Story At Pulau Jambu #5

12.40 muthihaura 0 Comments



Hai, Assalamua’laikum. Gimana kabarnya? Minggu-minggu ini rada banyak kerjaan, ditambah lagi sejak Selasa kemaren, aku sama adik bungsuku Dani jualan. Kami jualan Oreo Chesse Lumer. Dari aku modalnya, aku yang masakin, Dani yang jualin kesekolahnya. Sistemnya pesanan, jadi kalau ada yang mesan ya dibuat, kalau nggak ya nggak.

Bersyukur banget ngelihat Dani yang orangnya nggak gengsian dan nggak malu buat jualan. Dia malah senang sambil bilang dengan bangga kalau dia punya penghasilan sendiri. Aku salut sama dia. Umur dan badanmu memang masih kecil dik, tapi pemikiranmu sudah bisa dikatakan dewasa dibanding teman-temannya.

Sayang kali aku sama si bungsu Dani ini. Walaupun masih kelas IV SD, tapi semangatnya patut diacungi jempol. Love you ya dek! Oke deh, kali ini aku pengen sharing kelanjutan novel ‘Story At Pulau Jambu’. Novel ini real berdasarkan pengalamanku saat KKN di Desa Pulau Jambu Kuantan Singingi. Langsung saja, check this out:

Lima …
            “Dek, iko vitaminnyo dibuka pakai guntiang. Yang merah untuk anak umur satu tahun keatas, sedangkan yang biru untuk anak enam bulan keatas.” Kak Yuli menyodorkan bungkusan vitamin dan gunting kepadaku. 


            Aku menerima bungkusan vitamin itu dan mengikuti suruhannya. Memang saat ini aku; Nety; Sitoh; dan Bunda sedang berada di posyandu Desa Pulau Jambu, tepatnya ditanggal 11 Agustus. Saat ada adik-adik yang datang dan setelah ditimbang, maka tugas aku memberikan mereka vitamin sesuai sfesifikasi umurnya.

            Ini pengalaman baru bagiku. Pengalaman pertama ngasihin vitamin. Senang? Pasti! Pengalaman baru, ilmu baru kan? Ditanggal 12-nya, aku sama Sitoh nganterin vitamin kerumah ibu-ibu yang nggak datang posyandu. Tentu saja kami disambut dengan ramah. 

            Malah juga ditawari minum dan makan kue. Biasanya kalau mampir kerumah warga dan saat ditawari makanan plus minuman, jarang kami sentuh. Bukannya nggak menghargai, hanya saja untuk berjaga-jaga. Soalnya itu yang selalu diingati senior.

            Malamnya, aku udah tepar duluan, soalnya agenda hari ini lumayan padat, sedangkan beberapa teman-teman cerita-cerita dengan Pak Kades dan beberapa pemuda diluar posko.   

Saat tengah malam, aku bangun dan teman-teman masih asik bercerita, tapi pak Kades dan para pemudanya udah pada pulang. “Tadi pak kades kesini? Apa kata pak kades?” tanya aku ke Bunda dan bang Kho.

“Tulah, ngapa tidur? Macam pulut. Serulah cerita-cerita tadi. Tentang mistis, hantu, racun, dan lain-lain,” kata bang Kho yang memang suka bilang ‘macam pulut’. “Apa? Ceritalah ha!”

Awalnya satupun mereka nggak ada yang mau mengulang cerita untuk aku, tapi akhirnya setelah dipaksa-paksa, akhirnya diceritakan juga. Kata mereka dengar cerita dari pak kades, daerah Peranap dan Sikakak itu banyak makanan yang beracun. Makanya hati-hati kalau mau makan disana.

Untuk mengetahui makanan tersebut beracun atau nggak, ada caranya, salah satunya saat makanan dihidangkan, coba sedikit, rasakan langit-langit lidah, kalau langit-langit lidah terasa geli, berarti makanan itu aman.

Cara yang lebih gampang lainnya, makan apa yang dimakan oleh banyak orang, misalnya pas lagi dipesta nih, makan yang dimakan oleh orang banyak. Selain itu, pak kades juga ada cerita saat ditawari minum, coba bilang gini : ‘kurang manis nih!’ 

Biasanya kalau diminuman itu ada racun dan saat dikatakan begitu, sang pemberi racun atau pemberi minuman itu akan marah. Kalau dia kelihatan marah, berarti diminuman itu memang ada racunnya. Sedangkan kalau dia biasa-biasa aja responnya, berarti minumannya aman.

Hal ini pernah dilakukan oleh bang Eko yang merupakan salah seorang perangkat desa. Jadi waktu itu bang Eko keposko, si Nengsih bikinin minuman teh. “Kurang manis tehnya, Neng,” kata bang Eko sambil menatap Neng dengan tatapan menyelidik.

