16
Nasya
berdiri mematung didepan ruangan dosen. Kepala gadis itu melongok kekanan dan
kekiri. Berharap orang yang dicarinya dapat ia temui. Nasya menghela nafas saat
ujung matanya sama sekali tak menangkap sosok itu. Davi. Ya, lelaki itulah yang
tengah ditunggunya.
Gadis itu menghembuskan nafas
kecewa. Kotak bekal nasi goreng yang ditentengnya ia masukkan kedalam tas, lalu
dengan langkah gontai gadis itu berjalan menuju perpustakaan. Sebuah tangan
menarik lengan Nasya dari belakang, membuat langkah gadis itu terhenti.
“Awh.” Nasya meringis pelan, lalu
kemudian membalikkan tubuhnya. “Eng. Eh. Kenapa kak?” tanya Nasya dengan raut
wajah sedikit ketakutan. “Kak-kak! Emang gue kakak lo. Davi mana?” Siska
melipat tanganya didepan dada, menunjukkan aura seorang senioritas yang seakan
berkuasa.
“Nggak tau.”
Siska meringis sembari tersenyum
sinis mendengar jawaban yang keluar dari mulut Nasya. Ditariknya rambut Nasya
sehingga membuat Nasya meringis pelan. Beberapa mahasiswa dan mahasiswi yang
melihat kejadian itu pura-pura tak ambil pusing. Mereka tau siapa Siska dan repotasi
gadis itu sebagai cewek terkejam sefakultas.
“Gue bilangin sama lo ya, Davi itu
punya gue. Lo tau kan harus ngapain? Jauhin Davi, ngerti?” Siska menekan
disetiap kalimatnya. Seolah sama sekali tak menghiraukan raut kesakitan dari
wajah Nasya. “Ngerti nggak?” Bentak Siska.
Nasya mengangguk pasrah. Siska
melepaskan jambakannya dan berlalu tanpa sedikitpun merasa sungkan ataupun
bersalah. Nasya meringis pelan, lalu kemudian gadis itu merebahkan tubuhnya
pada sebuah kursi yang memang selalu diletakkan didepan setiap kelas. Beberapa
orang yang melihat kejadian itu menatapnya dengan tatapan iba dan Nasya sangat
membenci tatapan itu.
Bayangan wajah Davi muncul
dibenaknya. Apa aku harus melepaskan
sesuatu yang bahkan belum aku dapatkan? Apakah aku harus merelakan kebahagiaan
aku demi orang lain yang bahkan nggak pernah sedikitpun menghargai aku?
Nggak!
Nggak akan! Davi pernah bilang kalau aku harus memperjuangkan apa yang aku
inginkan, jadi nggak salah kan kalau aku memperjuangkan cinta aku? Memperjuangkan
dia?
*@muthiiihauraa*
Atar membanting botol coca-colanya
ke tong sampah dan
tentu saja lemparan itu meleset. Lelaki itu sama sekali tak memiliki semangat,
bahkan gairah untuk membully Nasya dikelas tadi pun nggak ada.
Pikiran Atar tertuju pada satu
gadis. Satu gadis yang amat dicintainya nan jauh diujung sana. Kafta. Nama itu
terngiang dimemori otak Atar. Sudah beberapa kali Atar mencoba menghubungi
nomor hp Kafta, tapi selalu tak ada jawaban.
Maafin
gue Kitty, tapi please jangan cuekin gue kaya gini. Ini terasa begitu
menyakitkan buat gue! Gue bakal tanggung jawab. Maaf udah buat lo berada dalam
posisi tersulit seperti ini.
Atar menghembuskan nafas pelan, lalu
meraih tas ranselnya dan berjalan menuju parkiran. Tanpa sengaja lelaki itu
menabrak seorang gadis hingga membuat gadis itu terjatuh dilantai.
“Lo jalan pakai mata kenapa? Udah
kakinya cacat, apa mata lo juga ikut cacat?” Atar membentak gadis itu, padahal
sebenarnya ia yang bersalah. Gadis itu hanya bisa terpaku ditempatnya. Kalau saat ini ada kamu Dav, pasti kamu udah
bantuin aku. Batin gadis itu.
Karna tak mendapatkan respon dari
Nasya, Atar menarik lengan gadis itu sehingga membuat Nasya mau tak mau
berdiri. “Apa sih Atar? Sakit!” keluh Nasya. Atar tampak tak peduli. Ditariknya
Nasya agar mengikutinya kearah parkiran.
Nasya mencoba melepaskan tangannya,
tapi sia-sia saja melihat tenaga Atar yang jauh berkali-kali lipat dari
tenaganya. Atar baru melepaskan tangan Nasya saat mereka udah berada
diparkiran. Lelaki itu menatap Nasya kesal.
