Tentang Cinta#3
Baca juga : Tentang Cinta#2
Cinta
akan mengerti walau tanpa diucapkan.
Adit berjalan gontai dikoridor kampusnya. Ini hari kedua
ospek dan cowok itu terlihat begitu uring-uringan. Rambut spikey-nya ia acak-acak pelan. Beberapa cewek yang berpapasan
dengan Adit, menatap kagum cowok itu. Adit tak ambil pusing. Cowok itu masih stand by dengan gaya sok cool-nya.
Adit
meraih Hp dari saku celananya, tanpa sadar cowok itu menabrak seorang cewek
yang dengan sukses membuat cewek itu terjatuh dengan posisi lutut membentur
lantai koridor.
“Jalan tuh pakai mata!” Adit
membentak tanpa merasa bersalah, padahal jelas-jelas dia bersalah. Cewek itu
meringis pelan sembari memegangi lututnya.
Adit
menatap wajah cewek itu dengan tatapan kaget. “Lo?” cewek itu mengernyit pelan.
sebelah alis kirinya ia naikkan beberapa senti saat menatap cowok dihadapannya.
“Lo kan yang kemaren?” lanjut Adit.
![]() |
source : google |
“Gue
Karla. Emang kita pernah kenal?” tanya gadis itu dengan tampang polosnya. Karla
berdiri sembari meringis pelan memegangi lututnya. Tanpa merasa bersalah cowok
itu mengeram kesal. tanduk-tanduk kemarahan seakan berada diatas kepala Adit.
“Lihat nih! ini semua gara-gara lo tau!” Adit menunjuk pipi lebam didekat ujung
bibirnya.
Ganti Karla kini mengernyit. Cewek
itu menatap Adit dengan tatapan yang sama sekali tak mengerti. “Emang itu
kenapa? Kok bisa gitu? Sakit nggak?” Karla mencoba menggapai pipi cowok itu,
namun ditepis dengan kasar oleh Adit.
“Ah, udahlah! Lo itu emang cewek
nggak tau trimakasih?” ucap Adit kasar sambil berlalu meninggalkan Karla dengan
tanda tanya besar diatas kepala gadis cantik itu. Karla menatap kepergian Adit.
“Emangnya gue kenal dia? Aneh!” Karla berjalan dengan tertatih menuju kursi
kosong didepan sebuah kelas.
Dengan berlahan, Karla menduduki
kursi itu. lagi-lagi gadis itu meringis. Tatapannya kosong menatap kearah
depan. Cowok tadi kenapa sih? emang
kenal? Kapan dan dimana? Marah-marah nggak jelas itu orang! Dia kan nabrak aku
sampai jatuh, kenapa aku harus bilang trimakasih?
Karla menghembuskan nafas dengan
kesal. Mau nggak mau gadis itu merasakan mood-nya
memburuk. Karla merapikan jepitan pita berwarna ungu muda dirambutnya.
Memberikan kesan imut pada gadis berumur tujuh belas tahun itu.
Karla menatap luka kecil dilututnya
akibat membentur lantai tadi. Rasa perih semakin terasa. Karla meringis pelan
sembari membungkuk memegangi lututnya. “Kar? Lo kenapa?” Karla menatap seorang cowok yang sudah
berdiri dihadapannya dengan raut wajah cemas.
Karla memaksakan sebuah senyum
tulusnya dihadapan cowok itu. “Nggak apa kok Kak.”
“Kok bisa gitu kakinya?” Cowok itu menatap luka dilutut Karla sembari
mensejajarkan kepalanya pada luka dilutut Karla. “Kepeleset tadi Kak.” Karla
berbohong.
“Karla-Karla! Ceroboh banget sih.”
cowok bernama Farran itu tertawa. Diraihnya tissue, betadine dan sebuah plester
dari dalam tas ranselnya.
“Tahan dikit yah. Mungkin bakal
perih.” Farran membersihkan luka gadis itu dengan tissue. Seperti berdeja vu. Farran membatin.
Karla meringis pelan. “Kaya anak
kecil lo! Tahan dikit.” Kata Farran. Dengan sigap tangan Farran bekerja pada
luka dilutut Karla. Kini luka kecil dikakinya sudah tertutupi plester. Karla
menatap wajah Farran. Menatapi wajah itu dengan teliti. Baik juga! Ehm, handsome si.
Karla tersenyum pelan. Tatapannya
masih tertuju pada wajah Farran. “Gue tau gue ganteng. Natapnya nggak usah gitu
bangetlah.” Karla tergagap. Buru-buru dialihkannya pandangan matanya kearah
lain. Farran tertawa renyah. Diraihnya wajah Karla agar bisa berhadapan
dengannya lagi.
“Kok mukanya merah gitu? ya udah
deh, udah disuru ngumpul tuh. Masih bisa berdiri kan?”
