Nafiri
Hai, Assalamua'laikum guys. Kali ini aku mosting hasil cerpen karya aku. Aku nulisin ini semester lima. Udah lumayan lama juga hehe. Boleh dikritik saran. Langsung saja, check this out:
Nafiri
Aku sering kali melihatnya duduk
terpaku diujung gang yang kebetulan berdekatan dengan kosku. Gadis kecil dengan
baju kumal itu menatap nanar kearah jalan. Tak peduli siang, malam, hujan,
panas, gadis hitam kurus itu masih terpaku diujung gang. Entah apa yang sedang
ditunggunya. Sempat terpikir olehku dimana keberadaan orang tua si gadis. Tentu
saja pikiranku itu tak kan pernah ada jawaban, karna sedikitpun aku tak
menggelar tanya.
Sesekali
aku mendekatinya, sekedar menyapa walaupun tak mendapatkan jawaban dari si
gadis kecil itu atau kadang juga kuulurkan seplastik cemilan yang sengaja
kubeli, tapi sama sekali tak berespon. Gadis itu hanya memandangku sekilas
dengan nanar, lalu kemudian kembali menatap jalanan dengan sebuah benda
ditangannya yang ia genggam dengan erat. Benda itu hampir mirip dengan terompet
yang belakangan ini baru kuketahui bahwa benda itu adalah Nafiri. Salah satu
alat musik tradisional yang berasal dari provinsi Riau. Konon katanya, nafiri
digunakan sebagai alat komunikasi masyarakat melayu. Terutama untuk
memberitahukan tentang adanya bencana dan berita kematian. Dan katanya lagi,
pada zaman kerajaan, nafiri merupakan salah satu alat musik yang penting untuk
digunakan pada acara penobatan raja.
Malam
ini seperti biasa, aku menggedarkan pandangan keluar jendela. Menatap si gadis
kecil yang duduk berjongkok menghadap kejalanan. Nafiri itu kini dimainkannya
yang entah kenapa membuat bulu kudukku berdiri. Tatapan gadis itu kosong. Aku
sama sekali tak bisa menerka apa yang tengah gadis kecil itu pikirkan dan aku
sama sekali tak habis fikir dengannya.
Suara
nafiri itu semakin melengking menusuk-nusuk telingaku dan semakin membuatku
merinding. Anehnya, Anis teman sekamarku masih asik berkutat dengan tugas
kuliahnya tanpa sedikitpun merasa risih dengan suara tiupan nafiri itu. Apa
Cuma aku yang terganggu?
Aku
kembali berfokus menatap si gadis kecil. Rasa kasihan itu lagi-lagi muncul,
tapi aku bisa apa? Beberapa kali kutanya pada si gadis kecil itu apa yang
sedang ia tunggu, tapi lagi-lagi tak ada jawaban. Gadis itu seperti biasa hanya
menatapku kosong dengan nafiri digenggamnya erat-erat seakan takut nafirinya
itu lenyap dari pandangan mata polosnya.
*@@@*
Dua hari ini, aku tengah disibukkan
dengan berbagai macam tugas kuliah yang benar-benar menyita sebagian besar
waktuku. Sembari menyeduh segelas teh panas, aku memandang keluar jendela.
Berharap pegal-pegal dibadan karna mengetik berlembar-lembar tugas makalah
dapat hilang.
Mataku
tertuju pada ujung gang. Berharap menemukan sosok si gadis kecil yang dua hari
belakangan ini luput dari pengamatanku, tapi nihil. Sosok gadis kecil berbaju
kumal dengan badan kurus itu sudah tidak ada lagi diujung gang. Disatu sisi aku
berfikiran, mungkin saja gadis kecil itu sudah menemukan apa yang ia cari, tapi
disisi lain, aku takut terjadi apa-apa dengan si gadis kecil. Diculik,
misalnya.
Hatiku
terasa resah. Ku letakkan gelas teh panas keatas meja dan aku langsung berlari
keluar rumah kos. “Hey Nila! Mau kemana?” Teriakan tanya Anis sama sekali tak
kuhiraukan. Didalam pikiranku Cuma satu, kemana si gadis kecil itu?
Aku
berlari keujung gang. Mencari si gadis kecil itu seperti orang yang tengah
kesurupan. Beberapa orang yang tengah berlalu lalang menatapku dengan pandangan
aneh, namun sama sekali tak kuhiraukan.
Saat
lelah mencari, aku akhirnya memutuskan untuk duduk sebentar diwarung yang
jaraknya tak jauh dengan ujung gang. “Dari mana, mbak? Kok ngos-ngosan seperti
itu?” Mpok Yem si pemilik warung bertanya ramah padaku sembari mengulum senyum.
“Mencari
si gadis kecil yang sering menunggu di ujung gang itu mpok. Mpok melihatnya?”
tanyaku antusias. Kening mpok Yem berkerut bingung. “Gadis kecil siapa mbak?”
“Itu
lho mpok, yang sering duduk diujung gang. Ditangannya selalu memegang nafiri
yang ia mainkan hampir ditiap malam.” Aku menjelaskan. Mpok Yem malah tertawa,
menampakkan gigi-giginya yang tak rapi. Tawa yang tentu saja membuatku bingung.
“Oalah
mbak! Nggak pernah ada gadis kecil diujung gang itu. Mpok selalu disini tiap
hari mbak, tapi nggak pernah ngelihat gadis kecil, apalagi memegang nafiri.
Kalau mbak nggak percaya, tanya aja sama bu Ipeh yang selalu nemenin mpok
berjualan.” Jelas mpok Yem panjang lebar.
Deg!
Entah kenapa penjelasan mpok Yem itu benar-benar menikam jantungku. Trus siapa
gadis kecil yang aku lihat belakangan ini? Kepalaku terasa pusing dan aku
memutuskan untuk kembali kekos. Saat tiba dikamar kos, aku menemukan sebuah
nafiri yang sama persis dengan yang dimiliki oleh si gadis kecil diatas meja
belajarku. ~
0 komentar: