Senyuman terindah
Haai, Assalamua'laikum. Gimana kabarnya? Tadi aku nemu cerpen ini dilaptop. Kalau nggak salah, aku nulisin cerpen ini pas semester I. Nggak ada salahnya aku publish disini kali ya, langsung aja, check this out :
Senyuman terindah
![]() |
senyuman terindah |
25 Januari 2012
Mereka berdiri dengan gagah. Tak
kenal lelah. Tak kenal letih. Walau dahaga kian menggrogoti kerongkongan
mereka. Dengan semangat yang kentara, mereka berjalan mengais rezeki diantara
tumpukan sampah-sampah demi mendapat barang seribu atau dua ribu rupiah. Jumlah
yang tak ada harganya bagi kebanyakan orang. Sengatan matahari tidak menjadi
penghalang bagi mereka. Aku hanya bisa tertegun menatapi mereka yang dengan
gigih bekerja hanya demi seonggok nasi. Aku menghela nafas. Rasa prihatin itu
muncul. Kemana pemerintah kita? Apa yang sedang mereka lakukan sekarang? Tidakkah mereka melihat rakyat mereka? Kemana
janji-janji mereka dulu? Tidakkah luluh hati mereka melihat keadaan ini?
Entahlah! Aku berjalan pelan menghampiri mereka.
“Maaf dik, apakah kalian mau minum?” tanyaku ramah
sembari mencoba berbasa-basi. Wajah-wajah polos dihadapanku tersenyum. “Nggak
usah kak. Kami sedang puasa.” Jawab salah seorang diantara mereka sembari
mengulurkan senyum ketulusan. Puasa? Dengan pekerjaan seberat ini untuk anak
seusia lima tahun masih bisa berpuasa? Aku tersenyum sembari menatap
bintang-bintang kejora dimata mereka.
“Owh. Hebat ya? Nama kalian siapa dik?” tawarku
lagi. “Namaku Fauzan kak. Yang cewek ini namanya Rini, adik perempuanku.
Sedangkan cowok disamping Rini itu namanya Ajan.” Ucap Fauzan sembari menyeka
keringat yang membasahi wajah hitam legamnya. Aku menatap wajah polo situ satu
persatu sembari tangan kananku membela kepala gadis kecil bernama Rini itu.
Kalian terlalu kecil untuk menanggung beban seberat ini.
“Ehm. kalian mau kakak belikan makanan untuk berbuka
puasa?”
“Nggak usah kak. Kata ibuk, kami nggak boleh
menerima pemberian orang lain kecuali hasil keringat kami sendiri.” Ucap Rini
polos. Aku tertegun. Jawaban itu bak menyentak diriku. Kupaksakan tuk
memberikan sepenggal senyuman terindahku untuk mereka.
26 januari 2012
Hujan turun dengan indahnya
mengguyur kota Pekanbaru nan bertuah. Berkali-kali aku memandangi jam yang
bertengger indah dipergelangan tanganku. Aku sudah hampir telat 10 menit. Aku
menghela nafas pelan.
“Mbak, mau pakai payung?” Tanya seorang gadis kecil
sembari mengulurkan payung lusuhnya kepadaku. Aku tergagap. Kuraih payung itu
dari tangan mungilnya. Lumayan, ada ojek payung pikirku. “Kebetulan sekali
dik.” Ujarku sembari mulai berjalan menantang hujan. Gadis kecil itu
mengikutiku dengan langkah kaki yang terseot-seot. Baru kusadari gadis itu
ternyata pincang. Aku menatapnya dengan tatapan iba. Tubuh kurusnya yang basah
kuyub menambah romantika kesedihan yang memancar.
“Dik. Sini bareng mbak biar nggak kehujanan.” Kataku
sambil memayungi tubuh sigadis kecil. “Nggak apa-apa kok Mbak. Mbak payungi aja
tubuh mbak.” Ucapnya polos. Lagi-lagi batinku berontak. Siapa yang bertanggung
jawab dengan ini semua? Mana peran pemerintah kita? Bayangan Fauzan, Rini dan
Ajan mampir dibenakku.
“Namanya siapa dik?” tanyaku. “Aya mbak.” Jawab
sigadis kecil sembari memeluk tubuhnya dengan kedua tangannya. Bibirnya pucat.
