya kepanjangan ya? Oke langsung aja. Lest check this out :
Cerpen : Cinta dalam diam
Author : Muthi Haura
Rasa cinta itu normal. Mencintai seseorang itu pun normal. Yang
membedakannya hanyalah, bagaimana cara orang tersebut menyikapi rasa cinta itu.
Hujan turun dengan deras bagaikan pantulan manic-manik yang membasahi
bumi dengan sangat indahnya. Aku tersenyum pelan. Mataku masih asik memandangi
mushaf Qur’an dan membacanya dengan penuh kenikmatan. Yah, bagiku mendekatkan
diri dengan Allah adalah kenikmatan yang sangat luar biasa. Bulu kudukku
merinding saat lidah ini melafazkan sebuah ayat dari surah Ar-Rahman yang
berbunyi fabiayyi ala irabbi kuma
tukazzibaan. Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan? Butiran
bening meleleh lembut membasahi pipiku. Teringat bahwa diri ini begitu jarang
bersyukur. Begitu sering mengeluh. TEEEEEEEEEEEET! Bel berbunyi dengan nyaring
menandakan waktu istirahat telah habis. Kusudahi bacaan Qur’anku dan
jari-jariku dengan lihai melipat mukenah. Aku menarik nafas pelan sembari
bersyukur karna bisa menikmati waktu dhuha bersama-Nya. Sesekali kurapikan
jilbab panjangku. Aku melangkah ringan melewati koridor menuju kelas XI IPA 2,
kelasku yang terletak paling ujung.
“Hey! Dari mana aja nih? ngilang mulu tiap istirahat.” Ujar Rasya teman
sekelasku. Aku tersenyum kepada Rasya. “Biasa neng, ada panggilan hati.”
Jawabku sekenanya. Rasya manggut-manggut tak mengerti. Sesekali gadis cantik
disampingku itu merapikan poninya. “Aku mencintainya Fa! Aku nggak bisa hidup
tanpanya. Aku nggak akan rela jika dia dengan perempuan lain.” Curhat Rasya.
“Siapa?”
“Muhammad Faqih. Eh, ke-WC bentar ya. Kebelet nih.” kata Rasya sembari
berlari meninggalkanku. Aku tertegun. Muhammad Faqih? Akh! kenapa aku memiliki
perasaan yang sama?
Tanpa sengaja aku berpapasan dengannya. Dengan seorang cowok bernama
Muhammad Faqih yang entah kenapa selalu memenuhi memori otakku akhir-akhir ini.
cepat-cepat aku beristighfar dan kutundukkan kepala. Dia pun seperti itu.
Sama-sama saling menundukkan kepala. Tak ada tegur sapa. Tak ada saling lempar
senyum, apalagi saling tatap-tatapan.
***
Aku berjalan menuju sekre ROHIS. Sesekali kupandangi jam tangan yang
melingkar indah dipergelangan tanganku. “Sebentar lagi rapat kepengurusan ROHIS
akan dimulai.” Desahku pelan. setelah sampai disekre, aku segera masuk dan
duduk disamping akhwat pengurus lainnya. Aku melihatnya yang tengah
bersiap-siap memimpin rapat. Yah, dia memang ketua umum ROHIS disekolahku dan
dia satu tingkat diatasku. Takut-takut kupandang wajah bercahaya itu.
Senyumnya. Tawanya. Wibawanya. Ah! Seharusnya diri ini tak pantas memikirkan
seseorang yang belum halal bagiku.
“Ya Allah. Jika dia pangeran yang tertulis dilauhul mahfuzku, maka
dekatkanlah kami suatu hari nanti dengan cara-Mu yang indah dan jika dia bukan
pangeran yang Engkau tetapkan untukku, maka jauhkanlah kami dan hilangkanlah
rasa cinta ini untuknya.” Ucapku lirih dalam hati. Kembali kutundukkan
pandangan, tak berani menatap sosok itu lebih dalam. Rapat sudah dimulai. Rasa
deg-degan hadir ketika mendengar suaranya.
“Sssst. Syif, kak Faqih wibawa banget ya! Sumpah dia makin keren kalau
kaya gitu.” bisik Aina padaku. Aku menatap Aina. Aku hanya diam. Ada sebuah
rasa cemburu yang menyelinap masuk kehatiku. “Kamu tau nggak Shif? Aku kan
masuk ROHIS biar bisa lihat Kak Faqih terus.” Lanjut Aina membuatku
menggelengkan kepala.
