Tentang Cinta#5
Hai,
Assalamua’laikum. Gimana kabarnya? Sudah sejau mana impian alias target di
2017-nya? Ada yang sudah terwujud? Rasanya sudah cukup lama ya nggak sekedar
bercerita disini, iya maafin akhir-akhir ini kebanyakan postingan berbayar. Alhamdulillah
untuk job blog dan sosial media lancar.
Hari
ini hari yang luar biasa. Tadi pagi aku dapat kabar bahagia dan belum bisa aku
ceritakan disini sampai itu fix. Pokoknya doain aja ya. Hari ini juga, aku
ketemu dan sharing dengan orang-orang yang luar biasa. Sharing dengan Pak
Mustafa alumninya Gagasan dan kemudian cerita plus ngewawancarai adik-adik yang
lolos KKN Kebangsaan. Mereka orang-orang yang punya target dalam hidupnya dan
aku selalu kagum dengan orang-orang yang sepeti ini.
Dari
mereka aku belajar banyak hal dan semakin semangat untuk gapai semua impian
aku. Untuk target 2017 sendiri, sejauh ini Alhamdulillah sudah banyak yang
mulai terealisasikan. Semoga aku tetap konsisten untuk mewujudkan semua impian
aku.
Kebanyakan
intro ya, oke deh langsung saja, check this out:
Tentang Cinta#5
Cinta itu lumrah. Cinta akan
membuat semua orang bahagia atau pun terluka.
Farran melangkah gontai memasuki
rumahnya. Tangan kanan cowok itu memain-mainkan kunci mobilnya. “Tuh dia Tan,
udah pulang.” Sebuah suara mengejutkan Farran.
Cowok
yang mengenakan baju kaus lengan pendek plus celana parasit itu menatap si
empunya suara. Pasti nih cewek ngadu lagi
ke nyokap! Dasar! Farran merutuk dalam hati sembari tangan kirinya
mengacak-acak rambutnya. Kesal.
“Apaan
sih lo Gras? Norak tau nggak!” sunggut Farran sambil merebahkan tubuhnya di
shofa ruang tamu. “Tante, dia marahin aku lagi!” Grasia kembali mengadu pada
Mira.
“Aduh
kalian ini berantem mulu dari dulu kerjanya. Sekali-kali akur kenapa?” Mira
tersenyum menatap Farran dan Grasia. “Dia nyebelin sih Ma!”
“Masa
aku dibilang nyebelin Tante. Tuh kan, dia nya aja tuh yang nggak pernah care sama aku.” Grasia memperlihatkan
wajah cemberutnya, membuat Farran menggerutu kesal.
“Farran!
Nggak boleh gitu. Turuti dong apa maunya Gras.”
“Tapi
Ma, nggak se—”
“Pokoknya
nggak ada tapi-tapian! Kasian nih Grasnya. Peduli dikit kenapa sih?” Farran
mendengus kesal. Pandangannya tertuju pada Gras yang tengah tersenyum sembari
mengulurkan lidahnya.
“Iya
deh iya!” Farran menyerah. Cowok fakultas ilmu komunikasi itu melangkah dengan
lesu menuju tangga kamarnya. Grasia yang melihat kepergian Farran buru-buru
menyamai langkah Farran dan bergelayut manja dilengan bidang cowok itu.
Farran
mendelik kesal. “Apa lagi sih Gras?” Tangan Farran menepis tangan Grasia. “Lo
janji kan?” Grasia mengacungkan jari kelingkingnya. Hal yang dulu sering mereka
lakuin saat masih kecil.
Mira
hanya bisa menggelengkan kepala melihat Farran dan Grasia. Mereka udah semakin besar dan dewasa. Mungkin akan tiba nanti saatnya
untuk memberitahukan tentang perjodohan mereka. Mira tersenyum pelan. “Ayo
dong Ran!”
Farran
menyerah. Ditautkannya jari kelingkingnya pada jari kelingking Grasia. Cewek
itu tersenyum puas. “Gitu dong! Sekarang ayo temani gue ke mall!”
“Haa? Apa-apaan lagi sih lo Gras?”
“Udah temenin aja Ran.” Ujar Mira.
Farran menghembuskan nafas berat. Kalau udah Mama-nya yang minta, Farran memang
tidak pernah bisa menolak. Dengan langkah terpaksa, cowok itu menyiumi tangan
Mira dan berlalu keluar rumah. Hal yang sama juga dilakukan oleh Grasia.
“Gras. Pergi dulu Tante!” Mira
mengangguk sembari menatap punggung Grasia dan Farran yang semakin menjauh. Maya, lihat Grasia anak kamu. Dia udah
semakin besar dan cantik. Dia sangat mirip dengan kamu. Kamu yang tenang disana
ya!