“Lo itu matanya ditaroh mana sih? Lo
nggak liat tadi gue lagi jalan ha? Nggak liat?” tanya Atar dengan nada
membentak-bentak. Nasya menunduk. Sedih-sakit-perih, itu yang Nasya rasakan. Tadi dia udah diomelin
senior, sekarang ditambah diomelin Atar.
“Kenapa diam? Udah kaki lo yang
nggak berfungsi, trus tadi mata lo, sekarang telinga lo gitu? Iya ha?”
“Udah marah-marahnya? Puas? Banci lo
beraninya sama cewek!” Sebuah suara menghentikan amarah Atar. Lelaki itu
berbalik dan menatap sang sumber suara. “Kenapa berhenti? Udah selesai
marah-marahnya? Puas udah ngelampiasin semua amarah lo ke Nasya?”
Atar terdiam. Sama sekali tak tau
harus berkata apa. “Sekali lagi gue lihat lo nyakitin Nasya, gue habisin lo!
Ngerti?” Lelaki itu mendorong tubuh Atar, lalu kemudian meraih pergelangan
tangan Nasya dan membawa gadis itu berlalu dari hadapan Atar.
*@muthiiihauraa*
Puja mondar-mandir didepan kamar
Davi. Sesekali tangan wanita itu mengetuk pintu kamar, tapi sama sekali tak
ada respon dari dalam. “Dav! Buka pintunya. Kamu kenapa?” Puja mengulang
pertanyaannya yang entah untuk keberapa kalinya.
Memang dari tadi pagi, Davi tak
keluar kamar. Bahkan untuk sarapan pun tidak. Tentu saja hal itu membuat sang
nenek khawatir. “Dav!” Puja kembali mengedor pintu kamar Davi.
“Aku nggak papa nek. Cuma lagi butuh istirahat
sebentar aja.” Dari dalam kamar terdengar suara Davi disertai batuknya. Jujur
saja, makanan yang ditelan Davi sejak semalam tidak pernah bisa masuk
keperutnya. Ada rasa menganjal dihatinya saat makanan-makanan itu lewat.
Bayangan wajah Nasya tiba-tiba
muncul dibenak Davi. Entah kenapa ada kecemasan dihatinya terhadap Nasya dan
sejak mengenal gadis itu, Davi merasa hidupnya jauh lebih berwarna. Davi
menghela nafas, lalu meraih hpnya.
Mengetikkan sebuah sms untuk gadis itu dan kembali merebahkan dirinya
kealam mimpi. Mencoba meleburkan semua rasa sakit yang ada.
Puja diluar kamar menghela nafas
sembari menatap pintu kamar Davi yang tak kunjung terbuka. Terlalu banyak
rahasia dan wanita itu mulai lelah untuk mengungkapnya.
*@muthiiihauraa*
Fian mengulurkan sebuah es cream
dihadapan Nasya dan langsung diraih oleh Nasya. Tatapan gadis itu tertuju pada
danau dihadapannya. Fian duduk disamping Nasya, lalu kemudian menatap gadis
itu. “Kenapa tadi nggak ngelawan? Begok banget!” keluh Fian.
Nasya menatap Fian sekilas, lalu
kembali tertuju pada danau. “Lo itu harus bisa ngelawan! Jangan jadi cewek
cengeng plus begok kaya gini terus dong. Mau sampai kapan ditindas? Betah
banget kayanya!”
Nasya pura-pura tak mendengarkan
semua ucapan Fian. Dibiarkannya Fian berkoar sesuka hatinya. Hape gadis itu
berdering menandakan sebuah SMS masuk, Nasya meraih hapenya. Menatap sms yang
tertera dilayar itu dengan tertegun.
From : Davi
Hay,
gimana kabarnya hari ini? Harus jadi cewek kuat ya! Strong grils. Kejar semua
mimpinya!
Ada setitik manik yang turun dari
pelupuk mata Nasya. “Lo denger gue nggak?” Fian menatap Nasya dan menemukan
gadis itu dengan mata sedikit berbinar saat menatap hapenya. Rasa penasaran
Fian tumbuh. Tanpa permisi, lelaki itu merebut handphone dari tangan Nasya.
“Eh kamu apa-apaan sih Fi?” Nasya
mencoba meraih hape dari tangan Fian, tapi tentu saja itu sia-sia. Fian menatap
sms yang tertera dihape Nasya. Entah kenapa sejak kejadian kecelakaan Kafta,
Fian sama sekali tak berniat lagi balas dendam pada Davi, walau mungkin rasa
sakit itu masih ada.
Fian menatap SMS itu sekali lagi,
lalu kemudian mengembalikan hape itu ketangan Nasya. “Yuk balik, udah sore.”
Ajak Fian.