Kami yang nggak ngerti apa-apa cuma bisa ketawa sambil nawarin abang itu gula. Ternyata maksudnya untuk nguji rupanya. Trus hati-hati juga kalau ngelewati Sikakak, soalnya di daerah Sikakak masih banyak hal-hal mistisnya. Jalanan Sikakak ini masih lebat hutannya, selain itu jalannya juga rusak.

Kalau ngomongin Sikakak, aku pernah ngelewatinya beberapa
beberapa kali. Suasana Sikakak hampir sama dengan Pulau Jambu, tapi lebih indah. Di Sikakak ada persawahan, pokoknya suasananya segar dan cantiklah. Malah sempat-sempatnya beberapa kali kami berphoto disana bareng Yudhi; Fajri; Nety; dan Asih.

At Sikakak



Tapi memang kondisi jalanannya rusak parah. Pernah juga pas pulang dari Kecamatan bareng Asih dan Bunda, kami ngelewatin Sikakak dan tiba-tiba ditengah hutan itu motor kami mati. ini greget banget! Jalanan Sikakak ini alternative untuk sampai ke Pulau Jambu dengan tidak menyebrangi sungai alias nggak naik kompang.

Selain cerita tentang racun, kata mereka, pak kades juga cerita tentang hantu. “Memang di posko kami dulu itu ada hantunya. Trus juga ada hantu yang terkenal, namanya hantu kolosik. Kata pak kades, hantu kolosik ini ngincarnya anak-anak,” kata Ipad. 

“Tulah, makanya kalian yang cewek-cewek kalau mau mandi, lihat genteng yang bolong diatas kamar mandi tu. Lihat terus, biasanya disitu ada tuh.” Sifat jahil dan nakut-nakutin bang Kho kembali kambuh. Kami yang cewek-cewek tentu selalu protes kalau bang Kho udah mulai jahil.
*@@@*
“Woi, kita pulang lewat mana nih? Kalau pakai Kompang, uang kita nggak ada. Masa lewat Sikakak, takutlah aku,” kata Nengsih. Aku; Resti; Sitoh; Avi; dan Asih nggak tau mau ngomong apa, sama-sama bingung harus nentuin pilihan. Memang saat ini kami sedang berada di Kecamatan untuk nonton pertandingan volley cewek antara Desa Pulau Jambu dengan desa lain. Sayangnya, dari desa kami kalah.

Akhirnya kami mutusin buat pulang lewat Sikakak disebabkan tidak memiliki uang untuk naik kompang. Sebenarnya rada takut, apalagi menjelang magrib gini, tapi ya mau gimana lagi kan? Kami berangkat dengan dua motor, ya memang tarek tiga-tarek tiga. Aku sama Nengsih dan Avi, sedangkan Asih sama Resti dan Sitoh.

Pas ngelewati Sikakak, ketemu dengan dua orang pemain volley cewek dari Pulau Jambu, salah satunya bernama Yeni, sedangkan yang satunya lagi, aku lupa namanya. Kami minta barengan sama mereka, tentu saja mereka mau.

Diperjalanan sempat-sempatnya kami becanda dengan dua atlet volley dari Pulau Jambu itu, mereka orangnya asik-asik. Tiba-tiba, motor Yeni berhenti, mereka ternyata ngelihat manusia berkulit sangat hitam dan terbang kelangit. 

“Oi copeklah. Itu ado entah apo-apo ha yang tobang![1]” Yeni berteriak kekami sambil tangan kanannya menunjuk kearah hutan. Aku tentu saja mengikuti arah telunjuk Yeni. “Woi matilah kita woi. Apa tu. Aduh!” Avi ikut-ikutan panic.

Aku yang duduk diboncengan paling belakang, tentu juga panik. “Cepatlah lajukan motor tu, Vi!” kata Nengsih yang sesekali sibuk melirik handphonenya. Motor Yeni dan Asih udah melaju duluan, diikuti oleh motor yang kami kendarai.

Tiba-tiba, motor yang dikendarai Asih mogok karna habis minyak. Hari sudah mulai gelap. Tentu saja kondisi ini semakin membuat kami panik. “Dorong motor Asih tu, biar aku sama Resti yang nyari minyak atau balik keposko manggil anak cowok,” kata Avi.

Aku dan Sitoh bantuin dorong motor, sedangkan Nengsih sibuk nelponin Ipad, tapi sayangnya nggak ada signal. Yeni dan temannya dengan motor mereka ngikutin kami. Sambil dorong motor, kami setengah berlari. Pokoknya was-was abis. 

Cerita-cerita pak kades tentang daerah Sikakak mampir dibenakku. Sempat juga menyesali kenapa kami harus lewat sini. Cukup lama kami berlari sambil dorong motor, akhirnya Ipad datang ngejemput. Motor yang kehabisan bensin tu digiring oleh Ipad dibantu Yeni. Ini pengalaman mendebarkan!
*@@@*
Suara bedug/gendang dipukul cukup lama. Biasanya dipukul saat masuk waktu sholat aja, tapi kali ini pukulannya lama, tentu saja menjadi tanda tanya bagi kami. Ternyata kalau pukulan bedugnya lama, itu menandakan ada yang meninggal.

Hari ini tanggal 16 Agustus. Sekitaran jam 8-an pagi, kami udah berada dirumah salah seorang warga yang suaminya baru saja meninggal. Ngelihat ada yang meninggal gini, bikin aku flashback pas almarhumah umi dan almarhumah nenek meninggal. Rasanya sedih banget. 

Bayangan wajah umi dan nenek saat itu seketika muncul. Ah, aku rindu mereka. Rindu kedua orang wanita yang teramat aku cintai itu. Dua wanita yang mengajarkanku tentang kehidupan. Memang pada nyatanya, setiap yang bernyawa pasti akan mati. Cepat atau lambat, semua punya gilirannya masing-masing. Tinggal bagaimana kita mengisi hidup ini. 

Sorenya, saat kami lagi nyabut-nyabut rumput didepan posko, tiba-tiba Yudhi manggil Sipen. Mereka masuk posko cowok dan pintunya dikunci. Kami yang cewek-cewek tentu bingung. Beberapa menit kemudian, kami dengar suara cangkir yang dibanting.

Aku ngerasa khawatir, beberapa kali aku ngeliat pintu posko. Mungkin kekhawatiranku tertangkap oleh Ipad. “Nggak papa do, Muthi. Santai ajalah,” kata Ipad sambil tersenyum. Gimana bisa santai, sedangkan teman kita didalam posko itu nggak tau lagi ngapain.

Aku menghembuskan nafas lega saat pintu posko dibuka. Sipen dan Yudhi keluar dengan muka yang sama-sama masam. Dengar-dengar dari ceritanya anak-anak cowok, Yudhi marah ke Sipen gara-gara kerjaan banyak untuk 17 Agustus besok, sedangkan satupun belum ada selesai. Malah katanya mereka sempat adu jotos didalam posko.

Kalau boleh jujur memang banyak banget kerjaan yang belum selesai untuk perlombaan 17 Agustus besok, tapi Sipen sebagai kordes sama sekali nggak ada ngasih arahan ke kami untuk ngelakuin apa. Wajar sih Yudhi marah, tapi apa harus kaya gini cara menyelesaikan masalahnya? Dengan adu jotos gitu?

Apa memang gini cara cowok menyelesaikan masalah? Apa setiap ada masalah berakhir dengan begini?
*@@@*
Ditanggal 18, 19, dan 20 Agustusnya, diadakan berbagai macam perlombaan untuk memeriahkan 17 Agustus, tapi masih khusus anak-anak. Aku sebagai secretaries lumayan sibuk menjelang diadakannya perlombaan. Beberapa kali aku harus ngetikin hasil rapat dan poster untuk ditempel.
Persiapan 17 Agustus
Selain itu, adik-adik yang ingin mendaftar perlombaan, daftarnya itu sama aku. Kadang pusing juga saat dikerumuni mereka agar dicatatkan nama mereka untuk perlombaan. 

Tapi dari kegiatan perlombaan ini aku belajar beberapa hal. Yang pertama, jadilah perempuan yang tangguh. Jadilah perempuan yang bisa diandalkan. Cantik memang segala-galanya, tapi percuma juga kamu cantik kalau nggak bisa diandalkan. Seiring berjalannya waktupun, kecantikan yang kamu punya itu akan memudar.

Belajarlah untuk menjadi perempuan yang mandiri. Yang bisa ngelakuin banyak hal. Dipuji karna cantik memang menyenangkan, tapi dipuji karna prestasi, jauh lebih membanggakan. Yang kedua, lagi-lagi buat ngadepin anak-anak kecil itu butuh kesabaran extra.

Dari kegiatan perlombaan inilah aku belajar untuk nahan emosi terhadap anak-anak kecil, bukankah hal ini berguna juga jika kelak aku nanti punya anak kan? **BERSAMBUNG

Segini dulu ya. Nantikan kelanjutannya. Salam sayang dan sukses selalu, @muthihaura1.
Kamis, 2 Februari 2017. 20.32 WIB.


[1] Oii, cepatlah! Itu entah apa-apa yang terbang

Baca Artikel Populer Lainnya

0 komentar: