Perjalanan Menulisku

07.00 muthihaura 17 Comments



Jika kamu bukan anak raja, bukan anak ulama besar, maka menulislah! Sebuah kalimat yang berasal dari salah seorang sahabat nabi yang aku lupa namanya. Beberapa tahun terakhir ini, banyak yang nanya padaku tentang perjalanan menulisku. Baik itu teman-teman yang kenal didunia maya, bahkan yang mengenalku didunia nyata.

Tak hanya teman-teman, kakak dan adik tingkatpun sering bertanya. Mut sejak kapan hobby nulis? Motivasi kamu nulis apa? Ceritain dong perjalanan menulis kamu. Dan pertanyaan-pertanyaan sejenis itu. Akhirnya terpikirlah untuk bikin postingan ini. Kalau disuruh nyeritain perjalanan menulisku sejak awal, jujur aku bingung harus mulai darimana.


Yang aku ingat, dulu saat aku duduk dibangku SD, aku suka banget baca buku dan kemudian cerita dibuku tersebut aku tulis ulang. Aku juga suka ngekliping tema-tema menarik dari koran atau majalah yang ada dirumah. Sejak kecil memang, aku dan adik-adik dibiasakan untuk suka membaca.

Orang tuaku bukan orang tua ‘berada’. Kalau ngomongin susahnya hidup, kayanya cerita ini bakal makin panjang. Aku dan adik-adik jarang diajak jalan-jalan keluar kota saat liburan semester. Liburan kami sederhana, diajak ketoko buku dan disuruh memilih satu buku yang paling disuka. Ya, Cuma satu karna keterbatasan dana. Tapi senangnya udah luar biasa bagi aku dan adik-adikku saat itu.

Menginjak kelas tiga SD saat udah mahir baca tulis, aku udh suka nulis diary. Sebenarnya awalnya terpaksa karna program nulis diary ini ada di agenda disekolahku. Jadi sejak SD itu, aku sekolah udah full day. Dari pagi sampai sore. Nah disore hari sebelum pulang, kami diwajibkan untuk menulis diary.

Awalnya kepaksa, lama-lama kebiasa. Aku ingat banget dulu itu saat kepaksa nulis diary, dengan sangat tidak beretikanya, aku nulis dibuku diary besar-besar dengan kalimat ‘HARI INI AKU SENANG!’, udah gitu doang. Trus dikomentari gurunya. Guru tersebut bilang ‘Muthi, ceritain kenapa senangnya. Ceritain alasannya’.

Siapa siangka sebuah keterpaksaan tersebut ternyata mengantarkanku menemukan passionku sedini mungkin. Aku mulai terbiasa nulis, walau hasilnya jauh banget dari kata sempurna. Sejak itu juga, saat ditanya apa cita-citaku, aku akan selalu menjawab dengan mantap ‘penulis’. Walaupun saat itu aku sama sekali nggak tau bagaimana aku harus mencapai itu semua.

Almarhumah umi yang dulu berprofesi sebagai Guru Bahasa Indonesia disebuah SMP Negeri selalu bilang ke aku kalau jangan jadikan menulis sebagai profesi utama. Penulis sebagai sambilan saja. Menurut umi waktu itu, penulis di Indonesia itu nggak punya banyak uang. Kalau karyanya laku, baru ada uang, kalau nggak?

Mungkin itu salah satu ketakutan umi. Tapi aku berhasil meyakinkan umi, kalau dengan menulispun, aku bisa hidup. Dengan menulispun aku bisa ngasilin banyak uang. Kalau umi masih hidup sekarang, aku nggak tau apa beliau bakal bangga padaku atau tidak.

Memasuki dunia putih biru. Aku kehilangan kepercayaan diri. Aku berada di fase krisis kepercayaan diri. Aku menutup diri dari lingkungan yang bagi aku waktu itu lingkungannya juga nggak kondusif. Aku menjadi anak yang pemalu banget. Aku nggak punya teman, apalagi sahabat. Aku sendiri dan semua itu membuatku semakin tenggelam dengan buku-buku. Tenggelam dengan kegiatan menulis.

Satu pikiran terbentuk saat aku SMP. Satu pikiran yang membuatku semangat untuk sukses. Satu pikiran yang masih tertanam sampai saat ini. Aku harus sukses apapun caranya. Aku harus buktikan kepada mereka, kalau aku bisa jauh lebih baik dari mereka. Ya itu pikirannya!

