Story at Pulau Jambu #4
Haai,
Assalamua’laikum. Lagi apa? Kemaren aku agak ngedown gara-gara satu dan lain
hal. Selain itu, rasa malas kian menjadi-jadi. Hari ini kembali kutepis rasa
malas. Susah sih, tapi bukan berarti aku nggak bisa kan? Tahun ini rasa-rasanya
banyak banget yang ingin dikejar dan dicapai. Semoga Allah selalu membuka
setiap langkah untuk impian-impianku. Amin.
Oke
deh, kali ini aku pengen ngelanjutin cerita aku ditempat KKN. Semua yang aku
ceritain ini memang real ya. Nggak ada yang ditambah-tambah atau dibuat-buat.
oke langsung saja, check this out :
Baca juga : Story at PulauJambu#1 | Story at Pulau Jambu #2 | Story at Pulau jambu #3
Empat …
Rabu, 3 Agustus, sekitaran jam 5
pagi-an, aku udah bangun. Bantu-bantu beres-beresin posko dan siap-siap pergi
ngajar. Hari ini memang dapat jadwal ngajar ke SD 003 Pulau Jambu bareng salah
satu teman cewek yang sebut saja namanya A dan Fajri. Pas lagi siap-siap itu,
agak tertegun ngelihat pakain A yang bajunya ketat, kalau menurut aku bukan
baju yang pantas untuk ngajar.
Aku dan teman-teman lain pengen
negur, tapi segan. Ngajarin adik-adik SD itu sebenarnya asik. Ada kesenangan
tersendiri disana, walau terkadang tingkah-tingkah mereka bikin geleng-geleng
kepala. Masa pada lari-larian dikelas, trus teriak-teriak, sempat-sempatnya
juga berantem sama teman.
Pokoknya tingkahnya nauzubillahlah,
sempat aku mikir juga jadinya, apa aku dulu pas sebaya mereka kaya gini juga,
rasa-rasanya nggak separah inilah. Itulah mengapa guru atau pendidik harus memiliki
stok kesabaran yang banyak.
Selesai ngajar, aku; A; dan Fajri
photo-photo bareng adik-adik cowok kelas VI Desa Pulau Jambu. “Udahlah, capek
aku. Kalian aja yang photo-photo lagi.” Aku menjauh dari kerumunan, lalu duduk
sambil melihat mereka yang masih asik melanjutkan sesi photo-photo.
Fajri juga masih asik mengambil
photo dengan A dan adik-adik itu sebagai obyek photonya. “HEEY! SIAPA YANG TADI
MEGANG TU? NGGAK SOPAN KALIAN!” Tiba-tiba A keluar dari kerumunan sambil teriak
marah-marah keadik-adik kelas VI itu.
Aku sama Fajri mengerutkan kening
bingung sambil nanya kenapa ke si A. Kata A, ada yang megang pantatnya pas
photo-photo itu. Aku geleng-geleng kepala ngelihat adik-adik kelas VI SD itu.
Entah mereka sengaja atau bagaimana, aku sama sekali nggak tau.
Yang pasti, satu pelajaran pula yang
dapat aku ambil dari kejadian ini adalah bahwa kalau kamu ingin jadi perempuan
yang dihargai, hargai dulu dirimu sendiri. Salah satu cara menghargai diri
sendiri adalah dengan tidak memakai pakain yang ketat.
Bagaimana mungkin orang lain bisa menghargaimu kalau
kamu tidak menghargai diri sendiri kan? Mungkin adik yang megang itu salah,
tapi tidak sepenuhnya kesalahan itu dilimpahkan kedia, coba introfeksi diri.
Ah, ini nasihat buat aku pribadi sebenarnya.
*@@@*
Kamis, 4 Agustus. Hari ini kami ke Kecamatan Pangean
buat nonton pacu jalur. Tentu saja jalur kami Sijontiok Lawuik dari Pulau
Tanamo ikut main. Dari Cerenti ke Pangean itu membutuhkan waktu satu jam lebih.
![]() |
Selfie di Pix up |
![]() |
Selfie di pix up |
Lagi-lagi kami kesana pulang pergi naik pix up. Pas
pulang dari Pangean itu, Nengsih dan Avi yang benar-benar pemabuk udah mulai
mual-mual. Tiba di kompang, mereka pada muntah. Aku coba nguruti tengkuk mereka
dan ngasihin minyak kayu putih.
Malah sempat-sempatnya si Avi jatuh, akhirnya Avi
dianterin duluan keposko bareng bundo. Nengsih juga udah mulai loyo-loyo. Aku
nuntun dia buat angsur jalan sampai ada yang ngejemput.
“Neng bisa kan?” tanyaku, sedangkan dia cuma
ngangguk lemah. Beberapa kali juga aku ngurutin tengkuk dia pas dia mual, tapi
muntahannya yang keluar Cuma air. Akhirnya Ipad ngejemput, aku sama Nengsih
naik kemotor.
Dimotorpun Nengsih udah nggak ada tenaga, akhirnya
pas sampai dihalaman posko, turun dari motor, Nengsih jatuh dan teriak-teraik
manggil mamaknya. Aku ya pasti bingunglah, mau gendong dia nggak mungkin,
soalnya Neng lebih berat dari aku.
“Ipad, gendonglah Neng sampai keposko. Kasihan ha.
Cepatlah!” kata Resti yang kebetulan baru sampai juga dihalaman posko. Ipad
natap bingung dengan sedikit sungkan. “Ha? Ipad gendong ni? Iya?”
“Iya! Cepat!”
Akhirnya
Ipad gendong Nengsih sampai keposko sambil lari-lari. Kami ya tentu
khawatirlah, apalagi Neng terus-terusan manggil mamaknya. Dia juga ngeluh kalau
badannya lemas kali, semua badannya sakit-sakit.
Posko saat itu mati lampu, Avi juga terbaring
didalam, sedangkan bundo teriak-teriak khawatir ngelihat Neng kaya orang
kesurupan. “Istigfar Neng istigfar. Bawa ngucap! Aduh gimana ni woy? Aku
takutlah kalau kaya gini, aku panggillah ibu-ibu dimasjid ya, kebetulan banyak
yang belum pulang.”
Bundo kemudian lari-lari ke masjid, bertepatan
dengan itu lampu hidup. Nengsih masih teriak-teriak nggak jelas kaya orang
kesurupan. Cewek-cewek lain yang udah sampai posko tentu juga khawatir,
sempat-sempatnya pula Sitoh nangis, aku juga sih.
Ibu-ibu di masjid pada datang keposko ramai-ramai.
Mereka pada bilang kalau Neng ‘keteguran’. Kalau di Desa Pulau Jambu, keteguran
itu ya kaya kesurupan gitu.
Akhirnya dipanggillah ino yang bisa ngobati orang
yang lagi keteguran. Ino itu entah bawa ramuan kaya apa, trus dijampi-jampinya.
Kata Ino, pas magrib tadi makhluk halus itu nyapa Neng. Kebetulan pula Neng ini
kondisi fisiknya lagi lemah dan pikirannya entah kemana-mana.
Satu hal
yang dapat aku ambil pelajaran dari kejadian ini adalah bahwa apapun yang
sedang terjadi dengan diri kita, jangan pernah lupakan Allah. Jangan pernah
kosongkan fikiran dari mengingat Allah.
Kita nggak akan pernah tau apa yang bakal terjadi
kedepannya, yang pasti jangan pernah lupakan Allah dari segala aspek hidup
kita. Ya, itu nasihat untuk diriku sendiri. Untuk diriku yang masih sangat
sangat sangat lalai akan perintah-Nya.
*@@@*
Jum’at, 5 Agustus, masih ikutan nonton pacu jalur di
Pangean. Pas lagi ngelihatin atlet Sijontiok Lawuik dari Pulau Tanamo latihan fisik,
tiba-tiba ada dua orang bapak-bapak yang nyamperin pelatih Sijontiok Lawuik
sambil marah-marah.
“Mana mereka? Kalian sembunyikan dimana tiga orang
tadi? Jangan sok hebat kalian disini!” kata salah seorang bapak berbaju merah
dan membawa peluit. Kami sama-sama bingung, termasuk pelatih Sijontiok.
“Ini masalahnya apa pak? Coba ceritakan, mungkin
kita bisa cari solusi sama-sama.” Kata pak Ayub selaku pelatih Sijontiok. Bapak
berbaju merah itu dengan muka galak menceritakan bahwa tadi pagi ada tiga orang
pemuda yang memakai seragam Sijontiok yang berarti mereka adalah atlet
sijontiok.
Salah seorang dari tiga pemuda ini memegang salah
satu bendera dari jalur Pangean sambil berkomentar, “Emangnya jalur ini pernah
menang? Manalah mereka pernah menang.”
Rupanya pembicaraan ketiga pemuda tersebut didengar
oleh pelatih jalur yang mereka ceritakan itu. Pas ketahuan, ketiga pemuda ini
lari, sedangkan pelatihnya dan bapak berbaju merah itu ngejar sampai-sampai
dicariin di poskonya Sijontiok.
Si bapak pelatih dan bapak berbaju merah
marah-marah, pokoknya sampai narik perhatian masyarakat sekitar. Sampai-sampai
salah satu dari kedua bapak itu bilang kalau dia berani ngebunuh ketiga pemuda
yang jelek-jelekin jalurnya itu.
Setelah kedua bapak yang marah-marah itu pergi, pak
Ayub menyuruh beberapa atlet Sijontiok untuk mencari ketiga pemuda itu. Saat
ketiga pemuda itu diketemukan pak Ayub menggeleng-gelengkan kepala.
“Lepaskan baju sijontiok tu dan pergi kalian
pulang!” ucap pak Ayub tegas. Ya, itulah konsekuensi yang didapat oleh ketiga
atlet sijontiok itu, dikeluarkan dari sijontiok.
Aku Cuma bisa menghembuskan nafas pelan. Satu hal
yang dapat aku ambil pelajaran dari kejadian itu adalah saat kamu memakai
pakaian berlambang suatu organisasi, organisasi apapun itu, kamu tidak hanya
sedang mempertaruhkan nama baikmu sendiri, tapi juga mempertaruhkan nama baik
organisasi tersebut.
Saat memakai pakain berlambang organisasi, memang
akan ada kebanggaan, tapi sebenarnya esensi dari lambang bukan hanya itu. Bukan
hanya soal kebanggan, tapi soal tanggung jawab besar yang dipikul.
Selain itu, pelajaran lainnya, saat kamu telah
menjadi public figure, apapun
perkataan dan tindakanmu akan menjadi sorotan, maka berhati-hatilah dalam
berkata dan bertindak.
Malamnya, aku; Sipen; Resti; Ipad; bang Kho; dan
Nengsih nonton film Barat yang lumayan sadis dilaptop Sipen. Filmnya bikin aku
greget sendiri. Soalnya satu keluarga di film itu ditindas.
“Apalah anak broadcasting ni, dia pula yang heboh,”
kata Ipad sambil tertawa. “Entahlah. Mungkin kalau Muthi yang buat film, pasti
filmnya Cuma lima menit, soalnya tokoh jahatnya langsung dimatiin sama dia.”
Bang Kho ikut-ikutan berkomentar.
Aku hanya tertawa, tapi entah kenapa mengiyakan
juga. Aku orangnya nggak tegaan, kalau bikin film yang penindasan gini kayanya
nggak sanggup. Aku lebih suka bikin film yang bisa memotivasi orang lain.
*@@@*
“Ooh ini anak-anaknya Kukerta Pulau Jambu ya?”
Seorang bapak berseragam PNS berkomentar saat kami duduk-duduk dengan
bapak-bapak kepala desa di Kecamatan.
Memang hari ini ditanggal 9 Agustus, aku; Asih; Eko;
Bunda; dan Sipen ke Kecamatan. Kami ikutan upacara dan nanti juga ada agenda
rapat. Oh ya, dari Desa Pulau Jambu untuk sampai ke Kecamatan harus melewati
sungai juga dengan Kompang. Kira-kira sekitar tujuh kilo.
“Bukan! Mereka bukan anak Kukerta Desa Pulau Jambu,
tapi mereka anaknya pak kades Pulau Jambu,” jawab pak Rusmelli selaku Kepala
Desanya Pulau Jambu. Mendengar jawaban dari pak kades, entah kenapa hati aku
langsung tersentuh. Bayangkan, kami dianggap anaknya.
Ah, pak kades kami memang baik. Ia juga sering
ngasih kami patuah-patuah yang bermanfaat. Salah satu yang aku ingat adalah
jadi perempuan itu jangan mudah memberi apa yang dipunya, karna yang paling
menyesal nantinya perempuan itu sendiri.
Setelah ngumpul-ngumpul dengan bapak-bapak kades
dari berbagai desa, kami ke masjid dekat kantor kecamatan. Disana kami nunggu
teman-teman dari desa lain yang sama-sama berlokasi di Kecamatan Cerenti.
Ya, kami memang akan rapat kecamatan untuk acara
tabligh akbar yang akan kami adakan sekecamatan. Bertemu dengan teman-teman KKN
dari desa lain, entah kenapa ada kesenangan tersendiri. Rasa-rasa ketemu teman
seperjuangan.
Pas event pacu jalur di Baserah dan Pangean yang
kami ikuti pun, sering juga jumpa anak-anak KKN dari desa lain, baik dari UNRI
ataupun UIN. Biasanya kalau jumpa, kami saling melempar senyum atau kalau
sempat juga saling berkenalan bertukar nama.
Malamnya, kami bantu-bantu salah satu warga yang
anaknya bakal ngelangsungi pernikahan. Aku; Avi; Bundo; Nety; dan Sitoh dapat
kerjaan makaikan inai untuk pengantin lelakinya. Pas ngelihat
kesibukan-kesibukan pesta pernikahan gini, sempat juga terbesit, akunya kapan
nyusul ya?
Ditanggal 10 Agustusnya, kami ikutan pengantin
laki-laki untuk pawai sampai kerumah pengantin perempuan. Di Desa Pulau Jambu,
memang tradisi nikahannya ada pawai-pawai gini.
Siangnya, aku; Avi; Nengsih; Resti; dan Asih kerumah
adik pak Kades untuk buat bubur kacang hijau. Bubur kacang hijau ini nanti
malam akan dibagikan kepada atlet-atlet sijontiok yang lagi latihan fisik.
Mereka sedang mempersiapkan diri untuk event pacu jalur nasional di Taluk.
Sempat-sempatnya juga setelah masak bubur, kami
photo-photo didekat sungai Kuantan. Puas photo-photo dengan berbagai posisi,
akhirnya kami mutusin buat balik ke posko. Nyampai posko udah surprise ngelihat
Sipen dan bang Kho masak.
Tapi parahnya, pas bang Kho masak cabe, kami seisi
posko dibuat bersin dan batuk-batuk. Kayanya itu cabe nggak dikasih bawang atau
minyaknya kurang. Tuh kan, kerjaan perempuan itu nggak mudah. Jangan
menyepelekan pekerjaan perempuan, memasak itupun bukan hal yang mudah.** BERSAMBUNG.
Sabtu,
28 Januari 2017. 08.02 WIB.
wah sepertinya kenangan di pulau hambu tak kan terlupakan ya... seru nampaknya
BalasHapusiya mbak seruu :D
HapusSeru ya mbak kegiatannya, apalagi pergi naik pick up, jadi ingat kenangan bersama teman2 ku dulu. :)
BalasHapusIya mbak seru :)) ayo nostalgia :p
HapusJadi pengantin prianya mana? hihi :)
BalasHapusduuh pertanyaannya mbak haha. masih di lauhul mahfuz mbak :)
HapusWah, salah langkah nih, saya baca dari awal ah :D
BalasHapusSalam,
Oca
haha ayoo baca :))
HapusNgeri kalau sampai kesurupan gtu ya mbak, untung gpp :)
BalasHapusTFS