Belajar dari Kasus Audrey
Belajar dari kasus Audrey- Setiap orang pernah ‘jatuh’. Setiap orang pernah salah.
Setiap orang pernah mengambil keputusan yang tidak tepat. Setiap orang pernah
menyesalkan keputusannya. Setiap orang pernah berada pada fase disalahkan.
Setiap orang pernah berada dalam ‘wilayah’ dimana ia merasa dirinya sangat
tidak berharga.
Aku,
kamu, kita pernah berada dalam fase-fase itu. Pernah jatuh, gagal, salah,
sedih. Yah, namanya juga hidup. Memang begitulah dinamikanya. Tetapi
terus-terusan berada di dalam fase-fase itu membuat diri sama sekali tidak akan
berkembang. Tidak akan bertumbuh. Waktu akan terus berlalu.
Waktu
tidak akan pernah berhenti seberapa keraspun kamu memintanya berhenti. Waktu
tak akan menunggu seberapa inginpun kamu memintanya untuk menunggu. Ya, life
must be go on. Hidup harus terus berjalan. Kalau kamu tidak menyesuaikan
ritmenya, maka kamu akan tertinggal dibelakang.
Begitu
juga halnya dengan kasus Audrey. Aku belajar banyak dari kasus ini. Baiklah,
akan aku ceritakan sedikit tentang kasus yang dialami Audrey. Sekitar dua
mingguan yang lalu, sosial media dihebohkan dengan kasus pembullyan yang
dialami oleh siswi SMP bernama Audrey. Awal beredarnya kasus ini dari salah
satu akun twitter yang mnceritakan kronologi pembullyan Audrey.
Kurang
lebih ceritanya begini: Audrey di bully oleh 12 teman-temannya yang merupakan
siswi-siswi kelas tiga SMA. Dalam versi ceritanya itu, Audrey diseret ke aspal,
disiram dengan air, dijambak, didorong, sampai kemaluannya ditusuk pakai salah
satu jari tangan pelaku. Pokoknya dalam versi cerita ini sangat seramlah.
![]() |
source: google |
Awal-awal
berita itu viral, aku langsung searching cari tau, apalagi ramai banget di
instagram. Muncullah hastag #JusticeForAudrey. Muncul juga petisi agar
pelaku-pelaku pembullyan Audrey betul-betul ditindaklanjuti secara hukum,
walaupun mereka masih anak-anak dibawah umur. Trus muncul juga video boomerang
para pelaku pembullyan Audrey saat tengah berada di kantor polisi.
Netizen
tampaknya benar-benar dibuat geram atas kasus ini. Akun-akun ke-12 pelaku
dicari tau dan diserang massal. Salah satu akun Echa, dihacker. Semua dm-dm
Echa dibongkar ke publik, bahkan juga video-video story lamanya di up kan
kembali. Kebanyakan diantara kedua belas pelaku itu menggunakan jilbab dan
cantik-cantik sehingga hal inipun menjadi sorotan publik.
Muncullah
banyak meme yang kurang lebih mengatakan begini: “Cantik saja tidak cukup,
kalau tidak dibarengo kelakuan yang baik”, “Cantik fisik belum tentu cantik
hati”, dan meme-meme dengan kata lainnya. Para pelaku dihujat habis-habisan.
Disumpahin, dicaci maki, diteror, pokoknya kemarahan netizen tampaknya memang
membabi buta.
Aku?
Sama, aku juga salah satu netizen yang menandatangani petisi agar para pelaku
dibawa keranah hukum sebagai mana mestinya. Aku respect pada Audrey, karna aku
juga pernah ngerasain yang namanya di bully, sampai-sampai aku membuat video
dan tulisan yang aku post di channel youtube dan instagram aku untuk Audrey.
Tapi sama sekali aku tidak ikut-ikutan menghujat pelaku, karna menurut aku,
menghujat pelaku sama saja kita membully mereka. Lah, apa bedanya kita dengan
mereka?
Malam
itu juga saat kasusnya viral, aku sempat diskusi dengan C terkait kasus Audrey
ini. Aku perlihatkan akun instagram Audrey. Awal ngelihat akun instagram
Audrey, aku rada kaget juga, ternyata rambut adiknya di cat pirang atau mungkin
memang pirang beneran? Trus pakai softline dan liptint. Zaman aku SMP mah nggak
gitu. Ga kenal softline ga kenal make up. Cupu banget mah aku dulu memang.
C
malah berkomentar gini terkait akun Audrey: “Kaya cabe-cabean juga mah”. Gitu
deh kurang lebih komentar C. Trus potonya juga ada yang di upload tanggal 5
April, sedangkan Audrey mengalami pembullyan kalau nggak salah baca ditanggal
29 Maret. Harusnya kalau memang parah, dia nggak mungkin buka sosmed dan bisa
ngapload poto.
Aku
nyoba berfikir positif, mungkin Audrey ngapload poto lama. Aku juga bilang ke
C, jangan ngejudge yang tidak-tidak. Selang beberapa hari setelah diskusi kami,
ada fakta baru yang mencengangkan dari pihak kepolisian. Pihak kepolisian
mengungkapkan bahwa ini tidak pembullyan, tapi perkelahian antara tiga orang
siswa SMA dengan Audrey. Perkelahian berupa saling jambak dan dorong.
![]() |
source: google |
Hasil
visum juga mengatakan bahwa tidak ada pengrusakan alat kelamin Audrey. Jujur,
aku agak schock dengan keterangan pihak kepolisian. Aku rasa, nggak mungkin
pihak kepolisian dan para dokter memberi keterangan palsu bukan? Trus juga
muncul screenshotan status-status facebook Audrey yang isinya kurang pantas
untuk dikatakan siswi SMP. Beredar juga tik toknya Audrey yang di upload saat
sudah terjadi pembullyan dan saat kasusnya ini belum tenar. Lalu kemudian,
muncullah hastag #AudreyJugaBersalah.
Aku
juga udah lihat video youtubenya Awkarin yang memberi ‘panggung’ kepada para
pelaku untuk bersuara. Disana tiga orang siswa SMA yang termasuk dalam 12
pelaku tersebut menceritakan kronologi sebenarnya. Kecewa? Jujur aku iya.
Entahlah siapa benar siapa salah. Aku tak ingin terlalu peduli lagi dengan
kasus ini.
Cuma
ngikutin sekilas dan tak ingin berkomentar apa-apa lagi. Ada beberapa hal yang
aku pelajari dari kasus Audrey ini. Yap, belajar dari kasus Audrey,
diantaranya: Pertama, jangan terlalu
percaya semua berita yang beredar di sosial media. Kebanyakan berita itu hanya
hoax semata.
Jadilah
netizen yang cerdas yang mampu memilah berita. Ini peringatan juga buat aku
agar tak sembarang mengshare berita-berita atau tulisan-tulisan yang tidak ada
sumber jelasnya. Kedua, kalaupun
berita itu benar, semisal pembullyan terhadap Audrey itu benar, kita sebagai
netizen tidak punya hak untuk menghakimi pelaku.
Kita
nggak punya hak untuk menyudutkan pelaku, apalagi jika pelakunya masih dibawah
umur. Bisa-bisa mentalnya down dan secara nggak langsung, kita juga udah
‘membully’ dan merusak hidup para pelaku. Kebayang nggak sih jika berita itu
hoax dan kita udah habis-habisan menghina pelaku?
Aku
pribadi mau minta maaf kepada ‘pelaku’ pembullyan Audrey. Aku udah nandatangani
petisinya, secara nggak langsung, aku juga udah ngehukum mereka padahal
jelas-jelas waktu itu keterangan dari kepolisian dan dokter belum keluar. Aku
minta maaf. Aku nggak tau gimana hancurnya hati mereka saat seluruh netizen
Indonesia menghakimi mereka, padahal jelas-jelas mereka belum tentu bersalah.
Yang
kuat ya adik-adik, semoga kehidupan kalian kedepannya lebih ‘terang’. Aku minta
maaf. Ketiga, hati-hati dengan jejak
digital. Digital itu berbahaya. Media sosial itu kejam. Walaupun tidak bertatap
muka, nyatanya jari-jari ini mampu mengetik kata-kata ‘jahat’, padahal yang
menerima hujatan itu juga manusia.
Hati-hati
mengapload sesuatu ke media sosial, karna walapun sudah kita hapus, tetap akan
tertinggal. Kita bisa melihat sifat dan kepribadian seseorang dari apa yang ia
tulis dan ia bagikan di sosial media. Walau tidak 100%, tapi media sosial cukup
mengambarkan bagaimana kepribadian seseorang.
Yap,
mungkin tiga itu saja dulu yang bisa aku pelajari dari kasus Audrey. Kalau kamu
sendiri, apa yang kamu pelajari dari kasus ini? Apakah kamu sudah belajar dari
kasus Audrey ini? Oke deh, mungkin segini dulu. Salam sayang, @muthihaura_blog.
Minggu,
21 April 2019. 19.31 WIB.
0 komentar: