Juara III di Ajang Peksimika
Haay,
Assalamua’laikum. Gimana kabarnya dihari ketiga puasa ini? Masih semangat?
Harus dong ya! ;)) Semoga puasa tahun ini bisa lebih baik dari puasa
ditahun-tahun kemaren. Amin! Kalau aku pribadi, banyak banget plan yang lagi
dicanangkan dan lagi berusaha banget buat ngilangin rasa malas. Kadang berhasil
dan kadang nggak sih. Haha!
Yang
pasti lagi berusaha, semoga saja apa yang aku impikan ditahun ini menui hasil.
Nggak mau nyia-nyiain waktu lagi, umur aku sekarang udah 21. Oh ya, dibulan Mei
yang lalu, aku sempat daftar lomba cerpen di ajang Pekan Seni Mahasiswa Kampus
atau biasa disebut PEKSIMIKA. Tujuan
diadakan Peksimika ini adalah untuk mencari bibit-bibit unggul yang akan dikirim
ke ajang Pekan Seni Mahasiswa Daerah (Peksimida).
Kalau
lolos di Peksimida, bakal dikirim untuk ikut Pekan Seni Mahasiswa Nasional
(Peksiminas) yang kalau nggak salah diadakan di Sulawesi Selatan. Aaak, pengen
kesana Ya Allah! Nah diajang Peksimika ini, yang ikut lomba menulis dikumpulin
dan disuruh bawa laptop. Dikasih waktu nulis kurang lebih selama delapan jam.
Tema yang harus ditulis pun dikasih tau beberapa menit sebelum menulis.
Yang
ikutan lomba menulis lumayan banyak, sayang banget nggak aku photo. Waktu itu,
lomba menulis diadakan di lantai atas Islamic Centre dan kebetulan bagian bawah
IC lagi ada acara seminar. Sumpah aku susah banget nulis ditempat yang ribut
kaya gitu, tapi ya mau gimana lagi kan? Nggak ada pilihan lain juga, ya udah
aku tulis semampu aku. Sempat juga diantara waktu lomba itu, aku izin masuk
kelas. Ikutan lomba memang boleh, tapi kuliah tetap dinomorsatukan #eaak :D
Nah,
ini dia cerpen yang aku tulis dalam ajang Peksimika. Check this out :
Tentang
Indonesia di Tanah Thailand
Kamu tau apa yang paling diinginkan saat
berada dinegeri orang? Kamu tau apa yang paling dirindukan saat berada dinegeri
orang? Kamu tau bagaimana rasanya saat harus survive dinegara yang benar-benar
asing bagimu?
Nailin menghembuskan nafas pelan. Berbagai
pikiran berkecamuk dibenak gadis berusia 21 tahun itu. Ditangannya tergenggam
sebungkus mie rebus. Sudah hampir sebulanan, Nailin berada di Pattani,
Thailand.
“Ngapain
lo ngelamun?” Aga menyenggol pelan lengan Nailin, membuat Nailin mendengus
kesal. Tanpa meminta izin, lelaki dengan tinggi 170 cm itu duduk disamping
Nailin.
Nailin
menatap Aga sekilas, sama sekali tak berniat menjawab pertanyaan lelaki yang
baru dikenalnya saat sama-sama akan berangkat ke Thailand sebulan yang lalu.
Memang Aga dan Nailin adalah mahasiswa pilihan untuk mengikuti program exchange
student di Thailand dari Universitas yang berbeda.
“Kenapa
sih lo?” Aga mengulang tanya. Entah untuk yang keberapa kalinya, Nailin
menghembuskan nafas. “Cuma lagi rindu Indonesia. Lagi rindu panasnya kota
Pekanbaru,” jawab Nailin seadanya.
Aga
tertawa mendengar jawaban Nailin. “Gue malah bosan dengan hiruk pikuknya
Jakarta. Disini lebih asik.”
*@@@*
Nailin
membolak-balikkan badannya diatas tempat tidur. Sama sekali matanya benar-benar
tak ingin terpejam. Kejadian tadi sore masih terekam jelas dibenak gadis
berlesung pipit dipipi sebelah kiri itu.
“Jadi kamu nggak rindu Indonesia? nggak
rindu kota kelahiran kamu, Jakarta? Sama sekali?” Nailin memberondong Aga
dengan berbagai pertanyaan, membuat lelaki itu kembali mengumbar tawa. Tawa
yang sebenarnya mampu membuat perempuan manapun luluh, tapi kali ini tidak
untuk Nailin.
“Buat apa merindukan Negara itu?”
Aga berucap sinis yang entah kenapa membuat Nailin mendidih. Lelaki tampan
disampingnya itu benar-benar sama sekali tak punya rasa nasionalisme, begitu
menurut Nailin.
“Kamu lahir di Indonesia! tumbuh dan
hidup ditanahnya Indonesia. Bahkan matipun nanti ditelan Indonesia, lalu tak
ada sedikitpun rasa bagimu untuk Indonesia?” tanya Nailin sinis.
Nailin
membuang penggalan kejadian itu dari benaknya, lalu kemudian gadis itu
menghembuskan nafas. Bayangan wajah kedua orang tua dan teman-temannya kembali
hadir, membuat rindu itu semakin menguak.
“Selesaikan apa yang sudah kamu mulai, karna
berhenti atau mundur berarti hancur! Dimanapun kamu berada, jadilah orang yang
selalu bisa memberi manfaat bagi lingkungan. Tunjukkan kepribadian yang baik!
Dan ingat, jangan pernah mau menjadi pemenang, tapi belajarlah untuk
mengalahkan!”
Pesan dari ayahnya kembali terngiang-ngiang
dibenak Nailin. Tetesan-tetesan bening mengalir lembut dipipinya. Rindu ayah bunda! Rindu latihan tari setiap
sore didepan teater kampus. Rindu rendang. Rindu kue kamboja dan asam pedas
baung yang sering dimasakin bunda. Rindu janjian makai baju batik dengan teman-teman
kampus.
“Akh!
Masih lama disini! Lima bulan lagi! Harus bisa survive, nggak boleh cengeng
Nai!” Nailin mengingatkan dirinya sendiri sembari mengepalkan tangannya
keudara. “Why, Nai? What’s wrong?” Salah seorang teman Nailin dari India
bernama Sapna bertanya dengan tatapan heran.
Nailin
menyadari kesalahannya, lalu kemudian tertawa pelan menunjukkan gigi-gigi
putihnya yang tersusun rapi. “Nothing.”
*@@@*
Aga
berjalan gontai dikoridor kampus Prince Of Songkla University Thailand. Lelaki
berbadan tegap itu sesekali menguap. Kelas siang tadi benar-benar membuatnya
mengantuk. Tanpa sadar, sorot mata Aga tertuju pada sesosok gadis bertubuh
mungil yang tengah asik mengajarkan sebuah tarian kepada teman-temannya.
Tubuh
gadis itu meliuk-liuk indah. Aga menghampiri, membuat gadis itu menghentikan
tariannya. “Itu tarian apa?” tanya Aga seadanya. Gadis bertubuh mungil itu
menghela nafas, lalu kemudian merebahkan badannya pada kursi. Beberapa temannya
berpamitan, lalu melangkahkan kaki dan meninggalkan gadis itu berdua dengan
Aga.
“Tadi
itu, aku lagi ngajarin teman-teman Thailand tarian Melemang.”
Aga
mengernyitkan kening mendengar nama tarian tersebut. Nama tarian itu
benar-benar asing ditelinganya. “Tari melemang diperkirakan sudah ada sejak
abad 12 dan awalnya dikenal sebagai tarian istana Kerajaan Bentan. Tarian ini
memadukan unsur tari, music, dan nyanyian. Selain itu, tarian ini juga
mengisahkan tentang kehidupan kerajaan.” Nailin menjelaskan panjang lebar.
“Tarian
dari Riau ya?” tanya Aga yang dijawab anggukan kepala oleh Nailin. “Kenapa sih
lo kayanya cinta banget dengan kebudayaan Indonesia, khususnya Riau? Kalau di
Jakarta, jarang gue nemuin cewek kaya lo gini,” ujar Aga dengan tetap memakai
panggilan ‘lo-gue’.
Nailin
tersenyum tipis. Senyum yang entah kenapa diam-diam membuat Aga tak berkutik.
“Sejak kecil aku selalu ditanamkan nilai-nilai keagamaan dan kebudayaan. Nilai
yang sampai detik ini tidak bisa aku lupakan karna mengalir didarahku.”
Nailin terdiam sejenak, lalu kembali
melanjutkan kalimatnya. “Jangan pernah bertanya apa yang sudah Indonesia
berikan padamu, tapi tanyalah apa yang sudah kamu lakukan untuk Indonesia.
Jangan terlalu banyak menuntut, tapi karya yang diberi pun tak ada.”
*@@@*
Aga terpaku dibalkon mess
penginapannya. Lelaki bermata tajam itu menatap kelangit malam. Kata-kata
Nailin kemaren sore masih memenuhi benak Aga. Lelaki itu kemudian menghembuskan
nafas.
“Aku
lahir di Riau. Di Indonesia. Lalu haruskah aku tak tau terima kasih dengan
melupakan kebudayaan-kebudayaannya? Lalu haruskah aku melupakan apa saja yang
sudah diberikan Indonesia hingga aku bisa berada disini?” Nailin bertanya
dengan menatap tajam kearah Aga.
“Apa
yang bisa lo banggain dari kebudayaan Indonesia yang mulai luntur? Apa yang
bisa lo banggain ditanah Indonesia yang begitu banyak manusia-manusia memakai
topeng. Terlalu banyak tikus berdasi yang buat gue jijik!” kata Aga sarkatis.
“Nggak
se—“
Aga
memotong kalimat Nailin. “Terlalu sering gue ngelihat orang-orang miskin yang
semakin ditindas di Indonesia. Terlalu banyak kejahatan disana-sini. Semua
orang memakai topeng, hingga bahkan gue pun nggak tau mana sifat asli atau
palsunya.”
“Nggak
semuanya kaya gitu! Makanya, kalau kita ingin Indonesia berkembang menjadi
lebih baik, tentu saja terlebih dahulu dari diri kita. Cintai produk didalam
negri. Cintai kebudayaan dalam negri. Kalau bukan kita, siapa lagi? Kalau bukan
sekarang, kapan lagi?”
“Tapi
gue terlalu jijik dengan tikus-tikus berdasi!”
Aga menghabus sepenggal episode itu.
Berbagai tayangan masa lalu mampir dibenak lelaki bernama lengkap Agavni Al
Masd itu. Tayangan-tayangan masa lalu yang membuatnya membenci tanah dan bahkan
kebudayaan Indonesia.
Aga sangat membenci tikus-tikus
berdasi. Tikus-tikus yang dengan tega menghancurkan taman bermainnya dan teman-teman
masa kecilnya dulu. Tikus-tikus yang dengan tega menghancurkan mimpi
teman-temannya dengan merenggut kawasan rumah dan sekolah mereka.
Dan yang paling amat ia sesalkan
adalah, salah satu tikus berdasi itu adalah papanya sendiri. Lelaki yang sangat
ia hormati dan kini tengah mendekam di penjara. Aga menelusuri malamnya kota
Pattani lewat jendela matanya. Kota yang bisa dibilang rapi dan tertib
dibandingkan kota kelahirannya, Jakarta.
Kalau
saja papa nggak ngelakuin semua itu, mungkin gue nggak akan membenci Indonesia.
