Cerpen : Pacu Jalur
Haay,
Assalamua’laikum. Gimana kabarnya? Lagi dikantor nih dan pengen update blog,
tapi berhubung belum ada bahan yang ditulis, aku mau share cerpen yang aku
ikutkan di ajang Pekan Seni Mahasiswa Daerah (PEKSIMIDA) yang diadakan di PKM
UIN Suska.
Setelah
dinyatakan lulus Pekan Seni Mahasiswa Kampus (PEKSIMIKA), aku senang banget. Nggak
sabar nunggu PEKSIMIDA. Ternyata PEKSIMIDA-nya diadakan seminggu pulang KKN. Nyerah
deh buat ikut, ditambah satupun syarat belum ada dilengkapi. Tapi dihari
perlombaan, tiba-tiba Nafi kerumah. Dia bilang, aku harus ikut dan mengenai
persyaratan nggak apa kalau belum lengkap.
Setelah
dipaksa Nafi, akhirnya aku memutuskan untuk ikut. aku piker kapan lagi, tahun
depan mana tau udah nggak berstatus mahasiswa lagi. Ah, pokoknya gitulah. Kepanjangan
intro ya, langsung aja deh, ini cerpennya, check this out :
Cerpen : Pacu
Jalur
Aku
terlalu muak dengan semua ini! Terlalu muak dengan orang-orang yang selalu
memakai topeng. Ah, pada nyatanya didunia ini memang tak ada manusia yang
tulus. Semua busuk. Hanya mendekat disaat ada maunya saja! Merampas sesuatu
yang bukan miliknya. Pengkhianat! Avil merutuk didalam hati. Berulang kali
gadis berusia 21 tahun itu menghembuskan nafas, seakan ada beban berat yang
tengah dialaminya.
“Hei! Kenapa lagi? Masih memikirkan
kejadian itu?” Sebuah suara nan lembut mengagetkan Avil, membuat gadis itu
menoleh kesumber suara. “Kita kesini kan buat refreshing. Udahlah, yang berlalu biarlah berlalu.”
source : google
“Nggak
semudah itu, Shel! Nggak semudah itu ngelupain semuanya. Apa coba maksud mereka
selingkuh gitu? Aini itu sahabat aku dan Rico itu pacar aku, trus kenapa mereka
tega?” ujar Avil setengah emosi.
Shela menatap Avil sekilas, lalu
kemudian pandangan gadis itu tertuju pada sungai Kuantan di hadapannya. “Vil,
hidup itu kaya sungai, ada kalanya ngalirnya mulus dan ada kalanya pula
ngalirnya tersendat. Semua itu tergantung kitanya menanggapi se—”
Avil menatap tajam kearah Shela,
lalu kemudian memotong kalimat gadis bernama lengkap Shela Dinata itu. “Kamu
nggak ngerti, Shel! Kamu nggak ngerasain apa yang aku rasain.”
Shela menghembuskan nafas, lalu
menatap tepat dimanik mata Avil. “Hidup itu bukan persoalan cinta saja. Masih
banyak diluar sana yang hidupnya lebih menderita dari kamu. Belajarlah untuk
bersikap dewasa. Aku memang baru mengenalmu dan aku Cuma nggak ingin kamu
terlalu lemah ngadepin hidup.”
Shela berhenti sejenak, lalu
kemudian kembali melanjutkan kalimatnya. “Jika kamu punya 100 masalah,
katakanlah pada masalah itu bahwa kamu punya 1000 alasan untuk tetap berbahagia.
Masalah cintapun begitu, kamu akan dipertemukan dengan orang yang salah
terlebih dahulu sampai akhirnya dipertemukan dengan orang yang tepat,” kata
Shela sembari berlalu meninggalkan Avil. Membiarkan gadis berbola mata coklat
itu meresapi kata-katanya.
*@@@*
“Gak bisa kaya gini Gi! Jalur kita
itu harga mati, jika ada sedikit saja orang luar yang merusaknya, kita harus
bertindak.” Alpa mengacungkan-acungkan parangnya dihadapan Gio. Lelaki berkulit
hitam legam itu berujar dengan emosi.
Gio menatap teman seperjuangannya
itu. Sebenarnya lelaki yang tengah menyelesaikan pendidikannya di Pekanbaru itu
juga teramat emosi, tapi Gio masih mengedepankan akal sehatnya. “Ngerti nyo,
tapi sejak dulu dari leluhur kita kan udah diajarkan dalam menyelesaikan
masalah itu harus musyawarah. Harus berkepala dingin, jangan mengesampingkan
emosi.”
Alpa mendelik kesal kearah Gio.
“Jalur kita ditahan mereka, trus kita disini masih duduk diam? Masih bisa
tenang saat sesuatu milik kita dirampas orang lain? Jalur sijontiok lawuik itu
kebanggan desa kita. Kebanggaan Kecamatan Cerenti ini. Sesuatu yang harus
dijaga dan dipertahankan sampai mati!”
Gio menghembuskan nafas, sedangkan
teman-temannya yang lain mengangguk setuju dengan perkataan Alpa. “Sekarang
gini aja, kalau kamu memang nggak mau ikut ngadepin mereka, terserah! Kami yang
akan berangkat!”
Alpa berlalu meninggalkan Gio,
diikuti oleh teman-temannya yang lain.
*@@@*
“Bang Gio? Ngapain disini bang?”
Avil mendekati Gio. Lelaki itu hanya menoleh sekilas, lalu kemudian kembali
menatap sungai Kuantan dihadapannya sembari menghembuskan asap rokoknya.
Avil berdiri sungkan disamping Gio
sembari mengutuki dirinya yang seakan sok akrab. “Abang lahir di Desa Pulau
Jambu ini, besar juga disini. Sejak kecil udah familiar dengan jalur, bahkan
sempat jadi Coki depan untuk jalur sijontiok. Sijontiok lawuik pulau tanamo,
jalur kebanggaannya Desa Pulau Jambu. Jalur kebanggannya Cerenti.” Gio
bercerita panjang lebar tanpa diminta.
Avil menatap bingung. Sama sekali
tak mengerti dengan apa yang diceritakan Gio. Mau tak mau, akhirnya Avil duduk
disamping lelaki yang baru dikenalnya dua hari yang lalu itu. Gadis bernama
lengkap Avilla Zena itu hanya diam seakan menunggu kelanjutan cerita dari Gio.
“Lantas jika sesuatu yang jadi
kebanggan itu dirampas oleh orang, apa yang harus dilakukan? Kamu tau jalur
kan? Kamu tau kan event pacu jalur yang tiap tahun selalu diadakan dibulan
Agustus? Event pacu jalur itu termasuk kearifan local yang harus dipertahankan
bangsa Indonesia. kamu tau kan kearifan local? Kearifan local adalah suatu
identitas atau kepribadian budaya bangsa yang menyebabkan bangsa tersebut mampu
menyerap dan mengolah kebudayaan asing sesuai watak dan kemampuan sendiri.
Kearifan local juga merupakan sebuah pengalaman panjang yang diendapkan sebagai
petunjuk perilaku eseorang.” Gio kembali berceloteh tak tentu arah. Sama sekali
tak peduli bahwa gadis disampingnya itu tak mengerti dengan maksud ucapannya.
*@@@*
Shela membaringkan dirinya diatas
tempat tidur lusuh dikamarnya. Bayangan wajah Avil mampir dibenak gadis yang
memiliki tinggi 156 cm itu. Kamu kemana
sih, Vil? Merajuk dengan kata-kata aku pagi tadi? Apa aku salah ngajak kamu
refreshing kekampungku ini?
Pintu kamar berderit, Shela
buru-buru mengarahkan pandangannya kearah pintu, lalu tersenyum lega saat
menemukan sosok berwajah cantik milik Avil disana. “Kamu kemana aja?”
“Sorry Shel. Aku minta maaf untuk
sikap childish-ku tadi pagi. Tadi pas
aku mau pulang, ketemu bang Gio. Dia cerita banyak hal.” Mendengar nama Gio,
sontan Shela duduk dari posisi tidurnya. Gio, lelaki yang diam-diam mencuri
hati Shela sejak lama. Sejak gadis itu masih duduk dibangku SMP.
“Cerita jalur, aku kurang ngerti
sih. Kamu jelasin dong.”
“Ooh jalur. Di Kuansing ini kan memiliki
event nasional setiap tahunnya berupa pacu jalur. Biasanya diadakan setiap
bulan Agustus sekaligus untuk memperingati hari kemerdekaan Indonesia. Konon
katanya sih, pacu jalur berawal di abad ke-17.”
“Berarti pas dijajah Belanda, pacu jalur itu
udah ada kan? Apa respon Belanda dengan adanya pacu jalur? Apa diboikot atau
bagaimana?” Avil menatap Shela dengan tatapan penasaran. Rasa penasaran gadis
itu membuatnya lupa dengan masalah percintaannya.
Shela meraih gelas plastic berisi
air putih diatas meja belajarnya dan kemudian meneguk air itu hingga habis. “Setau
aku sih nggak diboikot. Malah pacu jalur tetap diadakan untuk memperingati
perayaan adat, kenduri rakyat, dan bahkan diadakan untuk memperingati hari
lahir ratu Belanda Wihelmina yang jatuh pada tanggal 31 Agustus.”
“Serius? Berarti event pacu jalur
ini termasuk diapresiasi oleh Belanda ya?” tanya Avil. Pertanyaan yang
sebetulnya tak memerlukan jawaban. Shela tersenyum sembari mengangguk pelan.
“Kamu tau kan jalur, Vil? Udah
pernah lihat? Jalur itu kalau disini diartikan dengan perahu yang panjangnya 25
hingga 40 meter. Sedangkan lebar bagian tengahnya sekitar 1,3 meter sampai 1,5
meter. Biasanya satu jalur dikayuah oleh kurang lebih 40 orang. Nah, kalau di
Desa Pulau Jambu ini, nama jalur kebanggaannya Sijontiok Lawuik Pulau Tanamo.”
Shela menghirup nafas, lalu kembali
melanjutkan ceritanya. “Ditahun 2015 lalu, dalam event pacu jalur di Taluk,
Sijontiok berhasil meraih juara 4. Pulang-pulang dari Taluk itu bawa kerbau,
kambing, dan uang. Pokoknya tahun 2015 kemaren itu masa emasnya Sijontiok. Di
Pulau Jambu ini akses jalanannya susah. Mobil nggak bisa masuk. Bisa dibilang
masih desa tertinggallah. Nah, satu-satunya kebanggan Desa ini ya jalur Sijontiok.”
“Aku belum pernah nonton pacu jalur,
baru taunya pun pas bang Gio cerita tadi. Iya, sadar diri kok kalau aku kudet.”
Avil memasang raut wajah sedih, membuat Shela tertawa. “Tenang, besok aku
ajakin nonton pacu jalur. Tanggal 25 Agustus besok, pacu jalur nasional di
Taluk udah mulai, kesana kita!”
“Nggak perlu, bang Gio udah janji
mau ngajakin nonton pacu jalur besok itu,” kata Avil, membuat raut wajah Shela
berubah mendung. Kenapa harus Avil yang
diajak? Kenapa bukan aku? Shela membatin.
“Nggak sabar nunggu hari H pacu
jalur!” Avil berujar senang sembari membaringkan tubuhnya keatas tempat tidur. Mungkin liburan kedesa ini merupakan pilihan
yang tepat. Udah saatnya ngelupain mereka! Nggak mudah memang, tapi bukan
berarti nggak bisa kan?
Avil menghembuskan nafas, lalu
seakan teringat sesuatu, Avil menatap Shela. “Shel, kata bang Gio tadi, jalur
Sijontiok ditahan, bener nggak? Trus gimana bakal ikutan pacu jalur kalau
jalurnya aja ditahan?”
“Tadi pagi emang ditahan, tapi
barusan aku dapat SMS kalau jalurnya udah dilepas tanpa cacat sedikitpun,” kata
Shela sedikit sinis. Avil hanya manggut-manggut, tanpa sedikitpun merasa curiga
dengan perubahan gadis disampingnya itu.
“Vil, apa aku boleh pergi sama kamu
dan bang Gio besok pas nonton pacu jalur?” tanya Shela polos. Avil tertawa
mendengar penuturan Shela, lalu kemudian mengangguk. “Ya bolehlah Shel!”
