Senyuman terindah

14.00 muthihaura 6 Comments

Haai, Assalamua'laikum. Gimana kabarnya? Tadi aku nemu cerpen ini dilaptop. Kalau nggak salah, aku nulisin cerpen ini pas semester I. Nggak ada salahnya aku publish disini kali ya, langsung aja, check this out :



Senyuman terindah
senyuman terindah
25 Januari 2012
            Mereka berdiri dengan gagah. Tak kenal lelah. Tak kenal letih. Walau dahaga kian menggrogoti kerongkongan mereka. Dengan semangat yang kentara, mereka berjalan mengais rezeki diantara tumpukan sampah-sampah demi mendapat barang seribu atau dua ribu rupiah. Jumlah yang tak ada harganya bagi kebanyakan orang. Sengatan matahari tidak menjadi penghalang bagi mereka. Aku hanya bisa tertegun menatapi mereka yang dengan gigih bekerja hanya demi seonggok nasi. Aku menghela nafas. Rasa prihatin itu muncul. Kemana pemerintah kita? Apa yang sedang mereka lakukan sekarang?  Tidakkah mereka melihat rakyat mereka? Kemana janji-janji mereka dulu? Tidakkah luluh hati mereka melihat keadaan ini? Entahlah! Aku berjalan pelan menghampiri mereka.

“Maaf dik, apakah kalian mau minum?” tanyaku ramah sembari mencoba berbasa-basi. Wajah-wajah polos dihadapanku tersenyum. “Nggak usah kak. Kami sedang puasa.” Jawab salah seorang diantara mereka sembari mengulurkan senyum ketulusan. Puasa? Dengan pekerjaan seberat ini untuk anak seusia lima tahun masih bisa berpuasa? Aku tersenyum sembari menatap bintang-bintang kejora dimata mereka. 

“Owh. Hebat ya? Nama kalian siapa dik?” tawarku lagi. “Namaku Fauzan kak. Yang cewek ini namanya Rini, adik perempuanku. Sedangkan cowok disamping Rini itu namanya Ajan.” Ucap Fauzan sembari menyeka keringat yang membasahi wajah hitam legamnya. Aku menatap wajah polo situ satu persatu sembari tangan kananku membela kepala gadis kecil bernama Rini itu. Kalian terlalu kecil untuk menanggung beban seberat ini. 

“Ehm. kalian mau kakak belikan makanan untuk berbuka puasa?”
“Nggak usah kak. Kata ibuk, kami nggak boleh menerima pemberian orang lain kecuali hasil keringat kami sendiri.” Ucap Rini polos. Aku tertegun. Jawaban itu bak menyentak diriku. Kupaksakan tuk memberikan sepenggal senyuman terindahku untuk mereka.

26 januari 2012
            Hujan turun dengan indahnya mengguyur kota Pekanbaru nan bertuah. Berkali-kali aku memandangi jam yang bertengger indah dipergelangan tanganku. Aku sudah hampir telat 10 menit. Aku menghela nafas pelan. 

“Mbak, mau pakai payung?” Tanya seorang gadis kecil sembari mengulurkan payung lusuhnya kepadaku. Aku tergagap. Kuraih payung itu dari tangan mungilnya. Lumayan, ada ojek payung pikirku. “Kebetulan sekali dik.” Ujarku sembari mulai berjalan menantang hujan. Gadis kecil itu mengikutiku dengan langkah kaki yang terseot-seot. Baru kusadari gadis itu ternyata pincang. Aku menatapnya dengan tatapan iba. Tubuh kurusnya yang basah kuyub menambah romantika kesedihan yang memancar.

“Dik. Sini bareng mbak biar nggak kehujanan.” Kataku sambil memayungi tubuh sigadis kecil. “Nggak apa-apa kok Mbak. Mbak payungi aja tubuh mbak.” Ucapnya polos. Lagi-lagi batinku berontak. Siapa yang bertanggung jawab dengan ini semua? Mana peran pemerintah kita? Bayangan Fauzan, Rini dan Ajan mampir dibenakku. 