Mungkin gue nggak akan anti dengan kebudayaan Indonesia. Dan yang pasti,
mungkin gue nggak akan berhenti mainin alat music seruling.
Aga mengeluarkan seruling dari dalam
tasnya. Seruling usang yang dulu pernah menjadi bagian hidupnya. Seruling yang
diberikan oleh almarhum kakeknya. Setelah papanya dinyatakan bersalah oleh
pengadilan, Aga benar-benar menghapus seruling dari hidupnya. Ia sama sekali
tak pernah menyentuh seruling itu, walau tetap ia bawa kemana-mana.
*@@@*
Seseorang
dihadirkan didalam hidup lo, entah hanya untuk sekedar singgah atau bahkan
menetap pasti memiliki alasan. Dan apakah alasan Tuhan ngadirin lo dihidup gue
agar gue bisa kembali mencintai kebudayaan Indonesia?
Aga menatap Nailin yang tengah asik
menceritakan tentang kebudayaan Riau kepada teman-temannya dengan Bahasa
Inggrish-nya yang lancar. Teman-temannya dari berbagai Negara itu
mengangguk-angguk dan juga terkadang menyela. Sesekali mereka tertawa, lalu
kembali melanjutkan cerita.
Aga yang ikut menyimak sesekali juga
mengumbar tawa, lalu menatap kagum pada Nailin. “Indonesia itu tak kalah indah.
Memiliki banyak kebudayaan dari Sabang sampai Marauke. Semuanya beragam-ragam,
tapi tetap satu. Dan saya bangga menjadi warga Indonesia,” ujar Nailin dalam
Bahasa Inggrish.
Nailin melirik sekilas pada Aga. Sudah
hampir sebulanan lebih kenal dengan lelaki itu membuat Nailin sedikit tau
tentang kepribadian Aga yang anti terhadap Indonesia. Nailin hanya berharap
dapat mengubah sudut pandang lelaki itu tentang Indonesia.
*@@@*
“Dua minggu lagi 17 Agustus.” Aga
berujar tiba-tiba, membuat seisi meja makan yang terdiri dari 10 orang
mahasiswa asal Indonesia termasuk Nailin menoleh pada Aga. “Terus?” tanya Rina
acuh tak acuh sembari menyuapkan potongan rotinya kemulut.
Aga menatap Rina tajam, lalu kemudian
tatapannya tertuju kearah teman-temannya satu persatu. “Gue punya ide! Gimana
setelah upacara 17-an dikantor konsulat, kita ngadain event tentang Indonesia.
Tentang kebudayaan Indonesialah pokoknya. Entah itu makanan tradisional, pakai
adat, tari, dan sebagainya. Gimana?”
Suasana dimeja makan sangat riuh.
Semua setuju dengan usulan Aga, tak terkecuali Nailin. Bahkan Nailin sempat
kaget mendengar usulan lelaki itu, tapi diam-diam, gadis itu mengumbar senyum.
*@@@*
Dua minggu menjelang tanggal 17
Agustus, mahasiswa-mahasiswa exchange student benar-benar disibukkan dengan
persiapan event pertama mereka tentang Indonesia. 11 mahasiswa itu dibagi
perkelompok dan disuruh menghandle beberapa makanan khas Indonesia.
Tak terkecuali juga bagi Nailin yang
mendapat tugas mengajarkan teman-teman luar negrinya tari persembahan yang
nantinya akan ditampilkan saat event berlangsung. Begitu juga dengan Aga yang
tak kalah sibuknya. Semua sibuk dan berharap event ini benar-benar akan membekas
dihati masyarakat Thailand.
“Kok tiba-tiba kamu bisa dapetin ide
buat kaya gini sih?” tanya Nailin disuatu sore saat dirinya dan Aga tengah
sama-sama beristirahat. Aga tersenyum pelan. “Nggak tau ya. Setelah gue
pikir-pikir, apa yang selama ini lo bilang itu benar. Mungkin masa lalu gue
yang membuat gue benci Indonesia dan masa lalu bukan untuk diingatkan?”