*@@@*
Shela manyun. Beberapa kali gadis
itu merasa tercueki oleh sikap Gio dan Avil. Menurut Shela, Gio seolah
mengacuhkannya. Ini hari kedua mereka bertiga menonton pacu jalur di Taluk. “Gimana pacu jalurnya, Vil? Seru bukan?”
“Seru! Seru banget bang. Aku belajar
banyak dari event pacu jalur ini,” ujar Avil sembari menggenggam kertas yang
berisi nama-nama jalur dan lawan tandingnya. Gio tertawa. Tawa yang tentu saja
semakin menggetarkan hati Shela.
Apa
sekasat mata itu aku sampai sedikitpun kamu tak menoleh ke aku bang? Shela
membatin, lalu kemudian menghembuskan nafas. Gadis itu kembali mencoba menata
hatinya. Mencoba bersikap biasa-biasa saja, seolah dihatinya memang tak pernah
ada apa-apa.
“Oh ya? Pelajaran apa yang didapat
emang dari event ini?” tanya Gio. “Banyak! Pelajaran pertama, kekompakan.
Setiap jalur jika ingin menang, yang harus mereka miliki adalah kekompakan.
Kalau dilihat-lihat para atlet jalur ini, terutama atlet Sijontiok, mereka
punya rasa kekompakan yang tinggi. Dalam hidup pun jika ingin meraih sesuatu
secara cepat, maka butuh kekompakan dalam team.”
“Pelajaran kedua, fisik yang fit.
Tanpa fisik yang fit, para atlet nggak akan mungkin bisa mengayuah dengan baik.
Begitu pun dalam hidup, tanpa fisik yang sehat, seberapa besarpun rencana kita
untuk menggapai cita-cita kita, tetap nggak akan bisa. Tetap akan terkendala.”
Gio manggut-manggut mendengarkan
penuturan Avil. Entah kenapa, ada sebersiot rasa kagum yang bersemayam untuk
gadis berlesung pipit yang memiliki nama lengkap Avilla Zena itu. “Trus?”
“Banyak deh pokoknya bang, susah
diungkapkan satu-satu. Yang pasti aku belajar banyak. Sebenarnya segala sesuatu
itu jika dilihat dari sudut pandang yang berbeda, banyak pelajaran yang bisa
diambil, termasuk event pacu jalur ini, iyakan Shela?” Avil menatap Shela.
Shela gelagapan. Gadis itu buru-buru
menetralkan dirinya. “Eng iya! Selain itu, yang bisa diambil pelajaran bahwa
kearifan local di Indonesia ini sangat luar biasa dan patut diacungi jempol.
Kearifan yang membuat kita semakin dewasa dalam menjalani kehidupan,” kata
Shela.
Dan
satu hal juga yang pasti. Pacu jalur ini mengajarkanku akan arti menang dan
kalah. Kalah bukan berarti pecundang. Kalah bukan berarti gagal. Kalah adalah
salah satu proses pendewasaan untuk menjemput sesuatu yang lebih hebat dari
yang ada. Termasuk kalah soal cinta. Shela membatin sembari mencoba
tersenyum sok kuat.
*@@@*
“Lari Vil, Shel!” Gio berteriak
histeris. Lemparan batu sebesar kepalan tinju orang dewasa hampir saja mengenai
mereka bertiga. Ini hari ketiga pacu jalur di Taluk ditahun 2016. Avil dan
Shela terengah-engah. Mereka sudah berada ditempat yang aman dan jauh dari
lemparan batu.
Avil membungkuk sembari
menghembuskan nafas. “Kok bisa gitu? Kenapa jalur dari I*****n itu nggak terima
dengan kemenangan Sijontiok?”
Gio mencoba mengatur nafasnya yang
masih tersenggal-senggal. “Itulah yang nggak aku ngerti. Seharusnya pacu jalur
ini semakin mempererat tali silaturrahmi antar atlet dari berbagai daerah, tapi
ini malah rusuh. Mereka nggak mau nerima kekalahan.”
“Di desa kita sejak kecil diajarkan
tentang solidaritas. Diajarkan rasa terbuka untuk menerima kekalahan, apa
mereka tidak diajarkan seperti itu? Merusak kearifan local saja!” Shela ikut
berkomentar gemas.