Masa-masa SMP itu masa tersuram bagiku. Kalau hidup punya tombol delete, aku ingin sekali mendelete masa-masa ini beserta semua orang didalamnya. Sayang, hidup nggak punya tombol delete dan aku bersyukur akan hal itu. Justru sekarang aku bersyukur masa itu menjadi bagian dari kisah hidup ‘Muthi Haura’. Masa yang sedikit banyaknya ngebentuk aku saat ini.

Aku gila-gilaan menulis waktu SMP, bahkan udah mulai belajar nulis novel juga, walau sampai saat ini novelnya tak kunjung selesai. Memasuki SMA, aku belajar bersosialisasi. Teman-teman di SMA asik-asik. Di SMA, aku daftar ekstrakulikuler majalah sekolah.

Yang diterima Cuma sepuluh orang, sedangkan namaku berada diurutan kesebelas dengan poin nilai berbeda sedikit dengan yang nomor sepuluh. Jujur saja, itu bikin aku sedih. Gabung dimajalah sekolah adalah salah satu impianku, tapi kesedihan itu tidak membuatku ‘berhenti’. Aku masuk eskul rohis dan ngambil bagian mading. Sampai akhirnya di divisi mading, aku diangkat sebagai ketua jurnalistik. Ya, ketua divisi mading!

Saat SMA juga, lagi booming-boomingnya nulis cerita di note facebook, aku tentu saja ikutan. Dari situ aku kenal teman-teman yang tulisannya bagus kaya Atika Handayani, Rizki Amalia Oktisah, dan lain sebagainya. Beberapa kali juga aku ikutan lomba menulis, walau kadang lebih sering kalahnya.

Hingga pada satu titik, aku ngirim novel aku ke penerbit gramedia. Ini pertama kalinya aku mengirimkan karya kepenerbit. Satu tahun kemudian naskah novel tersebut dikembalikan dengan surat penolakan. Down? Banget! jangan ditanya bagaimana rasa sedih dan kecewanya. Aku kecewa, mungkin salah aku sendiri yang terlalu pede.

Aku berhenti menulis. Aku memutuskan ‘pergi’ dari kegiatan menulis. Kemudian aku membaca sebuah buku yang memotivasi banget. Dibuku itu dituliskan bahwa Naskah ‘Harry Potter’ ditolak oleh 14 penerbit. Naskah ‘A time of Kill’ karya John Grisham ditolak penerbit EMPAT PULUH LIMA KALI sebelum best seller seperti sekarang! Naskah novel ‘The Help’ karya Kathryn Stockeet ditolak ENAM PULUH KALI.   Perlu diulang? ENAM PULUH KALI!
Semua kata-kata dibuku itu ‘menampar’ aku banget. Kenapa aku secemen ini yang baru ditolak sekali lantas nyerah? Kenapa aku sepenakut ini untuk terus bermimpi? Berbagai pertanyaan bermunculan dibenakku saat itu, hingga aku kembali bertekad untuk terus menulis sampai kapanpun.

Saat ini detik ini, aku merasakan banyak keajaiban dari menulis. Aku nggak minta jajan ke orang tua karna aku udah bisa ngasilin uang dari menulis. Aku biayain kuliah dari menulis. Pertama kali aku naik pesawat gratis karna menulis. Aku ke Yogya, Medan, dan Sumbar gratis lewat menulis. Aku masuk koran sebagai orang yang ‘berprestasi’ karna menulis.

Kepercayaan diriku semakin terpupuk karna menulis. Aku bukan lagi Muthi Haura yang kemana-mana nundukin kepala saking pemalunya kaya dulu, semua itu karna menulis. Kalau saat aku down itu aku memilih untuk berhenti menulis, apa aku bisa seperti sekarang? Apa aku bisa jadi redaktur dan dua periode jadi Pimpinan Redaksi kalau saat itu aku berhenti menulis?

Jika saat itu aku memilih berhenti menulis, aku nggak bakal punya dua karya novel yang diterbitkan secara mayor saat ini. Aku nggak akan punya tulisan yang diterbitkan koran-koran. Aku nggak akan punya blog ini. Dan mungkin kalau bukan karna menulis juga, orang-orang bakal masih mandang aku sebelah mata.