“Ya masihlah Kak! Ehm. Gue masuk
kelompok dulu ya? Makasih Kak.”
*@muthiiihauraa*
Kevin berjalan gontai menuju
perpustakaan. Jaket universitasnya ia lampirkan dipunggung sebelah kanannya.
Kevin mendengus kesal saat mengingat bertumpuk-tumpuk tugas dari dosen yang
harus dikerjakannya.
Grasia berlari-lari mengejar langkah
kaki Kevin. Ditatapnya punggung cowok itu dan dengan sukses membuat detak
jantung Grasia bedetak tak karuan. Saat langkah mereka telah sejajar, Grasia
bergelayut manja dilengan kanan Kevin.
Langkah kaki Kevin berhenti. “Apaan
sih Gras?” Dengan dongkol Kevin melepaskan kedua tangan gadis itu dengaan
tangan kiri pada lengan kanannya. Grasia cemberut seksi. Beberapa pasang mata
menatap mereka dengan pandangan ingin tau.
Cewek cantik itu mendengus kesal. Belum pernah
dalam sejarah hidupnya, ada cowok yang sama sekali tak tertarik dengannya. Itu
Kevin. Padahal Grasia tau Kevin sama sekali tidak punya pacar. Mungkin jatuh
cinta pun cowok itu tidak pernah—menurut informasi yang didapat Grasia.
“Kenapa sih Kev? Lo tau kan gue
sayang sama lo?”
“Dan lo tau kan kalau gue sama
sekali nggak punya rasa sama lo. C’mon Gras! Lo cantik, bisakan buka hati lo
buat cowok lain?” Kevin menatap tepat
dimanik mata Grasia. Segampang itu dia
ngomong? Dia memang benar-benar nggak ngerti sedalam apa rasa gue buat dia.
Grasia merangkup pipi Kevin dengan
kedua telapak tangannya. “Lo lihat mata gue biar lo tau kalau gue bener-bener
tergila-gila dengan lo dan nggak mudah buat gue ngelupain lo.” Dengan kesal
Kevin menyentak kedua tangan Grasia dan berlalu dengan cuek dari hadapan gadis
itu.
Grasia menatap punggung Kevin yang
semakin menjauh. Tak berniat sama sekali untuk mengejar. Lagi-lagi perasaan
sakit menyelimuti gadis itu. Grasia bergeming. Ditahannya tetesan air mata yang
berlomba-lomba ingin meluncur.
“Kuingin kau tau isi hatiku. Kau lah
yang terakhir dalam hidupku. Tak ada yang lain. Hanya kamu. Tak pernah ada. Tak
kan pernah ada.” Grasia berkata dengan pelan dan selirih mungkin. Tanpa nada.
Grasia tak beranjak dari tempatnya.
Masih berdiri dengan tatapan lurus kedepan. Gadis itu membiarkan hatinya
terkoyaki semakin dalam. Membiarkan luka itu menganga lebar.
Kalau
gue bisa memilih Kev, gue sama sekali nggak pengen jatuh cinta sama lo! Gue
nggak pengen jatuh cinta dengan cowok sedingin lo. Rasanya begitu sakit. Apa
memang tak pernah ada tempat dihati lo sedikit pun buat gue?
Gue
sakit gini terus, tapi gue lebih sakit kalau harus ngelepas lo. Gue akan terus
berusaha. Sampai lo bilang cinta sama gue!
Grasia menhembuskan nafas. Berharap
rasa sakit yang dirasanya terpental dari hidupnya.
Dia.
Memang hanya dia
Ku
selalu memikirkannya
Tak
pernah ada habisnya
Benar
dia. Benar hanya dia
Ku
selalu menginginkannya
Belain
dari tangannya
(Geisha-Tak kan pernah ada)
Sedangkan ditempat Kevin. Cowok itu termenung. Sama sekali
nggak berniat dalam hatinya buat nyakitin cewek. Buat nyakitin perasaan Gras
dan sederet cewek lainnya yang menyimpan rasa lebih buatnya.
Kevin
sadar, hatinya nggak kan bisa terbuka buat cewek lain. Hanya ada satu tempat
dihatinya. Satu tempat yang diisi oleh seorang gadis yang dicintainya. Sebuah
cinta yang seharusnya tidak pernah dikenyam bahkan dirasanya. Sebuah cinta yang
tak akan pernah menyatu sampai kapan pun.
*@muthiiihauraa*
Adit memeluk Rica dengan erat. Tak
ingin dilepasnya karna ia begitu menyayangi wanita itu. Rica menatap Adit
dengan tatapan tak mengerti, lalu wanita itu tersenyum pelan. Rica membelai
lembut kepala Adit, membuat Adit semakin merasa nyaman.