“Baiklah akhi wa ukhti, apa ada saran atau pertanyaan mengenai persiapan
untuk acara 1 Muharram?” Tanya Kak Faqih lantang. Aku hanya diam sembari menunduk.
Sekali-kali mataku mencuri pandang pada Kak Faqih. “Ya Allah, semoga cintaku
padanya tidak mengalahkan rasa cintaku kepada-Mu. Jangan sampai diri ini
terjebak dalam cinta semu nan haram. Izinkan aku menikah tanpa pacaran Ya
Allah. Jagalah diri ini selalu dan jadikanlah cinta dalam diam ini seperti kisahnya Ali dan Fatimah.” Kataku
selirih mungkin.
Namanya Muhammad Faqih. Laki-laki ganteng yang menurutku memiliki prinsip
hidup. Wajahnya bercahaya oleh air wudhu. Wibawa dan tanggung jawabnya dalam
organisasi patut di acungi jempol. Kata-katanya santun dan banyak teman-teman
cewekku yang menyukainya. Salahkah aku memiliki perasaan itu terhadapnya? Yah,
mungkin salah! Salah karena menyukai seseorang yang belum halal bagiku, bahkan
mungkin tak kan pernah halal untukku. Aku menghela nafas berat.
***
Malam dipenuhi bintang yang tengah bersinar dengan anggunnya. Kuraih
mushaf Al-Qur’an milikku dan dengan khusuk lantunan ayat-ayat cinta itu
mengalun merdu dari bibir mungilku. HP-ku berbunyi, menandakan sebuah sms
masuk. Kusudahi bacaan Qur’anku dan kuraih HP-ku.
From
: Rangga
Aku mencintaimu! Maukah kamu menjadi pacarku
Syifa?
To :
Rangga
Lha? Kenapa bilangnya ke aku? Kalau kamu
serius, bilang langsung keayahku.
Segera kuletakkan kembali HP-ku. “Kak, kenapa sih kita disuruh menutup
aurat?” Tanya Nada yang entah kapan sudah berada dikamarku.
“Kamu ini dik,
kalau masuk ucap Assalamua’laikum dulu ngapa?” Nada cengengesan pelan.
“Maaf kakak.
Janji deh nggak bakal ngulangin lagi.” Ucap Nada yang masih berumur 12 tahun.
Nada menatapku pelan sembari mengulurkan jari kelingkingnya. Aku tersenyum.
“Oke deh, dimaafin. Sekarang kakak
punya 2 coklat nih. Terus coklat yang satu kakak bukak dan yang satunya lagi
enggak. Kakak tarok kedua coklat ini dilantai yang berdebu. Kalau kak suruh
pilih, Nada mau coklat yang mana?”
“Ya pastinya coklat yang masih
terbungkus rapilah kak.” Jawabnya keheranan. “Nah, gitu juga cewek dek. Kalau
cewek itu menutup auratnya, maka hanya laki-laki yang sholeh yang berhak mendapatkannya.”
“Gitu ya kak? Wah, keren dong. Nada
juga mau pakai jilbab kaya kakak lah. Terus kenapa Islam ngelarang pacaran kak?
Soalnya banyak teman-teman Nada yang pacaran.” Ujar Nada polos. “Nada sayang,
dalam Islam pacaran itu nggak ada. Orang yang pacaran itu hanya akan mendekati
zina. Buat apa coba pacaran, toh nanti belum tentu juga dia jodoh kita. Nada,
kalau kita mau dapetin laki-laki yang sholeh, kita harus menjadikan diri kita
sholehah dulu.” Nada manggut-manggut seakan mengerti.
“Berarti jodoh itu cerminan diri
kita ya kak?” Tanya Nada. Aku menggangguk sembari memberikan seulas senyum pada
gadis kecil tersebut. “Hayo. Anak Bunda pada ngomongin apa tuh? Tadi Bunda
dengar ada kata-kata jodoh segala?” ledek Bunda didepan pintu kamarku. “Ini lho
Bun. Kak Syifa pengen punya jodoh.” Ujar Nada sembari berlari meninggalkan
kamarku. Aku menatap kepergian Nada dengan geram.
