Story At Pulau Jambu #end
Haay, Assalamua’laikum. Lagi apa?
Sejauh mana target-target 2017-nya mulai terealisasikan? Sudah banyak yang
terwujudkah? Akhir-akhir ini aku gampang banget down. Gampang banget emosi.
Rasanya pengen marah-marah aja ngadepin semua yang nggak sesuai dengan apa yang
sudah aku targetkan.
Aku lelah, aku letih, aku…ah sudahlah.
Tak kan pernah ada yang mengerti. Sepanjang apapun aku bercerita, mereka tak
akan mengerti. Fighting lah Mut. Ingat target, ingat impian! Harusnya segala hambatan itu bikin kamu
makin termotivasi untuk sukses. Oke oke, dekatkan diri ke Allah biar hati
ini bisa tenang.
Oh ya, hari Sabtu kemaren, tepatnya
ditanggal 26 Februari, Gagasan jualan di ajang wisuda. Lumayan capek juga,
soalnya aku yang pergi belanja bareng Ika-Ijah, aku yang motong-motong bareng
Ijah, dan aku juga yang masak bareng Linda. Ditambah lagi e-paper Gagasan. Duh,
kalau udah capek gini, aku bawaannya emosi sendiri. -_-
Okelah skip! Kali ini aku pengen
ngelanjutin pengalaman KKN aku di Desa Pulau Jambu. Tentu saja ini real story
ya. Yang nggak real palingan Cuma ada beberapa nama yang dirubah dan detail
kejadian yang nggak rinci. Langsung saja, check this out :
Delapan …
Baca
juga : Story at Pulau Jambu #6 | Story at Pulau Jambu #7
![]() |
Kita. KKN Desa Pulau Jambu |
Kamis, 8
September. Hari ini bakal pulang! Travel udah dipesan, mobil pix up untuk
barang udah fix, packing barang-barang juga udah, pokoknya pulang!
Malamnya, kami tidur dirumah pak kades. Beberapa kali pak kades juga ngasih
patuah-patuah yang tentu saja berguna buat kami. Aku menghembuskan nafas, ini
hari terakhir di Pulau Jambu. Sedih bakal pisah kaya gini. Ah, pada nyatanya
memang setiap pertemuan pasti ada perpisahan.
Mau nggak mau, suka nggak suka, setiap kata ‘hello’ pasti akan berujung
dengan kata ‘good bye’. Nggak nyangka ternyata semuanya udah terlewati. Nggak
nyangka KKN sudah berakhir. Semuanya telah selesai.
Aku memandangi teman-teman KKN-ku. Teman-teman yang udah nemenin selama 53
hari dengan segala tingkah polah mereka. Cekcok, dongkol, marahan, kesal, itu
pasti ada. Tapi bukankah itu semua hal yang wajar? Dalam sebuah pertemanan,
kalau happy-happy tanpa masalah saja ya mana seru. Harus ada bumbu, biar
pertemanan itu makin terasa.
Besok-besok setelah hari ini, nggak bakal ada lagi ngorokan Avi dan Nengsih
yang terdengar saat malam hari. Nggak bakal ada lagi cerewetan bunda sepanjang
hari. Nggak bakal ada lagi anak-anak cowok yang ngomel-ngomel nyuruh kami cepat
selesai mandi.
Nggak akan ada lagi ngegosip atau curhat dikamar mandi. Nggak akan ada lagi
edisi nyuci baju bareng. Nggak akan ada lagi kedengaran ribut-ributnya
adik-adik yang datang ke posko. Nggak kan ada lagi celotehan lucu bang Kho.
Nggak kan ada lagi usilnya Fajri dan Yudhi. Nggak kan ada lagi sapi-sapi,
kerbau-kerbau, dan kambing-kambing yang berlalu lalang didepan posko. Nggak
akan ada lagi edisi ngusir-ngusir sapi yang masuk kehalaman posko buat
ngancurin jemuran.
Nggak akan ada lagi edisi masak bareng, nyari paku bareng, nyari kedondong
bareng. Nggak akan ada lagi ketukan dipintu posko untuk bangunin sholat subuh
oleh Eko. Nggak bakal ada lagi yang ngecie-ciein aku dengan seseorang. Nggak
bakal ada lagi untuk kepasar harus naik kompang. Nggak akan ada lagi semua ;’)
Ah, kenapa udah senyaman ini, harus ada perpisahan? Kenapa udah sedekat ini
harus dipisahkan? Bisa waktu berhenti sebentar saja? Lima menit saja? Aku hanya ingin sedikit mengulang semua
kejadian disini, hanya untuk sekedar merekamnya kembali dalam benak.
*@@@*
“Bapak ngantar sampai sini saja. Kalau bapak ikut ngantar keseberang, bapak
nggak tau bakal nangis kaya mana lagi,” pak kades mengusap ujung matanya. Mata
kamipun sudah mulai berair.
Bu kades memeluk kami erat-erat satu persatu. Tangis seketika pecah. Aku
menghembuskan nafas. Lagi-lagi aku paling benci dengan yang namanya perpisahan.
Perpisahan model apapun itu.
Aku membelai kepala mungil Manda. Dengan polos, gadis berusia 4 tahun itu
menatap kami dan berujar, “Akak nak kemano? Bekok malam lolok di duma adek lai
kan?[1]”
Sontak kami terdiam, hanya air mata yang terus mengalir. Entah untuk
keberapa kalinya, aku menghembuskan nafas. Aku beralih keadik-adik yang
nganterin kami sampai kekompang. “Belajar baik-baik ya kalian,” kataku. Mereka
hanya mengangguk sambil memelukku erat.
Barang-barang kami sudah diturunkan ke Kompang oleh pemuda-pemuda desa.
Kami tak henti-hentinya juga mengucap terimakasih kepada abang-abang itu.
“Baliok kalian, sopi disiko lai,” ucap salah seorang abang yang sering nginap
ditempat cowok yang biasa kami panggil ocu.
Untuk yang terakhir kalinya, kami berphoto dengan pemuda-pemuda Desa Pulau
Jambu. Kami diterima dengan baik disini, dilepaspun dengan cara baik-baik.
Walau belum bisa mengabdi secara optimal, tapi aku cukup gembira berada disini.
Seakan bertemu keluarga baru.
Satu persatu kami mulai menaiki kompang. Entah apa yang dipikirkan oleh
teman-teman saat ini. Yang pasti, aku tau bahwa merekapun sedih dengan
perpisahan ini. Mereka juga nggak rela pergi dari desa ini.
Saat telah duduk dibangku kompang, sekali lagi kutatap Desa Pulau Jambu
dari segala sisinya. Trus benakku berputar menayangkan memori-memori indah saat
berada disana. Bu kades mengusap air matanya, sedangkan Manda yang masih kecil
menatap kami dengan tatapan tak mengerti. Apa gadis sekecil ini mengerti akan
kehilangan? Perpisahan?
*@@@*
“Woi aku minta maaf ya,” kataku sambil memeluk beberapa teman. Saat ini
kami sudah turun dari kompang. Semuanya saling bersalaman meminta maaf, tentu
saja dengan tangisan yang kian mengalir.
Resti dan Nengsih dijemput oleh
kedua orang tua mereka. Yudhi dan Eko pulang naik motor. Asih, Fajri, dan Avi
di pix up. Sedangkan aku, bang Kho, Sipen, Ipad, Bunda, Nety, dan Sitoh di
mobil avanza.
Mobil avanza mulai melaju. Melaju meninggalkan bayangan desa Pulau Jambu.
Meninggalkan Cerenti. Pulang! Ya, memang pada nyatanya, senyaman apapun disuatu
tempat, pulang adalah hal yang pasti. Seperti halnya hidup, senyaman apapun
kita didunia ini, cepat atau lambat, kita bakal ‘pulang’ juga pada-Nya.
Aku lagi-lagi menghembuskan nafas. Entah untuk yang keberapa kalinya
mencoba menata hati. Belum beberapa menit meninggalkan Desa Pulau Jambu, rindu
itu mulai menguak. Rindu keramahtamahan penduduknya. Rindu suasana pedesaannya.
Ah, betapa rindu ini susah diungkapkan.
Sebuah keyakinan muncul, keyakinan bahwa kami suatu hari nanti bakal
ketempat ini. Bakal kembali ke Desa Pulau Jambu. Aku menatap keluar jendela.
Benar-benar nggak kerasa. Ternyata 53 hari bareng mereka meninggalkan
begitu banyak kenangan. Bersama teman-teman KKN pun punya berjuta cerita, walau
memang nggak selalu indah. Marah, kesal, benci, itu hal yang wajar. Yalah,
menyatukan 14 kepala dengan isi berbeda-beda itu bukan hal yang mudah.
Walaupun begitu, mengenal mereka betiga belas adalah sesuatu hal yang
menyenangkan. Mereka keluarga baruku. Orang yang cukup tau bagaimana aku luar
dalam. Aku belajar banyak dari mereka.
Ah, memang pada nyatanya, setiap orang yang hadir dalam
hidupmu, entah hanya untuk sekedar singgah atau bahkan menetap pasti memiliki
alasan. Pasti ada pembelajaran yang bisa diambil dari sosok itu.
Setiap waktu punya makna. Setiap kisah punya cerita. Setiap orang yang
hadir pasti punya alasan. Desa Pulau Jambu inipun mengajarkan aku banyak hal.
Banyak sekali! Tentang kehidupan apalagi. Pokoknya KKN ini edisi belajar
tentang hidup secara real.
Aku yang di Pekanbaru jarang nyapa tetangga, kalau di Desa Pulau Jambu beuh
jangan ditanya! Kalau katanya Sitoh, kakak yang paling ramah itu ‘Muthi’. Kakak
yang paling dekat dengan adik-adik dan paling sering dicariin itu ‘Muthi’.
Pernah waktu itu sedang sakit diposko, kebetulan juga memang nggak ada
jadwal ngajar. Sipen dan Bunda kesekolah, trus pas diposko Bunda cerita gini :
“Tadi disekolah, adik-adik itu pada nanya kapan kita ngajar. Trus ditanyain
juga kak Muthinya mana, kami bilanglah sakit diposko. Ndeh, udah sayang kali
orang-orang ni sama Muthi, besok-besok ngajarlah lagi ya Muthi.”
*@@@*
Mobil yang membawa kami ke Pekanbaru berhenti didepan sebuah rumah makan.
Rumah makan ini, rumah makan yang pertama kalinya juga kami datangi saat akan
berangkat mengabdi di Desa Pulau Jambu. Seakan flashback rasanya.
Sembari menunggu pesanan, kami berbagi cerita. Kalau diawal kemaren kami
masih sungkan, kalau sekarang beda suasana. Aku tersenyum, lalu putaran-putaran
memori di Desa Pulau Jambu kembali terngiang. Terlalu banyak pelajaran didesa
itu. Pelajaran tentang hidup. Pelajaran tentang pertemanan. Pelajaran tentang
cinta. Dan pelajaran-pelajaran lainnya.
Ngomongin soal cinta, ada beberapa temanku yang kayanya cinta lokasi gitu.
Bisa dibilang selama ditempat KKN mereka dekat banget. Sudahlah, tak usah
membahas cinta, terserah mereka. Aku ingin focus. Pulang dari desa Pulau Jambu,
aku sadar banyaknya kurang ilmuku. Nanti, setelah kembali kekehidupan ‘real’,
aku ingin belajar masak lebih rajin lagi, belajar ngatur waktu, dan belajar
ilmu agama pastinya.**
Gimana gimana? Seru nggak pengalaman
KKN aku? Sebenarnya masih banyak bagian yang belum aku ceritain. Nanti deh
kapan-kapan aku cerita. Aku nulis dan ngepost disini bukan maksud pamer tentang
pengalaman-pengalaman aku. Sama sekali nggak! Apa coba yang mesti dipamerkan
kan? Hanya pengen ngarsipkan kenangan dan semoga ada yang bermanfaat yang bisa
diambil. Rencananya aku bakal nulisin tips-tips seputar KKN. Stay tune ya :D
Oke deh, salam sayang, @muthiiihauraa (tw) @muthihaura1 (ig).
Rabu, 1 Maret 2017. 08.24 WIB.
Haalllo kak . Seru ceritanya . :) . Ngebaca sampai akhirnya :) .
BalasHapusMau tanya kak. Temannya yg nengsih tu dekatnya dengan ipad ya ?