“Kamu
kenapa sih sayang?” Adit menggeleng pelen. Dilepaskannya pelukan dari tubuh
wanita setengah baya itu. “Nggak papa kok Ma. Cuma pengen peluk Mama aja.” Rica
tertawa mendengar jawaban polos khas Adit.
“Dasar
kamu!” Rica mengacak-acak rambut spikey Adit.
Cowok itu hanya tersenyum tulus, menampakkan deretan giginya yang rapi.
“Laki-laki itu belum ngirim uang ya Ma?” tanya Adit seraya menyandarkan
tubuhnya pada dinding rumahnya.
Rica
mengernyit pelan. Sedikit bingung dengan perkataan anaknya. Rica mendengus
pelan, ia tau Adit-nya masih menyimpan luka. “Siapa maksud kamu? Papa-mu?”
“Ya
begitulah.” Adit merapikan rambutnya sembari menjawab cuek. Rica menatap mata
biru Adit, seolah mengunci sipemilik mata. “Dengerin Mama ya? Kamu nggak boleh
ngomong gitu, walau bagaimana pun dia itu tetap Papa kamu.”
Adit
mendengus pelan. Merasa sangat malas harus manggil laki-laki itu dengan
panggilan ‘Papa’. “Mama kenapa baik banget sih? Dia itu udah nyakitin dan
nelantarin kita lho Ma!”
“Nelantarin
bagaimana? Buktinya tiap bulan dia ngirimin kita uang kan? Raditya, Mama nggak
pernah ngajarin kamu untuk tidak sopan kepada Papa-mu sendiri.” ucap Rica
tegas. Rica hanya tak ingin anaknya memiliki rasa dendam kepada siapa pun.
Adit
menghembus nafas sembari merentangkan tangannya. Tanda menyerah. Direbahkannya
tubuhnya pada shofa usang dan dipejamkannya matanya. Rica menatap Adit dan
detik berikutnya wanita setengah baya itu berlalu menuju dapur.
Mama itu kaya malaikat. Hatinya putih
bersih, tapi memang laki-laki itu aja yang nggak tau diri. Dia pasti akan
menyesal pernah nyakitin gue dan Mama! Adit mendengus kesal. Entah kenapa
emosi bergejolak didalam dirinya.
Adit
melangkahkan kakinya keluar rumah. “Dit, mau kemana?” Langkah kaki Adit
terhenti dan Adit berbalik sembari memberikan senyuman termanisnya. “Keluar
bentar ya Ma?” ucap Adit. Cowok itu pun berlalu dari hadapan Rica.
Adit
melarikan motor sport hijaunya dengan
kecepatan tinggi. Meliuk-liuk dijalanan dengan gesit. Cowok itu tersenyum saat
merasakan atmosfir kebebasan. Ini baru
hidup! Cowok itu semakin melajukan motornya. Sama sekali tak menghiraukan
cacian orang-orang yang merasa kesal dan orang-orang yang hampir ditabraknya.
Sejak
masih duduk dibangku sekolah, Adit memang terkenal dengan dengan sebutan badboy. Keluar masuk BP dan kantor
polisi, balapan liar, bolos, tawuran dan bahkan hampir saja membunuh teman yang
dia anggap merusak hidupnya.
Adit
sama sekali tak pernah merasa bersalah atas apa yang ia lakukan. Baginya semua
yang ia lakukan adalah benar dan tak boleh ada yang men-judge nya salah. Tapi saat dirumah, Adit langsung berubah menjadi
anak yang super sopan didepan Rica.
Selama gue senang dengan apa yang gue
lakuin, kenapa nggak? Ini hidup gue, nggak boleh ada siapa pun yang ngatur
kecuali diri gue sendiri.
*@muthiiihauraa*
Karla menyipitkan mata saat matanya
tertuju pada sebuket bunga mawar merah yang tergeletak didalam tasnya. Cewek
berambut kepirangan itu tertegun. Dengan ragu-ragu diraihnya buket bunga mawar
merah yang tampak menyeruak indah dari dalam tasnya.
Karla
mengernyit pelan. Cewek itu berjalan menuju tempat tidurnya sembari menghirup
sensasi aroma sang mawar merah sambil tersenyum. “Bunga dari siapa ya?” Tangan
gadis cantik itu membolak-balikkan buket bunga. Berharap mendapatkan keterangan
tentang sipengirim bunga.
Mawar merah? Kenapa orang ini tau kalau aku
sangat menyukai mawar merah? Bukankah yang tau tentang hal ini cuma Mama dan
Kak Ivin?
“Bodo
ah! Yang penting mah gue dapat bunga!” Karla tersenyum sembari meraih pot bunga
Kristal dan meletakkan buket bunga itu disana.
Ah cinta...
BalasHapusserasa muda lagi membincangkan cinta