Kini bagiku, menulis adalah segalanya. Lewat menulis aku merasa ‘ada’. Menulis juga pekerjaan merekam jejak. Aku nggak ingin setiap momen dihidupku terlewat begitu saja, maka aku rekam lewat tulisan. Kan bisa merekam jejak lewat poto, Mut? Memang, tapi poto tak akan pernah bisa bercerita banyak layaknya tulisan.

Lewat menulis, aku semakin percaya bahwa setiap impian itu pantas untuk diperjuangkan. Aku juga suka kata-kata ‘pekerjaan yang menyenangkan itu adalah hobby yang dibayar’. Inti dari tulisan ini, apapun impianmu. Apapun passionmu, lakukan terus.

Kamu hanya perlu tekun dan disiplin untuk mewujudkannya! Nah, gimana dengan perjalanan menulismu? Semoga puas ya dengan tulisan perjalanan menulis aku ini. Kalau masih ada yang mau ditanyakan, bisa email aku atau DM di @muthihaura1 atau @muthihaura_blog.
Salam sayang dan sukses selalu, Muthi Haura.
Sabtu, 17 Februri 2018. 21.36 WIB.

Baca Artikel Populer Lainnya

17 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. Hah? Satu tahun??? Lama bangetttt... Saya baru tau bahwa ternyata penerbit membutuhkan waktu selama itu untuk proses verifikasi naskah.

    Saya salut dengan kegigihan Mbak Muthi yang pantang menyerah hingga akhirnya bisa menerbitkan buku dan mendapatkan penghasilan dari menulis. Saya sudah nulis blog 8 tahun dan belum pernah menerbitkan satu buku atau mendapatkan penghasilan apapun dari menulis, beberapa tahun terakhir ini juga pengunjung blog makin sepi, tapi saya tetap betah nulis karena meskipun tidak banyak, tapi ada beberapa orang pembaca blog yang bilang ke saya bahwa tulisan-tulisan saya menginspirasi mereka untuk jadi lebih baik. Buat seorang penulis amatir seperti saya, itu adalah sebuah bentuk apresiasi yg sangat berharga.

    Di saat sedang down, saya sering mengingatkan diri akan alasan saya menulis. Saya menulis hanya semata-mata karena ingin berbagi, sesimpel itu =)

    BalasHapus
    Balasan
    1. satu tahun bahkan lebih mas ;( Wah komentarnya panjang sekali, sukaaa. Makasih loh mas. Mas bukan penulis amatir menurut saya. Tetap semangat buat kita mas ;))

      Hapus
  3. Jadi, karena kita bukan anak raja, nulis lagi, yuuk. Semangatnya nggak boleh kendor :D

    BalasHapus
  4. Saluut sama orng yang sadar passionnya sejak dini. Jadi bisa memilih pekerjaan sesuai dengan hobi, itu adalah kebahagiaan melebihi uang mba. Soalnya kebayang kan ke kantor yang kita keluhkan setiap hari tapi butuh duitnya wkwk *curcol*

    BalasHapus
    Balasan
    1. setuju mbak. Alhamdulillah dipertemukan dengan passion sejak dini. Mbak kudu semangat buat apapun yang sedang dijalani ;))

      Hapus
  5. Terharu mba. Sukses terus ya mba.
    Tetep semangat menulis :)

    BalasHapus
  6. wah keren mb Muthi bisa jalan2 gratis dari nulis semoga tetap produktif y mba kupun sdg komit biar terus menulis

    BalasHapus
    Balasan
    1. Alhamdulillah. Mbak juga kudu produktif ya ;))

      Hapus
  7. Tulisan ini dobrak semangatku banget. Makasih, Kak. :))
    Aku pengen seriuuss di bidang nulis. Nggak setengah-setengah.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Alhamdulillah kalau tulisan ini bisa bangkitin semangatmu. Trimakasih kembali. Ayo semangat!

      Hapus
  8. jadi ingat sendiri, semangat nulisnya naik turun, Alhasil buat target sebulan tamat minimal 15 buku jadi kepicu. Tapi sampai skrang Novel yang kelar cuma satu tupun males banget sampai skrg edit :'(. belum lagi kepikiran mau terbitkan

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aku juga dulu buat target dan jadi kepicu. Ayoo semangat! Ditunggu novelnya di rak-rak buku Gramedia ;) Amin!

      Hapus