Story at Pulau Jambu #7
Hay,
Assalamua’laikum. sedang ngelakuin apa? Yang kuliah udah pada masuk kuliah dong
ya? Banyak yang pengen diceritain sih sebenarnya, tapi saat ini aku lagi
buru-buru buat kekampus. Oh ya, ini lanjutan kisah KKN aku di Desa Pulau Jambu.
Check this out :
Tujuh …
baca juga : Story at Pulau Jambu #6
“Jalur
Sijontiok ditahan pas ngelewati Inuman,” kata bang Suardi ke Fajri. Aku
mencuri-curi dengar. Kebetulan memang aku baru pulang dari masjid setelah
melaksanakan sholat isya berjamaah.
Dijalanan
ramai, pemuda-pemuda dan bapak-bapak pada ngumpul. Bahkan ada yang bawa parang,
ladiang, dan pisau. Usut punya usut, ternyata jalur atau kuyuangnya Sijontiok
ditahan.
Hari ini
tanggal 29 Agustus dan kami baru nyampai desa Pulau Jambu tadi sore. Memang
kami berangkat dari Taluk sekitaran jam 12-an siang, berbarengan dengan itu
jalur kami juga dibawa pulang melewati sungai pastinya dan dikawal oleh polisi.
![]() |
Suasana pacu jalur di Taluk 2016 |
Sayangnya,
untuk sampai ke Desa Pulau Jambu, sungai yang harus dilewati melewati inuman. Ternyata
adapun polisi yang jaga, jalur Sijontiok tetap bisa ditahan.
Kebetulan
juga malam ini hujan gerimis dan mati lampus, seakan membuat suasana semakin
mencekam. Kami yang cewek-cewek KKN kumpul dirumah adiknya pak kades bersama
keluarga pak kades. Sedangkan pak kades sendiri memimpin rombongan kekantor
polisi dan rencananya juga akan ke Inuman. Tentu saja dengan membawa ladiang.
Rata-rata
hampir semua lelaki di Pulau Jambu yang pergi ikut dengan pak kades. Bahkan
juga nggak dari Desa Pulau Jambu aja, tapi juga ada dari desa lain yang masih
berada dibawah kecamatan Cerenti.
Sijontiok
Lawuik Pulau Tanamo itu kebanggaannya Cerenti, jadi apapun yang berkaitan
dengan Sijontiok tentu saja akan membuat masyarakat Cerenti terbangun.
Bu kades
nangis, aku juga ikut-ikutan sedih, soalnya ngerasain juga gimana perjuangan
masyarakat disini untuk pacu jalur dan untuk membuat jalur Sijontiok itu.
Sedangkan disini, jalur itu dijaga sebaik-baiknya, malah dikandangin, nah
sekarang jalur itu ditahan, tentu saja bikin masyarakat emosi.
“Bilang
keanak-anak cowok KKN kalian, jangan ada yang ikut ke Inuman tu, bahaya. Nanti
nggak tau yang mana lawan yang mana kawan. Tunggu aja didesa, jaga desa,” kata
adik pak kades mengingatkan kami.
Kami
mengangguk setuju, trus Bunda akhirnya menelpon salah satu anak cowok untuk
menyampaikan pesan dari adik pak kades. Anak-anak cowok pada setuju.
Kami
menunggu informasi selanjutnya sampai hampir tengah malam. Lampu masih juga
mati dan hujan semakin lebat. Akhirnya dengar kabar kalau jalur sudah diamankan
dan tidak terjadi perang. Kata salah satu masyarakat, kalau sampai jalur
Sijontiok rusak, mungkin bakal ada pertumpahan darah.
Aku bernafas
lega saat tau semuanya kembali aman. Satu hal yang dapat aku pelajari dari
kejadian ini adalah menyelesaikan masalah tidak harus berakhir dengan
pertumpahan darah.
Ada cara
lain yang bisa dilakukan, musyawarah misalnya, bukankah sudah tercantum juga
dalam Pancasila yang berbunyi ‘kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksaan
dalam permusyawaratan/perwakilan’. Intinya, apapun bisa diselesaikan dengan
cara yang baik.
*@@@*
Rabu, 31
Agustus. Ah, udah dipenghujung Agustus aja. Yang artinya, sebentar lagi kami
bakal kembali kekota kami masing-masing. Kembali kekehidupan masing-masing. Ada
rasa sedih dan senang yang bercampur aduk. Sedih karna bakal pisah dengan Desa
Pulau Jambu dan senang bakal kembali kekehidupan sendiri.
“Mut, hari
ini kita nyuci ya? Lima hari kita di Taluk kemaren nggak ada nyuci-nyuci,
sekarang cucian bertumpuk,” kata Sitoh. Aku mengiyakan kata-kata Sitoh. Memang
cucian benar-benar lagi bertumpuk.
Tapi
masalahnya, posko kami Cuma punya satu kamar mandi dan keempat belas kami
semuanya mau nyuci, akhirnya, aku sama Sitoh ngalah. Kami lebih memilih nyuci
di masjid. Selain itu, jemuran juga pada penuh semua, akhirnya Sitoh bikin
jemuran dari tali rapia untuk dia dan aku.
Selesai
nyuci, saat aku ngejemur kain di tali jemuran bikinan Sitoh, tiba-tiba tali
jemurannya runtuh, otomatis semua baju yang aku jemur jatuh. Avi; Nety; Sitoh; Resti;
Jayus; dan Iwan yang kebetulan berada diluar posko dan ngelihat kejadian itu,
tentu saja terrtawa.
Aku lemas,
rasanya pengen nangis. Udah capek-capek nyuci, tapi malah jatuh pula. Aku
langsung jongkok sambil ngelihat ketanah, karna nggak tega, Nety bantuin
mungutin kain-kain aku.
“Ndak mau
aku lagi jemur kain do!” Dengan kesal aku masuk keposko, lalu menelungkupkan
diri. Sebenarnya pengen nangis, tapi ditahan-tahan karna didalam posko ada bang
Kho dan beberapa teman lainnya. Malu pula kalau ketahuan nangis.
“Oii Mut,
jangan merajuk-rajuk. Cepatlah keluar. Itu ha, Yudhi dibuatkannya mu jemuran
baru yang lebih bagus,” teriak Nety dari luar posko. Aku masih ngedongkol, tapi
akhirnya keluar juga. Benar saja, Yudhi udah ngebuatin aku jemuran, yang
pastinya bukan dengan tali rapia.
Aku
cengengesan senang. “Ee buayo buayo, makanya kalau tali rapia, jemur kainnya
sedikit-sedikit,” kata Yudhi sok-sok kesal. Aku hanya membalas ucapannya dengan
tawa. Menurut penilainku, Yudhi termasuk cowok yang baik, walau tampangnya kaya
preman. Ah, betapa beruntungnya aku punya keluarga kaya mereka.
*@@@*
Hari-hari
awal dibulan September diisi dengan berbagai macam kesibukan. Sempat juga saat
ngumpul hal yang dibahas itu seputar apakah besok di Pekanbaru masih bisa
ngumpul-ngumpul kaya gini atau becanda kaya disini. Entahlah, apapun yang
terjadi nantinya, mereka tetap keluarga baruku.
Banyak
banget kegiatan dipenghujung masa bakti ini, mulai dari ngedata setiap warga di
dusun I dan dusun II untuk laporan, ngadain perlombaan futsal dan volley untuk
masyarakat, nyari bunga bareng Sitoh dan nanamnya di halaman kantor kepala
desa, dan kegiatan-kegiatan lainnya.
Pokoknya
hari-hari awal dibulan September itu lumayan menguras tenaga, kadang juga slek
dengan teman. Maklumlah sama-sama capek, jadi bawaannya pada emosi. Aku sebagai
sekretarispun makin banyak yang dihandle, mulai dari surat-menyurat sampai
laporan yang ditargetkan harus selesai ditanggal 3 September.
Karna
laporan ini juga, aku begadang buat ngerjainnya. Yang enaknya, pas lagi
ngerjain laporan, tiba-tiba bang Kho datang beliin permen. Kadang Sipen yang
beliin, kadang Eko. Trus dibebaskan juga dari tugas-tugas membersihkan posko
dan masak.