“Yang diajarkan nenek moyang kita
tentang kearifan local sudah benar. Semua kita diajarin, termasuk mereka,
kejadian ini kembali ke individu masing-masing, apakah masih mau mempertahankan
ajaran nenek moyang atau tidak.” Gio berujar bijak, membuat Avil dan Shela
berbarengan mengangguk setuju.
“Ya, semua itu kembali ke individu
masing-masing.”
“Vil, kamu nggak papa? Ada yang
luka?” Avil menoleh kesumber suara, lalu kemudian sedikit terkejut saat menatap
sipemilik suara. “Rico? Ngapain disini?”
*@@@*
“Aku minta maaf Vil. Benar-benar
minta maaf. Kasih aku kesempatan kedua.” Rico menatap Avil dengan tatapan
memohon. Tiupan angin sore nan lembut membuat ujung rambut Avil sedikit
tertiup.
Avil menatap kesekelilingnya.
Suasana sore nan sunyi, hanya ada dirinya dan Rico yang masih betah menatap
sungai Taluk. “Udah dimaafin kok, Co.”
“Berarti kamu ngasih aku kesempatan
kedua?” Avil tergelak mendengar penuturan Rico, lalu kemudian gadis itu
menggeleng. “Nggak. Aku hanya maafin kamu, bukan berarti ada kesempatan kedua.
Seminggu lebih aku ada di Desa Pulau Jambu, aku belajar banyak disini. Belajar
untuk tahan banting. Belajar untuk nggak cengeng dengan yang namanya cinta.
Belajar untuk nggak pantag nyerah. Belajar untuk lebih menghargai kebudayaan
Indonesia.”
“Lantas?” Kening Rico berkerut, sama
sekali tak mengeryi maksud ucapan Avil. “Intinya disini aku belajar lebih
dewasa dalam memaknai banyak hal, termasuk cinta. Untuk saat ini, aku belum
ingin berkutat dengan cinta yang tak pasti. Masih banyak hal yang masih ingin
aku raih. Masih banyak wilayah Indonesia yang ingin aku kunjungi. Aku ingin
belajar banyak hal tentang kearifan local disemua wilayah Indonesia.”
Rico tertawa mendengar penuturan
Avil. “Sejak kapan kamu jadi sedewasa ini? Siapa yang ngajarin? Apa kamu yakin
dengan apa yang kamu katakana?” ujar Rico seolah meremehkan.
“Pengalaman yang mengajarkanku
bersikap dewasa kaya gini. Aku hanya nggak ingin hatiku terluka kembali karna
cinta yang tak berujung,” kata Avil sembari berlalu. Tanpa mereka sadari,
ternyata sejak awal ada sepasang telinga yang mendengar percakapan Avil dan
Rico.
Sipemilik sepasang telinga bernama Gio itu tersenyum. Jika kamu merpati terbaik, aku rela melepas
kamu terbang tinggi, karna aku tau yang terbaik pasti akan pulang.
Seperti halnya dalam pacu jalur,
jika ingin menang, maka harus focus kedepan. Begitu juga hidup, untuk
mendapatkan sesuatu, kamu harus focus terhadap tujuan kamu. Jangan pedulikan sesuatu
yang negative yang akan menghambat kamu dalam proses menuju tujuan itu. ~
The end
Muthi
Haura. Peksimida, 10 September 2016.
Gimana?
Gimana? Kasih koment atau kritik dan saran ya guys! Oke salam sayang,
@muthiiihauraa.
Sudah bagus sih. Tapi typo-nya mungkin yang perlu diperbaiki. Seperti kearah yang harusnya ke dengan arah dipisah. Di(spasi)sini dsb.
BalasHapusGood luck ya :)
iya mbak, makasi atas koreksinya ya :D
HapusMbak naskah ceritamu enak banget..bisa dijadikan sinetron ya :) suka endingnya buat fokus sama tujuan..proses bisa aja sulit, tapi jangan sampai menyerah :)
BalasHapusMakasih ya mbak, mudah-mudahan one day ada yang mau jadiin sinetron hehe ;D
Hapus