“Belajar aja dulu yang rajin. Jangan
mikirin yang bukan-bukan.” Ucap Bunda. Aku menatap wajah Bunda yang mulai menua
dimakan usia. Aku tersenyum. “Iya Bundaku sayang.”
***
7 tahun kemudian
Aku menatap tubuh lunglai Bunda yang
terbaring lemah diatas tempat tidur. Tanganku sibuk memijati kaki Bunda. wajah
tirus Bunda mengambarkan kesakitan yang tengah dialaminya. Ah! Bundaku adalah
wanita yang kuat. Penyakit liver yang dideritanya membuat wanita bertangan emas
itu semakin lemah. Tidak seperti dulu. Aku ingin menangis melihat kondisi
Bunda.
“Shifa.” Ujar Bunda menghentikan semua lamunanku. Aku menatap Bunda
sembari tersenyum. sebuah senyum yang Nampak sangat dipaksa. “Ya Bunda. Kenapa
Bunda nggak pernah cerita soal penyakit Bunda?”
“Sudahlah, Bunda nggak ingin membahas itu. Bunda Cuma minta 1 hal sama
kamu nak. Bunda kepengen punya cucu dari kamu. Usia kamu kan sudah pantas untuk
menikah.” Kata Bunda terbata-bata. Jujur, aku kaget mendengar perkataan Bunda.
Sama sekali belum terpikir hal itu dibenakku. calon pun aku nggak punya dan aku
belum bisa menghapus bayangan Muhammad
Faqih dari benakku. “Iya nak. Kami sudah ada calon untukmu. Insya Allah
dia laki-laki yang baik agamanya dan Insya Allah dia bisa membahagiakanmu.”
Lanjut Ayah. Apa yang harus aku jawab? Apakah aku harus menolak dan membuat
kedua orang tuaku kecewa atau aku harus bagaimana?
“Terserah Ayah dan Bunda saja.” Ucapku. Yah, kata itu yang keluar dari
bibirku. Aku nggak mungkin mengecewakan kedua orang tuaku dan aku percaya
mereka pasti memberikan pilihan yang terbaik buatku. Mana adakan orang tua yang
mau menjerumuskan anaknya bukan? Ayah dan Bunda tersenyum membuat hatiku
bahagia. Semoga ini pilihan yang tepat Ya Allah.
“Siapa laki-laki itu Ayah?” tanyaku penasaran. “Namanya Dani nak. Dia
kuliah di Al Azhar. Besok pagi Insya Allah dia akan kesini nak. Nanti malam
sholat istikharahlah.” Ucap Ayah. Aku tersenyum mendengarnya. Dani? Nama yang
asing dalam hidupku. Harapan untuk berjodoh dengan Muhammad Faqih seketika
pupus. Ya Allah, siapa pun jodohku, semoga ia mampu membimbingku ke
Jannah-Mu.
***
Dan dimesjid inilah sekarang aku duduk. Mesjid yang akan menjadi saksi
mengikatnya 2 anak manusia yang berlainan jenis. “Saya terima nikah dan
kawinnya Naurah As-Syifa binti Ilham dengan mas kawin seperangkat alat sholat
dibayar tunai.” Ucap laki-laki itu dengan lantang membuat dadaku bergemuruh. “Bagaimana saksi?”
Tanya Pak penghulu. “Sah!” Alhamdulillah, desisku pelan. Disaat tengah berdo’a,
air mataku tak hentinya mengalir dan aku telah resmi menjadi seorang istri dari
Dani. Muhammad Faqih Ramadhani Saputra! Yah, kak Faqih! Seorang yang dulu
pernah kucintai dalam diam. Seorang yang dulu rasanya sulit kugapai. Kini dia
duduk disampingku sembari tersenyum. Dia yang Insya Allah akan menuntunku ke
Jannah-Nya
The end
salam karya, @muthiiihauraa
12 Desember 2013.
oooh my god.... aku jadi kepikiran sosok yang lama :'( kenapa harus cintaaa dalam diam judulnyaa? :'( aku jadi kepikiran :'( :D
BalasHapushaha.. kan berdasarkan cerita ko ;p
Hapus