Tentu saja
teman-teman yang lain juga turut membantu laporan kelompok ini, tapi ya tetap
aja yang paling banyak megang andil laporan ya sekretaris. Yang nggak enaknya,
aku nggak boleh kemana-mana oleh kordes.
Pernah entah
malam dihari apa, Eko ngelihat kalau aku suntuk banget gara-gara laporan.
Kebetulan ada acara di Sikakak, Eko ngajakin aku buat pergi. Tentu saja aku
mau. Yang bakal pergi itu aku; Eko; bang Kho; Avi; Fajri; dan Asih.
Terus aku
minta izin ke Sipen mau pergi ke Sikakak bareng Eko, Sipen nggak ngizinin. Dia
bilang mending malam ini ngerjain laporan. Ya udah, akhirnya aku nggak jadi
ikut.
Pas,
ditanggal 3-nya, pak Kepala Dusun II ngajakin anak-anak cewek buat bantu-bantu
masak dirumahnya untuk pelepasan kami. Semua yang cewek pada pergi, lagi-lagi
aku disuruh tinggal bareng Asih; bang Kho; Eko; Yudhi; dan Sipen.
Sempat ngedongkol
dan badmood. Akhirnya pas lagi makan, mereka ngajakin aku ngomong, aku Cuma
jawab dengan anggukan dan gelengan. Nasinya nggak aku habisin, aku tinggal gitu
aja, trus jalan ke wc. “Ngapa ke WC tu Mut? WC tu tempat mandi, bukan tempat
nangis,” kata bang Kho.
Aku nggak
ngerespon. Di wc aku nangis sepuasnya sampai mata bengkak. Sebenarnya aku bukan
nangis gara-gara laporan sih, tapi nggak tau kenapa bawannya sedih, kesal,
badmood, dan pengen marah-marah.
*@@@*
Selasa, 6
September. Hari ini hari perpisahannya kami. Sedari siang, yang cowok-cowok
udah pada bantu pemuda-pemuda untuk buat pentas. Sedangkan kami yang cewek
sibuk bungkusin kado dan sebagian juga ada yang kerumah bu kades untuk
masak-masak.
Nanti malam
kami bakal perpisahan dengan masyarakat Pulau Jambu. Dari hasil rapat dengan
pemuda-pemuda dan pak kades juga, perpisahan ini akan ada Saung Dangdutnya
juga. Pokoknya kayanya bakal meriah deh.
Untuk
laporan kelompok, udah selesai. Lumayan lega yang artinya aku bisa bantu-bantu
untuk persiapan perpisahan. “Woi, siapa nih yang bakal jadi pembawa acara untuk
nanti malam tu? Asih ajalah ya? Mau kan?” tanya bang Kho.
“Ya udahlah,
aku juga nggak papa. Eh, Muthi kan anak broadcasting, Muthi nggak mau do?
Berdua kita jadi pembawa acara?” Asih melirik kearahku yang kebetulan ada
disampingnya.
Aku diam
beberapa detik. Antara mau dan nggak, tapi hati aku lebih condong kemau, kapan
lagi bakal belajar dan dapat kesempatan seperti ini kan? “Eng, boleh deh,
berdua kita ya, Sih.”
“Eh aku mau
jugalah. Aku mau belajar,” kata Avi. Akhirnya setelah berdebat cukup lama, Avi
dan Asih yang bakal jadi pembawa acara, sedangkan aku nggak.
Malamnya
sekitar jam 19-an, hari gerimis, bahkan mulai lebat. Pak kades berusaha untuk
mempawangi hujan, akhirnya sekitar jam 21-an, hujan berhenti dan acara bisa
dimulai.
Avi dan Asih
naik keatas panggung. Entah kenapa, penampilan mereka berantakan. Bahkan
mungkin bisa dibilang parah banget. Mungkin karna mereka sama sekali nggak ada
latihan kali ya. Teman-teman yang lain pada geleng-geleng, trus pada bilang
‘kok kaya gitu orang tu nampil?’
Sebenarnya
kalau boleh jujur, ngelihat penampilan Asih dan Avi bikin geleng-geleng, tapi
aku nggak mau langsung menyalahkan orang itu. Mungkin saja kalau aku diposisi
orang itu juga lebih hancur.
Satu hal
yang dapat aku pelajari adalah bahwa jangan hanya pandai berkomentar. Jangan
hanya pandai mengkritik, tapi saat disuruh ngelakuin apa yang dikritik itu
justru nggak bisa. Sama-sama introfeksi diri aja.
Pas sesi pak
kades yang ngasih kata sambutan kami udah mulai nangis. Aku nggak sih, masih
bisa ditahan.
“Mereka ini
anak-anak kita. Ibarat anak yang baru balek dari rantau dan sekarang harus kita
lepaskan lagi untuk pergi kerantau. Salah-salah mereka, itu wajar, namanya juga
anak, kita maafkan saja. Merekapun disini baru belajar. Kita doakan saja semoga
mereka baik-baik disana, dimudahkan segala urusannya, dan menjadi orang sukses.
Semoga mereka bisa kembali kesini lagi, bukan sebagai anak KKN, tapi anak-anak
kami. Pintu rumah kami selalu terbuka untuk kalian,” kata pak kades panjang
lebar.
Jujur saja,
aku merinding mendengarnya. Air mata udah nggak bisa ditahan lagi, akhirnya
berkali-kali ngusap air mata. Begitu juga teman-teman yang lain.
Malam itu
diisi dengan haru. Tangis sedih. Sedih itu menggelayuti hati. Sedih harus pisah
dengan suasana Pulau Jambu. Sedih harus pisah dengan keluarga pak kades yang
udah dianggap kaya keluarga sendiri. Sedih harus pisah dengan masyarakat Desa
Pulau Jambu. Sedih harus pisah dengan teman-teman KKN.
Tinggal
hitungan jam, kami bakal balik kekehidupan kami masing-masing. Ninggalin semua
yang ada disini. Ninggalin segala kenangan dan pembelajaran yang nggak akan
bisa terulang dua kali.
Sempat
terbesit penyesalan didalam hatiku. Penyesalan kenapa nggak dari awal tiba disini
langsung dekat dengan masyarakat. Kenapa nggak dari awal ikutan warga menakik.
Kenapa nggak dari awal menjalankan program dengan sebaik-baiknya. Kenapa nggak
dari awal belajar masak makanan khas Pulau Jambu.
Ya, memang
pada nyatanya penyesalan itu selalu berada diakhir. Nasi sudah menjadi bubur,
tinggal bagaimana caranya membuat bubur itu tetap enak dinikmati. *bersambung
Gimana? Gimana? Seru nggak cerita KKN aku? Untuk part
selanjutnya, itu part terakhir, tungguin ya :D Oke deh, salam sayang, @muthiiihauraa
Kamis, 23 Februari 2017. 10.16 WIB.
Sudah capek-capek nyuci sambil rebutan tempat tapi kemudian cucian jatuh itu rasanya pasti bener-bener jengkel, saya juga pernah ngalamin seperti itu waktu di pondok pesantren
BalasHapusjengkel banget mbaak huhu. kesal kan yah mbk? senasib kita berarti pernah ngalami hehe
HapusKKN pasti bikin pangalaman jadi seru ya, ngomong2 dapet jodoh nggak mbak disana hihihi
BalasHapushahaha dapat nggak ya mbak? ayo tebak :p
HapusLho, baca ceritanya sampai akhir kok yang kebayang justru: Mumu kok cengeng ya, gampang ngambekan. Dikit2 merajuk, dikit2 pengen nangis. Hahahaha. Tapi mungkin efek capek, jauh dari rumah, pressure dan temen2nya juga kali ya.
BalasHapusKKN kemarin aku juga nyesel di akhir, pas malam perpisahan. Soalnya berasa masih kurang approachnya ke masyarakat, masih banyak yang belum dilakuin.
aku emang cengeng anaknya, Ma huhu. Tulah emang penyesalan itu datangnya diakhir ya kan Ma
Hapus