Kenapa Masuk LPM?
Haai,Assalamua’laikum. Gimana kabarnya dan sedang ngerencanain apa? Minggu-minggu
terkhir ini banyak banget pengalaman yang greget sebenarnya pengen diceritakan,
tapi baru sempat nulis sekarang dan itupun kayanya nggak semuanya bisa diceritakan.
Pokoknya aku lagi ngerencanain sesuatu. Do’akan aja kewujud. Selain itu, tugas
juga lagi numpuk-numpuknya.
Kali
ini pengen sharing aja alasan aku gabung di Lembaga Pers Mahasiswa (LPM), bukan
alasan aja sih, tapi pengen sharing juga pengalaman-pengalaman apa saja yang
aku dapatkan selama bergabung di LPM
Gagasan. kali-kali aja apa yang aku share ini dapat bermanfaat buat teman-teman
:D
Sejak
awal masuk kuliah, aku udah tekadkan diri untuk berubah kearah positif. Aku
pengen aktif, pengen punya banyak kenalan, pengen ngerasain banyak hal, pengen
berprestasi, dan pengen-pengen lainnya. Dari kecil, aku mencintai kegiatan
menulis. Sangat bahkan. Hal itulah salah satu alasan aku ingin bergabung dengan
LPM Gagasan UIN Suska Riau.
Sejak
awal bergabung, aku sama sekali tak pernah bermimpi atau sekedar berplanning
untuk menjadi redakturnya LPM Gagasan, karna aku sadar kalau aku masih banyak
kurangnya. Tulisan aku lebih ke sastra ketimbang jurnalistik. Cirri khas
tulisan seseorang itu tidak gampang untuk dirubah, apalagi cirri khas itu sudah
ada sejak lama. Tapi aku saat ini lagi belajar dan pastinya akan selalu belajar
untuk menghasilkan tulisan-tulisan jurnalistik yang ‘menggigit’. Nggak mudah
memang, tapi bukan berarti nggak bisa bukan?
Banyak
sekali pelajaran yang aku dapatkan sejak selama dua tahunan lebih berada di LPM
Gagasan. ya, banyak! Tentu bukan dalam hal materi, karna yang namanya organisasi
internal kampus itu tempatnya belajar. Tempatnya menimba ilmu. Tempatnya
mengenal diri. Tempatnya belajar bersosialisasi. Tempatnya mengasah skill. Dan
itu semua aku rasa lebih berharga ketimbang uang bukan? Lebih berharga
ketimbang materi. Bukankah pengalaman adalah guru terbaik?
Kalau
boleh jujur, banyak sekali perubahan yang aku rasakan antara aku yang dulu
dengan aku yang sekarang. Tentu saja perubahan kearah yang lebih positif! Di
LPM, aku belajar banyak hal, mengenal teman-teman dari berbagai latar belakang,
belajar bergaul, bertemu dengan orang-orang nomor satu di Universitas, makin
ngasah skill, punya keluarga baru, jadi up to date karna selalu dituntut untuk
mencari berita. LPM, ruang kuliah kedua bagiku.
Kalau
aku nggak masuk LPM, apa aku bisa berani bertemu rektor? Kalau aku nggak masuk
LPM, apa aku berani menggkritik rektor dan para penjabatnya? Kalau aku nggak
masuk LPM, apa aku bisa ke Sumbar untuk mengikuti Pelatihan Jurnalistik Tingkat
Lanjut? Kalau aku nggak masuk LPM, apa aku bisa menulis berita dengan benar?
Kalau aku nggak masuk LPM, apa bisa aku ngerasain capek dan lelahnya menjadi seorang
redaktur?
Kalau
aku nggak masuk LPM, dari mana aku tau informasi-informasi terbaru tentang
kampus? Kalau aku nggak masuk LPM, bagaimana aku tau proses-prosesnya peliputan
berita itu hingga bisa dinikmati khalayak dalam bentuk majalah? Dari mana semua
itu kalau aku nggak tergabung dengan LPM? Apa kesempatan itu bisa aku dapatkan
selain dari organisasi ini? Tentu saja tidak!
Terlalu
banyak hal yang aku dapatkan di LPM, apalagi menjelang deadline-nya majalah.
Yang paling greget majalah edisi 100 yang baru terbit akhir Maret lalu. Di
majalah itu, aku kebagian dalam tim laporan utama (laput) dan juga ikut
ngebantu tim laporan khusus (lapsus). Memang bukan PJ sih, tapi greget juga.
Aku yang bikin tor wawancaranya, aku ikut turun ngewawancarai. Bolak-balek sana
sini buat nemuin narasumber. Capek? Off course, tapi disitulah sensasi
menyenangkannya.
Cover majalah edisi 100
Majalah edisi 100 halaman tengah. taken by Aqib Sofwandi
Apalagi
topic yang diangkat dalam laput dan lapsus ini adalah topic ‘sensitif’. Pas
dilaput ini, berkali-kali ketemu narasumber satu-nya, tapi narasumber satu selalu
ngehindar, sampai tujuh kali nyamperin keruangannya, tetap aja nggak bisa
dijumpai. Sedangkan narasumber kedua, itu malah senang banget diwawancarai.
Narasumber kedua cerita dengan nada semangat dan sedikit emosi.
Yang
paling menggregetkan itu narasumber ketiga. Masa disaat wawancara malah
mengintervensi a.k.a ngasih tekanan kekami. Pakai ngancam segala kalau berita
ini naik, kaminya bakal dipenjara. Pokoknya nadanya ngomong nggak enak
bangetlah. Dia sampai nunjuk-nunjuk aku lagi, aku paling nggak suka kalau ada
orang ngomong sambil nunjuk-nunjuk kewajah si lawan bicara.
Setelah
ngewawancara narasumber ketiga, aku dan salah seorang teman aku langsung balik
kesekre. Langsung down. Haha! Tapi ‘WAW’ lah pengalamannya. Kalau di laput lain
lagi ceritanya. Di laput udah mulai start ngebantuin pas liburan semester. Jadi
sepi mahasiswa, tapi dosen tetap stay. Nemuin narasumber satupun untuk
wawancara rada ribet. Berkali-kali kami kesana, tapi dianya selalu bilang kalau
lagi sibuk. Dia Cuma nyuruh kami ninggalin nomor, tapi menjelang deadline cetak
majalah, tak ada juga ditelpon. -___-
Menantang
eeuy pokoknya! Ditambah lagi aku sebagai redaktur yang ditugasin buat minta
tulisan-tulisan teman-teman. Segan sih sebenarnya, tapi ya mau gimana lagi kan?
Kalau nggak ditagihin kapan selesainya majalah? Setelah tulisan-tulisan dari
berbagai rubric ada ditangan aku, aku editin satu persatu, kalau udah selesai
baru deh kasih ke Redaktur Pelaksana atau Pimpinan Umumnya,
Kalau
boleh ngeluh, aku mau ngeluh aku capek, tapi rasanya pengalaman-pengalaman
berharga ini tidak pantas untuk dikeluhkan bukan? Aku belajar banyak dari
proses-proses pembuatan majalah ini. Setelah sirkulasi majalah pun, kalau ada
yang complain, pasti Pimpinan Umumnya nyalihin aku juga.
Tidak
hanya itu, di LPM aku belajar mengenal sifat-sifat teman satu organisasi. Yang
namanya organisasi, pasti diisi oleh berbagai orang yang berbeda latar
belakang, di organisasi itulah kita harus belajar mengenal mereka. Sifat dan
sikap setiap orang kan berbeda-beda, ada yang mudah diatur, ada yang
ngebangkang, ada yang hanya kebanyakan omdo, ada yang gampang badmood-an, ada
yang ngebetein, dan ada ada ada lainnya. :D
Iya
itu semua wajar kok, namanya juga manusia kan? Tapi malam ini aku belajar satu
hal, bahwa kamu tak perlu berkoar-koar di PM tentang apa yang kamu lakukan atau
sedang dimana kamu atau tentang prestasi kamu, karna tak semua orang ingin
mendengarkan kabar itu. Ada orang-orang yang mungkin tidak senang dengan PM
kamu itu. Bbm itu kan aplikasi chat yang personal, rasanya kurang etis kalau
terlalu memamerkan diri disana.
