Story At Pulau Jambu #5
Hai,
Assalamua’laikum. Gimana kabarnya? Minggu-minggu ini rada banyak kerjaan,
ditambah lagi sejak Selasa kemaren, aku sama adik bungsuku Dani jualan. Kami
jualan Oreo Chesse Lumer. Dari aku modalnya, aku yang masakin, Dani yang jualin
kesekolahnya. Sistemnya pesanan, jadi kalau ada yang mesan ya dibuat, kalau
nggak ya nggak.
Bersyukur
banget ngelihat Dani yang orangnya nggak gengsian dan nggak malu buat jualan.
Dia malah senang sambil bilang dengan bangga kalau dia punya penghasilan
sendiri. Aku salut sama dia. Umur dan badanmu memang masih kecil dik, tapi
pemikiranmu sudah bisa dikatakan dewasa dibanding teman-temannya.
Sayang
kali aku sama si bungsu Dani ini. Walaupun masih kelas IV SD, tapi semangatnya
patut diacungi jempol. Love you ya dek! Oke
deh, kali ini aku pengen sharing kelanjutan novel ‘Story At Pulau Jambu’. Novel
ini real berdasarkan pengalamanku saat KKN di Desa Pulau Jambu Kuantan
Singingi. Langsung saja, check this out:
Lima …
“Dek, iko vitaminnyo dibuka pakai
guntiang. Yang merah untuk anak umur satu tahun keatas, sedangkan yang biru
untuk anak enam bulan keatas.” Kak Yuli menyodorkan bungkusan vitamin dan
gunting kepadaku.
Aku menerima bungkusan vitamin itu
dan mengikuti suruhannya. Memang saat ini aku; Nety; Sitoh; dan Bunda sedang
berada di posyandu Desa Pulau Jambu, tepatnya ditanggal 11 Agustus. Saat ada
adik-adik yang datang dan setelah ditimbang, maka tugas aku memberikan mereka
vitamin sesuai sfesifikasi umurnya.
Ini pengalaman baru bagiku.
Pengalaman pertama ngasihin vitamin. Senang? Pasti! Pengalaman baru, ilmu baru
kan? Ditanggal 12-nya, aku sama Sitoh nganterin vitamin kerumah ibu-ibu yang
nggak datang posyandu. Tentu saja kami disambut dengan ramah.
Malah juga ditawari minum dan makan
kue. Biasanya kalau mampir kerumah warga dan saat ditawari makanan plus
minuman, jarang kami sentuh. Bukannya nggak menghargai, hanya saja untuk
berjaga-jaga. Soalnya itu yang selalu diingati senior.
Malamnya, aku udah tepar duluan,
soalnya agenda hari ini lumayan padat, sedangkan beberapa teman-teman
cerita-cerita dengan Pak Kades dan beberapa pemuda diluar posko.
Saat
tengah malam, aku bangun dan teman-teman masih asik bercerita, tapi pak Kades
dan para pemudanya udah pada pulang. “Tadi pak kades kesini? Apa kata pak
kades?” tanya aku ke Bunda dan bang Kho.
“Tulah,
ngapa tidur? Macam pulut. Serulah cerita-cerita tadi. Tentang mistis, hantu,
racun, dan lain-lain,” kata bang Kho yang memang suka bilang ‘macam pulut’.
“Apa? Ceritalah ha!”
Awalnya
satupun mereka nggak ada yang mau mengulang cerita untuk aku, tapi akhirnya
setelah dipaksa-paksa, akhirnya diceritakan juga. Kata mereka dengar cerita
dari pak kades, daerah Peranap dan Sikakak itu banyak makanan yang beracun.
Makanya hati-hati kalau mau makan disana.
Untuk
mengetahui makanan tersebut beracun atau nggak, ada caranya, salah satunya saat
makanan dihidangkan, coba sedikit, rasakan langit-langit lidah, kalau
langit-langit lidah terasa geli, berarti makanan itu aman.
Cara
yang lebih gampang lainnya, makan apa yang dimakan oleh banyak orang, misalnya
pas lagi dipesta nih, makan yang dimakan oleh orang banyak. Selain itu, pak
kades juga ada cerita saat ditawari minum, coba bilang gini : ‘kurang manis
nih!’
Biasanya
kalau diminuman itu ada racun dan saat dikatakan begitu, sang pemberi racun
atau pemberi minuman itu akan marah. Kalau dia kelihatan marah, berarti
diminuman itu memang ada racunnya. Sedangkan kalau dia biasa-biasa aja
responnya, berarti minumannya aman.
Hal
ini pernah dilakukan oleh bang Eko yang merupakan salah seorang perangkat desa.
Jadi waktu itu bang Eko keposko, si Nengsih bikinin minuman teh. “Kurang manis
tehnya, Neng,” kata bang Eko sambil menatap Neng dengan tatapan menyelidik.
Kami
yang nggak ngerti apa-apa cuma bisa ketawa sambil nawarin abang itu gula.
Ternyata maksudnya untuk nguji rupanya. Trus
hati-hati juga kalau ngelewati Sikakak, soalnya di daerah Sikakak masih banyak
hal-hal mistisnya. Jalanan Sikakak ini masih lebat hutannya, selain itu
jalannya juga rusak.
beberapa kali. Suasana Sikakak hampir sama dengan Pulau Jambu, tapi lebih indah. Di Sikakak ada persawahan, pokoknya suasananya segar dan cantiklah. Malah sempat-sempatnya beberapa kali kami berphoto disana bareng Yudhi; Fajri; Nety; dan Asih.
![]() |
At Sikakak |
Tapi
memang kondisi jalanannya rusak parah. Pernah juga pas pulang dari Kecamatan
bareng Asih dan Bunda, kami ngelewatin Sikakak dan tiba-tiba ditengah hutan itu
motor kami mati. ini greget banget! Jalanan Sikakak ini alternative untuk
sampai ke Pulau Jambu dengan tidak menyebrangi sungai alias nggak naik kompang.
Selain
cerita tentang racun, kata mereka, pak kades juga cerita tentang hantu. “Memang
di posko kami dulu itu ada hantunya. Trus juga ada hantu yang terkenal, namanya
hantu kolosik. Kata pak kades, hantu kolosik ini ngincarnya anak-anak,” kata
Ipad.
“Tulah,
makanya kalian yang cewek-cewek kalau mau mandi, lihat genteng yang bolong
diatas kamar mandi tu. Lihat terus, biasanya disitu ada tuh.” Sifat jahil dan
nakut-nakutin bang Kho kembali kambuh. Kami yang cewek-cewek tentu selalu
protes kalau bang Kho udah mulai jahil.
*@@@*
“Woi,
kita pulang lewat mana nih? Kalau pakai Kompang, uang kita nggak ada. Masa
lewat Sikakak, takutlah aku,” kata Nengsih. Aku; Resti; Sitoh; Avi; dan Asih
nggak tau mau ngomong apa, sama-sama bingung harus nentuin pilihan. Memang saat
ini kami sedang berada di Kecamatan untuk nonton pertandingan volley cewek
antara Desa Pulau Jambu dengan desa lain. Sayangnya, dari desa kami kalah.
Akhirnya
kami mutusin buat pulang lewat Sikakak disebabkan tidak memiliki uang untuk
naik kompang. Sebenarnya rada takut, apalagi menjelang magrib gini, tapi ya mau
gimana lagi kan? Kami berangkat dengan dua motor, ya memang tarek tiga-tarek
tiga. Aku sama Nengsih dan Avi, sedangkan Asih sama Resti dan Sitoh.
Pas
ngelewati Sikakak, ketemu dengan dua orang pemain volley cewek dari Pulau
Jambu, salah satunya bernama Yeni, sedangkan yang satunya lagi, aku lupa
namanya. Kami minta barengan sama mereka, tentu saja mereka mau.
Diperjalanan
sempat-sempatnya kami becanda dengan dua atlet volley dari Pulau Jambu itu,
mereka orangnya asik-asik. Tiba-tiba, motor Yeni berhenti, mereka ternyata
ngelihat manusia berkulit sangat hitam dan terbang kelangit.
“Oi
copeklah. Itu ado entah apo-apo ha yang tobang![1]”
Yeni berteriak kekami sambil tangan kanannya menunjuk kearah hutan. Aku tentu
saja mengikuti arah telunjuk Yeni. “Woi matilah kita woi. Apa tu. Aduh!” Avi
ikut-ikutan panic.
Aku
yang duduk diboncengan paling belakang, tentu juga panik. “Cepatlah lajukan
motor tu, Vi!” kata Nengsih yang sesekali sibuk melirik handphonenya. Motor
Yeni dan Asih udah melaju duluan, diikuti oleh motor yang kami kendarai.
Tiba-tiba,
motor yang dikendarai Asih mogok karna habis minyak. Hari sudah mulai gelap.
Tentu saja kondisi ini semakin membuat kami panik. “Dorong motor Asih tu, biar
aku sama Resti yang nyari minyak atau balik keposko manggil anak cowok,” kata
Avi.
Aku
dan Sitoh bantuin dorong motor, sedangkan Nengsih sibuk nelponin Ipad, tapi
sayangnya nggak ada signal. Yeni dan temannya dengan motor mereka ngikutin
kami. Sambil dorong motor, kami setengah berlari. Pokoknya was-was abis.