Tak terasa aku sudah sampai ketempat tujuanku. Kurogoh saku rokku dan
kukeluarkan uang 50 ribu. Kuulurkan uang tersebut kepada sigadis kecil.
“Ini bayaran buat kamu dik. Kembaliannya ambil
aja.” Mata polos itu
berbinar-binar. Raut wajahnya seketika
cerah. Ucapan hamdallah terlontar dari
bibir kecil itu. “Makasih mbak. Alhamdulillah, akhirnya bisa juga belikan emak
obat.” Jawabnya riang. Hatiku tersayat-sayat mendengarnya. Gadis sekecil itu
rela mengojek payung demi mendapatkan uang untuk membelikan Ibunya obat.
“Memangnya Emaknya kenapa dik? Sakit apa?”
“Demam berdarah mbak. Belum diobati karna tidak
punya uang mbak. Sekarang Alhmadulillah uangnya sudah ada. Makasih ya Mbak.
Saya permisi dulu.” Aku menelan ludah getir. Lagi-lagi aku harus bertanya.
Kemana peran pemerintah kita? Apakah mereka menutup mata dan telinga dengan
semua itu? Tidakkah mereka melihat rakyatnya menderita?
27 Januari 2012
Malam cerah ditemani sang bintang.
Aku asik menikmati belain angin yang mempermainkan dengan indah rambutnya.
Jalanan Kota Pekanbaru begitu menawan, ditambah lagi gedung-gedung perkantoran
yang menjulang tinggi. Aku menghirup nafas pelan. 2 hari yang lalu aku
menemukan sebuah pelajaran yang sangat berharga. Bayangan wajah mungil nan
polos milik Fauzan, Rini, Ajan dan Aya membayangi memori otakku. Dan mungkin
masih banyak lagi anak-anak kecil lainnya yang bernasib sama dengan mereka.
Miris bukan? Kemana pemerintah kita? Pertanyaan itu lagi-lagi muncul. Ahh, tak
seharusnya aku menyalahkan pemerintah atas semua ini bukan? walau sejujurnya
para pemerintah lebih banyak bersalah atas semua ini.
“Bintang. Aku kasihan melihat mereka. Anak-anak
kecil nan polos itu harus berjuang menghadapi kerasnya hidup. Sebenarnya bukan
disitu tempat mereka! Harusnya mereka sekolah dan menikmati masa-masa kecil
mereka bukan? Entahlah. Aku juga kurang mengerti. Yang pasti, aku bertekad
mulai dari sekarang akan membantu mereka. Sekarang aku tau kalau mereka bukan
hanya tanggung jawab pemerintah, tapi juga tanggung jawab kita bersama.
“Eeh. Anak Bunda kok melamun sih? Ayo, ngelamunin
siapa tuh?” ledek Bunda yang entah kapan sudah berada dibelakangku. Aku menatap
Bunda. “Idih Bunda. nggak ngelamunin siapa-siapa tau!”
“Masa sih? Ayo, jangan bohong sama Bunda. jujur
aja!” Ujar Bunda setengah memaksa. Aku cemberut. “Nggak Bunda sayang! Aku Cuma
lagi mikirin sesuatu.”
“Mikirin apa emang?”
“Boleh nggak besok pagi kita buka bareng sama
anak-anak dari keluarga yang nggak mampu?” Tanyaku sembari menatap wajah Bunda
yang sudah mulai menua. Bunda tersenyum. Senyuman yang mampu mencairkan
bongkahan es dihatiku. “Sejak kapan sih anak Bunda jadi sedewasa ini?” Tanya
Bunda sembari mengacak-acak rambutku. Aku pura-pura cemberut, tapi didalam hati
ada rasa bahagia yang menggunung. Kuberikan senyuman terindahku untuk sang malam.
THE END
alhamdulillah cuma cerpen, moga di dunia nyata gak ada kejadian anak yang mencari rezeki untuk pengobatan ibunya, semoga rezeki dimudahkan
BalasHapusIya mbak. amin :D
HapusDik upacara ya tulisan inih
BalasHapusupacara maksudnya mbak? hehe
HapusAssalamualaikum...
BalasHapusMonggo mampir ukht
coretanhatiukhti.blogspot.com
😢
BalasHapus