“Masa lalu itu untuk dijadikan
pelajaran. Ibarat kamu sedang ngendarai motor, masa lalu itu jalanan dibelakang
kamu yang sesekali harus kamu lihat lewat spion. Tapi nggak boleh juga
terus-terusan ngeliat spion, entar nabrak lagi,” kata Nailin sembari tertawa.
Aga mengangguk-angguk setuju.
*@@@*
“….. Disana tempat lahir beta. Dibuai
dibesarkan bunda. Tempat berlindung dihari tua. Tempat akhir menurtup mata….”
Semua serempak menyanyikan lagu itu sembari berdiri hormat menatap bendera. Ini
lagu kedua yang mereka nyanyikan setelah lagu Indonesia raya.
Entah
kenapa bagi mereka, ada rasa yang benar-benar berbeda di perayaan 17 Agustus
kali ini. Nailin dan beberapa teman-teman lainnya pun sempat menjatuhkan air
mata. Mata Aga pun tak kalah berkaca-kaca.
Aku disini, Thailand! Dan aku begitu
merindukan Indonesia. Aku merindukan semua yang ada di Indonesia.
Kebudayaannya, keramahtamahannya, kemacetannya, makanan-makanannya, dan semua
hal di Indonesia.
Banyak yang bilang kalau Indonesia
itu semberawut, memang! Tapi itu bukan salah Indonesia, tapi salah orang-orang
yang membangunnya. Bagiku, Indonesia tetap nomor satu. Aku berjanji untuk
membuat Indonesia bangga telah punya aku.
Nailin
kembali menyusut air matanya, lalu menatap sekali lagi bendera merah putih yang
berkibar dilangitnya Pattani Thailand. Nailin menghembuskan nafas. Setelah ini, PR-nya akan semakin banyak.
Banyak hal yang harus dibuat untuk Indonesia. banyak sekali. Nailin
membatin.
Gue memang pernah membenci Indonesia, tapi
itu dulu. Bolehkan gue kembali mencintai Indonesia. kota ini mengajarkan banyak
hal, termasuk juga gadis itu. Gue memang dilahirkan dari tangan salah seorang
tikus berdasi, tapi bukan berarti gue akan seperti itu kan?
Gue janji bakal belajar
sungguh-sungguh tentang kebudayaan! Tentang Indonesia! Nggak ada kata terlambat
untuk memperbaiki diri. Memperbaiki Indonesia. Aga membatin, lalu tanpa sadar menatap Nailin.
Begitupun Nailin yang ternyata juga tengah menatap Aga. Keduanya kemudian
sama-sama tersenyum.
The
End
Gimana
gimana? Ngantuk ya bacanya? Haha! Nah, yang pemenang I sampai III lomba
menulis, akan dilatih dan nantinya yang dianggap pantas bakal dikirim buat ikut
PEKSIMIDA. Doain aku biar diutus Peksimida ya. Oke deh, salam sayang,
@muthiiihauraa.
Rabu,
8 Juni 2016. 08.09 WIB.
Hi Muthi, salam kenal ya.. Aku bukan cerpenis jadi kayanya bukan porsinya untuk menilai cerpen km hehehe tp aku lihat ada beberapa typo yg sebaiknya dibenerin ;) Well good luck semoga menang lombanya dan jadi ikut Peksimida ^_^
BalasHapusiyaa, makasi masukannya :))
HapusAmiin :D
selamat ya dik...keren
BalasHapusmakasi ya mbak Mil :))
Hapuskeren cerpennya, biasa di liput di koran ndak gan
BalasHapusmakasi :D Diliput gimana mas?
HapusBagus muthi cerpennya. Kayak bnr2 pengalaman pribadi.. Selamat dan sukses yaa!
BalasHapusMakasi mbak :))
HapusTerimakasih infonya, sukses terus,.
BalasHapus