Lho apa salahnya? Itu
kan hak pribadi? Iya memang, dulu pun
aku berfikiran begitu, tapi yang namanya aplikasi chat personal, pasti tak
semua orang ingin mengetahui apa yang kamu rasakan-apa yang kamu tengah
lakukan-apa yang kamu raih, mending kicau di twitter deh atau blog sekalian. Ya
nggak?
Gimana sih maksudnya,
Mut? Aku nggak ngerti. Aku terangkan lewat
cerita aja ya? Pas aku ikut PJTL, aku sering banget update PM atau gonta ganti
dp tentang apa yang aku lakukan disana. Memang itu hak aku, wong namanya juga
bbm aku. Tapi saat itu aku nggak mikir perasaan teman-teman seorganisasi aku
yang belum berangkat PJTL. Aku seolah cuek dan terlalu ‘sombong’ memamerkan
‘aku udah kesini lho’, ‘aku udah PJTL lho’, aku blab la.
Secara
nggak langsung, teman-teman yang nggak ikut PJTL ngerasa gimana gitu kan? Dan
akhirnya ada jarak diantara kami. Sekarang
aku udah jadi senior di LPM, saat ada junior yang dengan ‘sok’nya agak
pamer gitu tentang Gagasan atau saat dia ikut dikdas di LPM lain, aku jadi
ngerasa gondok pula. Aku jadi berfikir ‘ih ini anak sok banget sih,baru juga
junior. Bla bla bla’. Padahal nggak boleh gitu kan? Trus apa juga yang bakal
dipikirkan oleh teman-teman si junior yang nggak ikut ini?
Bikin
status itu hak individu masing-masing, tapi kita hidup didalam masyarakat. Kita
berada didalam satu organisasi yang sama, jadi mau nggak mau, suka nggak suka,
kita dituntut untuk menjaga perasaan teman seorganisasi kita. Dari situ aku
belajar, hindari membuat PM yang berlebihan, karna orang lain tak butuh
mendengar kabarmu-tak butuh tau kamu sedang berada dimana-tak ingin tau apa
saja yang sudah kamu capai, bagi orang lain itu nggak penting.
Mending
kicau ditwitter atau curhat di blog. Kawan-kawan terdekatmu nggak mungkin kan
sampai ngestalkerin twitter dan blog kamu, kecuali kalau dia ngefans sama kamu.
Haha! =))
Intinya
gitu deh, pokoknya banyak banget pelajaran berharga yang aku dapat. Tetap
semangat belajar Mut! Postingan ala curhat-curhatan ini udah sedikit banyaknya
menjabarkan alasan aku masuk LPM kan? Udah ngejawab pertanyaan di judul
postingan kan? Udah deh kayanya. Oke segitu dulu, salam sayang, @muthiiihauraa.
asik tuh, bisa belajar jadi wartawan n menulis
BalasHapushaha iya mbak, asik banget :D
Hapuswah keren, jadi redaktur lagi.
BalasHapusgue juga anak LPM loh.
salam persma!
Hay, Salam persma dan salam kenal :D
HapusHalo, salam persma! Aku bukan anak LPM (krn di kaampus ga ada) tapu jatuh cinta sama jurnalistik dan suka ikut nimbrung bareng LPM temen.
BalasHapusAsik yaa bisa terjun ke kegiatan yg sesuai passion dan banyak temen2nya juga hihi semangat trs yaa, makin banyak ilmunya ^^