“Namanya siapa dik?” tanyaku. “Aya mbak.” Jawab sigadis kecil sembari memeluk tubuhnya dengan kedua tangannya. Bibirnya pucat. Tak terasa aku sudah sampai ketempat tujuanku. Kurogoh saku rokku dan kukeluarkan uang 50 ribu. Kuulurkan uang tersebut kepada sigadis kecil.

“Ini bayaran buat kamu dik. Kembaliannya ambil aja.”  Mata polos itu berbinar-binar.  Raut wajahnya seketika cerah.  Ucapan hamdallah terlontar dari bibir kecil itu. “Makasih mbak. Alhamdulillah, akhirnya bisa juga belikan emak obat.” Jawabnya riang. Hatiku tersayat-sayat mendengarnya. Gadis sekecil itu rela mengojek payung demi mendapatkan uang untuk membelikan Ibunya obat.
“Memangnya Emaknya kenapa dik? Sakit apa?”

“Demam berdarah mbak. Belum diobati karna tidak punya uang mbak. Sekarang Alhmadulillah uangnya sudah ada. Makasih ya Mbak. Saya permisi dulu.” Aku menelan ludah getir. Lagi-lagi aku harus bertanya. Kemana peran pemerintah kita? Apakah mereka menutup mata dan telinga dengan semua itu? Tidakkah mereka melihat rakyatnya menderita?

27 Januari 2012
            Malam cerah ditemani sang bintang. Aku asik menikmati belain angin yang mempermainkan dengan indah rambutnya. Jalanan Kota Pekanbaru begitu menawan, ditambah lagi gedung-gedung perkantoran yang menjulang tinggi. Aku menghirup nafas pelan. 2 hari yang lalu aku menemukan sebuah pelajaran yang sangat berharga. Bayangan wajah mungil nan polos milik Fauzan, Rini, Ajan dan Aya membayangi memori otakku. Dan mungkin masih banyak lagi anak-anak kecil lainnya yang bernasib sama dengan mereka. Miris bukan? Kemana pemerintah kita? Pertanyaan itu lagi-lagi muncul. Ahh, tak seharusnya aku menyalahkan pemerintah atas semua ini bukan? walau sejujurnya para pemerintah lebih banyak bersalah atas semua ini. 

“Bintang. Aku kasihan melihat mereka. Anak-anak kecil nan polos itu harus berjuang menghadapi kerasnya hidup. Sebenarnya bukan disitu tempat mereka! Harusnya mereka sekolah dan menikmati masa-masa kecil mereka bukan? Entahlah. Aku juga kurang mengerti. Yang pasti, aku bertekad mulai dari sekarang akan membantu mereka. Sekarang aku tau kalau mereka bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tapi juga tanggung jawab kita bersama.

“Eeh. Anak Bunda kok melamun sih? Ayo, ngelamunin siapa tuh?” ledek Bunda yang entah kapan sudah berada dibelakangku. Aku menatap Bunda. “Idih Bunda. nggak ngelamunin siapa-siapa tau!”
“Masa sih? Ayo, jangan bohong sama Bunda. jujur aja!” Ujar Bunda setengah memaksa. Aku cemberut. “Nggak Bunda sayang! Aku Cuma lagi mikirin sesuatu.”
“Mikirin apa emang?”
“Boleh nggak besok pagi kita buka bareng sama anak-anak dari keluarga yang nggak mampu?” Tanyaku sembari menatap wajah Bunda yang sudah mulai menua. Bunda tersenyum. Senyuman yang mampu mencairkan bongkahan es dihatiku. “Sejak kapan sih anak Bunda jadi sedewasa ini?” Tanya Bunda sembari mengacak-acak rambutku. Aku pura-pura cemberut, tapi didalam hati ada rasa bahagia yang menggunung. Kuberikan senyuman terindahku untuk sang malam.
THE END

Baca Artikel Populer Lainnya

6 komentar:

  1. alhamdulillah cuma cerpen, moga di dunia nyata gak ada kejadian anak yang mencari rezeki untuk pengobatan ibunya, semoga rezeki dimudahkan

    BalasHapus
  2. Assalamualaikum...
    Monggo mampir ukht

    coretanhatiukhti.blogspot.com

    BalasHapus