Mira
mengusap matanya yang mulai memanas. Bayangan wajah Maya—sahabatnya terlukis
jelas dimemori otaknya.
Dua gadis berseraam SMA itu kembali
tertawa-tawa riang seakan tanpa beban. Maya dan Mira, dua diva Andalisia High
School. Dua cewek ‘the most wanted’ yang memiliki segudang prestasi.
Maya kembali tertawa. “Sumpah, itu
gokil banget. Trus trus gimana?” tanya Maya yang tampak penasaran. “Ahh! Ya
gitu deh pokoknya. Dia nembaknya sweet banget tau!” ucap Mira.
“Envy deh gue! Eh eh, gue ide gila
nih!” Mira terlihat antusias sembari menatap cewek berbola mata coklat
dihadapannya. Maya mendekatkan bibirnya ketelinga Mira.
“Gimana kalau besok kita punya
anak, kita jodohin mereka?” Usul Maya ini tentu saja disetujui oleh Mira. Dua
diva itu langsung ber-tos ria sembari membuat perjanjian disebuah buku rahasia
mereka.
*@muthiiihauraa*
Karla
mengelilingi rak buku di gramedia. Gadis itu berkali-kali membolak-balikkan
buku lalu meletakkannya kembali. Karla tersenyum pelan saat matanya tertuju
pada sebuah novel teenlit.
Gadis
ini memang maniak baca. Semua bacaan dilahapnya tanpa terkecuali. Karla
menghembuskan nafas. Sudah ada lima buku novel ditangannya, padahal tujuan awal
dia ke Gramedia adalah mencari buku rekomendasi dari dosennya.
“Lo
lagi lo lagi! Lo nguntitin gue ya?” Karla berbalik kearah sumber suara. Mata
gadis itu hampir keluar saat melihat sosok laki-laki berbola mata biru
dihadapannya. “Adit? Gue nguntit elo? Nggak kebalik tuh?”
Adit
menatap Karla dengan tatapan sinis. Entah kebencian seperti apa yang merasuki
diri seorang Raditya Argana Highsmith. Adit memain-mainkan dagunya dengan
tangan kiri, sedangkan tangan kanan cowok itu menenteng lima buah komik.
Adit
memang baru saja mendapatkan kiriman dari ayahnya, makanya ia bisa membeli komik.
“Heh cewek aneh binti nyebelin, gue nggak suka ngelihat muka lo terus.” Kata
Adit sembari melenggang meninggalkan Karla. Gadis itu hanya melongos pelan.
Karla
menatap jam tangan berwarna biru muda dipergelangan tangan kirinya. Sudah
hampir jam tujuh malam. “Aduh! Kak Ivin pasti khawatir banget nih sama gue.
Malah Hp lowbat lagi!” Karla terlihat
panic.
*@muthiiihauraa*
Gadis
yang memakai celana skinny jins hitam itu terlihat sangat khawatir.
Berkali-kali tatapan gadis itu mengarah pada jam tangannya dan kembali mengarah
keawan hitam yang tengah menangis.
Hatinya
menelisik lirih. Wajah khawatir kakaknya membayanginya. Berkali-kali gadis itu
mencoba menggambil nafas dan membuangnya. Berharap ia bisa merasakan sedikit
kesabaran yang masuk kedalam tubuhnya.
“Aduh!
Gimana nih.” Tangan gadis bernama lengkap Karla Stefanie itu terulur pada
tetesan air hujan. Bukan, sama sekali gadis itu tidak menikmati kehadiran sang
hujan. Malah Karla berharap hujan itu cepat berhenti.
Jam
sudah menunjukkan pukul 20.00 WIB, membuat gadis itu semakin gelisah. “Please, hujan lo berhenti dong!” Karla
berguman lirih. Kedua telapak tangan gadis itu ia gesekkan sehingga menciptakan
melodi kehangatan.
Sial deh hari ini! Malah kayanya
hujan bakal lama berhentinya. Apa gue harus nyari telepon umum buat ngabarin
Kak Ivin? Karla memijat-mijt keningnya. Akhirnya gadis itu
membuat keputusan. Dilangkahkannya kakinya untuk mencari keberadaan telepon
umum.
Karla
tak peduli tubuhnya yang basah kuyup oleh guyuran hujan. “Lo mau kemana sih?
Hujan lebat ini!” Sebuah payung menutupi tubuh mungil Karla. Cewek itu menatap
cowok yang sudah berada disampingnya. Payung cowok itu memayungi dirinya dan
diri cowok itu.
Karla
tampak kaget. “Dit? Lo ngapain?” tanya Karla yang sama sekali tidak bisa
menyembunyikan kegagetannya. Adit terlihat salah tingkah. Cowok itu
menggaruk-garuk bagian belakang kepalanya yang tak gatal.
“Lo
jangan GR! Gue cuma nggak tega liat cewek jelek sendirian malam-malam. Pas
hujan pula!” Adit berkata ketus. Karla memukul lengan Adit. Merasa sedikit
tersinggung dengan perkataan cowok disampingnya yang tingginya hanya setelinga
Adit.
“Yee!
Siapa juga yang GR? Gue cuma heran. Lo itu yang jelek bin aneh!” Untuk pertama
kalinya Adit tertawa lepas didepan Karla. Membuat Karla terpana dengan tawa
cowok disampingnya itu. Kaki mereka masih asik melangkah tanpa arah. “Kenapa lo
ketawa?”
“Terserah
gue dong! Lo itu emang dari dulu nggak tau trimakasih!” Karla mengernyit tak
mengerti mendengar perkataan Adit. Dari
dulu? nggak tau trimakasih? Maksudnya? “Maksud lo?”
“Udahlah
nggak usah dibahas. Sekarang lo mau kemana? Biar gue anterin. Tapi jangan mikir
macam-macam ya!” Karla menatap manic mata Adit. Mencoba mencari keseriusan
dimata biru itu. “Mau nggak? Nggak mau juga nggak papa sih. Malah gue senang.”
“Dih! Lo segitunya. Mau kok mau!”
*@muthiiihauraa*
Kevin
mondar-mandir diruangan tamu. Berkali-kali matanya melirik jam dinding yang
menempel gagah didinding ruang tamu. Cowok itu menghela nafas berat. Pandangan
gelisah yang tersorot dari mata cowok itu tertuju keluar rumah. Seakan menembus
kegelapan.
“Aya
kemana sih lo?” Cowok itu meraih Hp-nya. Berulangkali menghubungi Karla, tapi
tetap saja jawaban sang operator : ‘Nomor
yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada diluar desis area!’ Kevin
mengacak-acak rambutnya kesal.
“Ck!
Lo bikin gue khawatir. Kemana sih lo, Ya?” Cowok itu benar-benar tampak
frustasi. Dengan kesal, Kevin berjalan menuju ruang kerja Angga.
“Pa?
Jam segini Aya belum pulang.” Ujar Kevin sembari menggetuk-ngetuk pintu ruang
kerja sang Papa. “Dia udah besar Vin! Nggak usah dikhawatirin.”
“Gue
nggak nyangka punya Papa yang nggak pernah lagi sayang sama anak-anaknya!”
Kevin berlalu menuju ruang tamu dengan tampang super kesal sembari berharap Karla sudah ada disana.
Kata-kata
Kevin yang terakhir cukup membuat Angga tercengang. Laki-laki setengah baya itu
melepaskan kaca matanya. Tatapannya masih tertuju pada jendela. Berharap
melihat Karla pulang dan dia bisa bernafas lega.
Angga
juga sudah mencoba menghubungi Hp Karla, tapi memang tidak aktif. Keman sih kamu Ya? Papa khawatir! Batin
Angga. Angga menegak kopinya. Terasa sangat pahit dilidah. Berkali-kali kepala
laki-laki itu melongok ke jendela.
Angga
menghela nafas. “Cepat pulang nak! Papa khawatir.” Bisik Angga pelan dan lirih.
Selirih hembusan angin yang menerpa lembut pipi lelaki itu. Ujung mata Angga
menatap photo keluarga yang tergeletak pada frame photo diatas meja kerjanya.
Lelaki
itu mendesah pelan.
“Maaf mas, ini udah keputusan
final-ku!” Angga menatap wajah Karin dengan penuh kebencian.
“Trus hanya demi laki-laki itu kamu
ninggalin keluarga kita? Ninggalin Ivin dan Aya yang masih sangat butuh kasih
sayang kamu, gitu?” suara laki-laki itu penuh penekanan. Tampak jelas amarah
yang menyelimuti wajah Angga. Saat itu Kevin baru duduk dikelas 3 SMA sedangkan
Karla dikelas 1 SMA.
“Maafin aku mas! Dari dulu kan aku
memang mencintai dia. Aku menikah dengan kamu karna paksaan orang tuaku.”
“Kamu memang tidak pantas menjadi
seorang Ibu!”
Bersambung…
:D
aduh, kasian papa, semoga Karla lekas pulang ya
BalasHapushaha iya mbak ;)
Hapus