Sosial Media dan Segala Gemerlapnya
Belakangan
terakhir ini, aku terkena sindrom galau alias baper kalau lagi mainin sosial
media, entah itu instagram, twitter, bahkan whatsapp. Terutama bagi aku mungkin
instagram. Kayanya bukan aku aja, beberapa kali sharing dengan teman, mereka
juga ngerasain hal yang serupa.
Yah,
sosial media penuh gemerlap. Seakan-akan semua hal yang ditampilkan di sosial
media adalah kesempurnaan. Seakan-akan hidup semua orang itu penuh kebahagiaan
dan hidup kita sendiri yang nggak. Kamu ngerasa gitu nggak sih? Di sosial media
kayanya semua orang nampilin hal-hal terindah dalam hidupnya.
![]() |
source: google |
Entah
itu makan di restoran mewah. Travelling kemana-mana. Mamerin body yang aduhai.
Nampilin produk-produk skincare yang super mahal. Mamerin entah itu mobil baru
hape baru. Mamerin segudang piala dan prestasi. Ngelihatin kemesraan dengan
pasangan. Ngeposting poto makanan yang bagus banget hasil masak sendiri.
Ngelihatin
buku-buku yang dibaca. Pokoknya semua serba sempurna deh. Sangat jarang
ditemui, isi feed seseorang yang nampilin ‘sisi’ jelek dari dirinya. Ya, sangat
amat jarang! Bahkan untuk satu poto aja butuh take berkali-kali sampai
mendapatkan hasil yang diharapkan.
Baca
juga: Review buku
Seperti
yang aku bilang diawal, aku ngerasa jengah dengan semua kesempurnaan yang
ditampilkan di sosial media. Baper? Off course! Aku jadi berfikir naïf. Aku
terkadang jadi membanding-bandingkan hidup aku dengan hidup orang lain. “Ya
ampun, kok dia cantik ya”, “Pasangannya romantic banget”, “Ih prestasinya
banyak, lah aku?”, “Bodynya bagus, panteslah, ngegym sih, udah gitu skincarenya
mahal-mahal coy.”
“Dia
keren banget merangkai kata”, “Buku yang dia baca wow banget”, “Banyak banget
uangnya bisa gonta ganti hape”, “Ternyata si doi yang aku sayang lagi dekat
sama cewek ini ya ternyata, wajar sih, cantik”, dan kebaperan lainnya.
Yap,
aku ngalamin dan ngerasainnya. Bohong kalau aku bilang aku nggak baper, apalagi
pas ngestalkerin orang yang aku sayang. Atau ngestalkerin sahabat-sahabat saat
SD, SMP, SMA, kuliah. Kayanya hidup mereka kok gampang banget gitu. Kaya nggak
ada beban. Seolah-olah hidup ini menyuguhkan banyak kebaikan untuk mereka.
Sedangkan
aku masih disini. Stuck ditempat. Ngerasa hidup kok gini-gini amat. Ngerasa apa
yang aku usahakan itu sia-sia. Ngerasa impian yang aku perjuangkan itu semakin
menjauh. Yang salah siapa? Lantas aku begini, siapa yang harus disalahkan?
Sosial media itukah? Atau oknum-oknum alias manusia-manusia didalamnya?
Nggak!
Sosial media nggak salah. Individu-individu yang main sosial media itu nggak
salah. Aku yang salah! Terlalu naïf kalau aku menyalahkan sosial media dan
individu-individu yang memainkannya. Kalau bisa dibilang, aku bekerja di sosial
media. Aku ‘hidup’ alias dapat uang dari sosial media. Secara nggak langsung,
kami yang bekerja di sosial media ini dituntut untuk ‘membranding’ diri sesuai
apa passion yang kami sukai.
![]() |
source: google |
Maksud
gampangnya gini, jika aku suka masak, maka aku harus sering memposting semua hal terkait masak memasak. Entah itu
prosesnya sampai hidangan masakan tersebut. Tentu dituntut juga untuk
menampilkan poto terbaik yang pernah dibuat. Kalau aku ingin jadi travel
blogger, maka secara nggak langsung, aku harus membranding diri untuk
memposting semua hal terkait travelling yang pernah aku lakukan.
Baca
juga:
3 beauty blogger yang kusuka
Kalau
aku ingin jadi food blogger, aku dituntut untuk sering memposting makanan yang
aku makan, entah itu dari caffe atau tempat-tempat lainnya. Kalau aku ingin
dikenal sebagai blogger tekno, maka aku harus sering memposting terkait hape.
Tak jarang juga, blogger tekno sering mendapatkan hape baru gratis untuk direview.
Begitu
juga halnya dengan beauty blogger. Intinya tidak ada yang salah dari apa yang
orang lain posting di akun sosial media mereka, terlepas dari apapun niatnya.
Entah itu hanya untuk sekedar pamer atau untuk kerjaan, nggak salah. Ya, yang
salah itu aku. Hatiku. Aku yang mungkin terlalu dengki.
Aku
yang mungkin terlalu ngerasa rendah diri hingga tak bisa ikut ngerasain
kebahagiaan yang orang lain posting. Aku yang mungkin belum bisa mengontrol
emosi diri. Teramat susah bagi orang yang moodyan seperti aku.
Akhirnya,
aku memutuskan untuk saat ini dan beberapa waktu kedepan, aku akan membatasi
diri bermain sosial media diluar kerjaan. Aku ingin mulai menjadwalkan, kapan
aku harus main sosial media, kapan waktunya untuk ngerjain kerjaan lain.
Pokoknya, selama to do list perhari aku belum terlaksa untuk hari itu, aku belum
bisa menyentuh sosial media, sekali lagi kecuali untuk kerjaan.
Kayanya
keputusan ini lebih sehat untuk aku saat ini. Karna terlalu
membanding-bandingkan hidup sendiri dengan hidup orang lain itu sejujurnya bagi
aku menghambat impian. Menghambat gerak. Menghambat proses yang akan dijalani
dan membuat diri membanding-bandingkan proses.
Baca
juga: Aku diusia 20-an
Mut,
harusnya kamu sadar, apa yang ditampilkan di sosial media itu tak selalu benar.
Terkadang fake. Bukankah kadang kamu juga begitu? Menampilkan hal-hal bahagia,
padahal sebenarnya kamu nggak lagi bahagia. Bisa saja, dibalik poto ‘wah’ yang
ditampilkan orang lain itu penuh rintangannya. Entah itu harus nabung sampai
nggak makan dulu untuk bisa travelling kemana-mana.
Entah
itu kerja keras dulu semingguan full hingga bisa menghadiahi diri sendiri makan
di caffe mewah. Iyakan, Mut? Lantas apa yang kamu baperkan? Ingat, kamu hanya
tau nama orang itu, tapi tidak dengan kisah hidupnya. Kamu juga bisa seperti
itu kok. Ayo focus ngejar semua impian kamu. Setiap orang ada masanya, setiap
masa ada orangnya.
Oke
baiklah. Aku akan tetap membatasi diri untuk bermain sosial media dan belajar
menata hati. Ayo tetap semangat. Apapun yang kamu pilih, mari berdamai dengan
sosial media dan penggunanya. Hindari menjudge orang lain terhadap apa yang dia
posting selagi tidak mengganggu kenyamanan khalayak umum dan kenyamanan
beragama. Mungkin segini dulu. Salam sayang, @muthihaura1.
Senin,
10 September 2018. 21.12 WIB.
Dulu saya juga begitu mbak.. ngeliat sosmed kie banyak palsunya, tapi sebagian gak juga.. maka dari itu sebagian sing tak follow kebanyakan yang menginspirasiku terutama dalam ham gambar atau produktifitas. Tujuan saya bersosial mediapun juga berubah. Saya ingin akun saya itu lebih bermanfaat atau berguna dengan info-infonya, bukan untuk "saya juga bisa" atau "nie saya duluan" bukan yang pikiran begitu.
BalasHapusSaya udah lewat banget masa2 gini.
BalasHapusSekarang udah lebih calm aja.
Cuek aja hehehe..
Gak pernah baper lagi saat ada yang posting foto cantik, karena tau banyak aplikasi edit foto hahaha.
umum ternyata ngerasain kayak gini, orang emang dasarnya lebih nyaman menunjukkan kesenangannya dibanding keburukannya
BalasHapusSabar ya Muth. Terkadang aku juga ngerasa hal yang sama. Jadinya buatku, nggak semua hal bisa aku bagi di akun socmed-ku. Akan selalu ada hal yang kusimpan sendiri dan aku syukuri, bahwa hidupku di dunia nyata lebih indah dari di dunia maya.
BalasHapusTerkadang apa yang kita lihat belum tentu seratus persen sama di media sosial. Media sosial hanyalah percikan gambaran semata di sekeliling kita. Lebih baik bagaimana memantaskan diri dengan mengambil manfaat positif dari media sosial untuk diri kita lebih baik ke depannya.
BalasHapus