Cerita-cerita
pak kades tentang daerah Sikakak mampir dibenakku. Sempat juga menyesali kenapa
kami harus lewat sini. Cukup lama kami berlari sambil dorong motor, akhirnya
Ipad datang ngejemput. Motor yang kehabisan bensin tu digiring oleh Ipad
dibantu Yeni. Ini pengalaman mendebarkan!
*@@@*
Suara
bedug/gendang dipukul cukup lama. Biasanya dipukul saat masuk waktu sholat aja,
tapi kali ini pukulannya lama, tentu saja menjadi tanda tanya bagi kami.
Ternyata kalau pukulan bedugnya lama, itu menandakan ada yang meninggal.
Hari
ini tanggal 16 Agustus. Sekitaran jam 8-an pagi, kami udah berada dirumah salah
seorang warga yang suaminya baru saja meninggal. Ngelihat ada yang meninggal
gini, bikin aku flashback pas almarhumah umi dan almarhumah nenek meninggal.
Rasanya sedih banget.
Bayangan
wajah umi dan nenek saat itu seketika muncul. Ah, aku rindu mereka. Rindu kedua
orang wanita yang teramat aku cintai itu. Dua wanita yang mengajarkanku tentang
kehidupan. Memang pada nyatanya, setiap yang bernyawa pasti akan mati. Cepat
atau lambat, semua punya gilirannya masing-masing. Tinggal bagaimana kita
mengisi hidup ini.
Sorenya,
saat kami lagi nyabut-nyabut rumput didepan posko, tiba-tiba Yudhi manggil
Sipen. Mereka masuk posko cowok dan pintunya dikunci. Kami yang cewek-cewek
tentu bingung. Beberapa menit kemudian, kami dengar suara cangkir yang
dibanting.
Aku
ngerasa khawatir, beberapa kali aku ngeliat pintu posko. Mungkin kekhawatiranku
tertangkap oleh Ipad. “Nggak papa do, Muthi. Santai ajalah,” kata Ipad sambil
tersenyum. Gimana bisa santai, sedangkan teman kita didalam posko itu nggak tau
lagi ngapain.
Aku
menghembuskan nafas lega saat pintu posko dibuka. Sipen dan Yudhi keluar dengan
muka yang sama-sama masam. Dengar-dengar dari ceritanya anak-anak cowok, Yudhi
marah ke Sipen gara-gara kerjaan banyak untuk 17 Agustus besok, sedangkan
satupun belum ada selesai. Malah katanya mereka sempat adu jotos didalam posko.
Kalau
boleh jujur memang banyak banget kerjaan yang belum selesai untuk perlombaan 17
Agustus besok, tapi Sipen sebagai kordes sama sekali nggak ada ngasih arahan ke
kami untuk ngelakuin apa. Wajar sih Yudhi marah, tapi apa harus kaya gini cara
menyelesaikan masalahnya? Dengan adu jotos gitu?
Apa
memang gini cara cowok menyelesaikan masalah? Apa setiap ada masalah berakhir
dengan begini?
*@@@*
Ditanggal
18, 19, dan 20 Agustusnya, diadakan berbagai macam perlombaan untuk memeriahkan
17 Agustus, tapi masih khusus anak-anak. Aku sebagai secretaries lumayan sibuk
menjelang diadakannya perlombaan. Beberapa kali aku harus ngetikin hasil rapat
dan poster untuk ditempel.
![]() |
Persiapan 17 Agustus |
Selain
itu, adik-adik yang ingin mendaftar perlombaan, daftarnya itu sama aku. Kadang
pusing juga saat dikerumuni mereka agar dicatatkan nama mereka untuk
perlombaan.
Tapi
dari kegiatan perlombaan ini aku belajar beberapa hal. Yang pertama, jadilah
perempuan yang tangguh. Jadilah perempuan yang bisa diandalkan. Cantik memang
segala-galanya, tapi percuma juga kamu cantik kalau nggak bisa diandalkan.
Seiring berjalannya waktupun, kecantikan yang kamu punya itu akan memudar.
Belajarlah
untuk menjadi perempuan yang mandiri. Yang bisa ngelakuin banyak hal. Dipuji
karna cantik memang menyenangkan, tapi dipuji karna prestasi, jauh lebih
membanggakan. Yang kedua, lagi-lagi buat ngadepin anak-anak kecil itu butuh
kesabaran extra.
Dari
kegiatan perlombaan inilah aku belajar untuk nahan emosi terhadap anak-anak
kecil, bukankah hal ini berguna juga jika kelak aku nanti punya anak kan? **BERSAMBUNG
Segini
dulu ya. Nantikan kelanjutannya. Salam sayang dan sukses selalu, @muthihaura1.
Kamis,
2 Februari 2017. 20.32 WIB.
[1]
Oii, cepatlah! Itu entah apa-apa yang terbang
0 komentar: