Memaknai Kematian
Memaknai Kematian- Usia aku 24 tahun dan aku sudah mengalami tiga ‘kehilangan’
terbesar dalam hidupku. Menyakitkan? Oh tentu saja. Serasa separuh jiwa hilang.
Seingin apapun aku berteriak bahwa aku rindu mereka, nyatanya, sampai kapanpun,
aku tidak akan pernah bisa menemui mereka di dunia ini.
Mereka
semua sudah ‘pergi’. Abaku, umiku, juga nenekku. Orang-orang yang teramat
penting dalam hidupku, sudah kembali kepada-Nya. Sudah tidak merasakan sakit
apa-apa lagi. Sudah tidak perlu memikirkan semua hal terkait didunia fana ini.
![]() |
source: google |
Kehilangan
orang-orang terdekat yang teramat penting tidak membuat aku dan adik-adikku
lantas berputus asa. Kami terus bangkit. Mengejar cita masing-masing. Mengejar asa
masing-masing. Ya, life must be go on. Hidup akan terus berjalan, sedangkan
kematian itu pasti. Cepat atau lambat. Tua atau muda.
Sekitar
semingguan yang lalu, salah satu sahabatku dikampus ‘pergi’. Namanya Resti Dina
Fitri. Seorang perempuan heboh yang tengah melanjutkan S2-nya di Jakarta. Dindut,
begitu biasa aku menyapanya. Kematian Dina merupakan kematian dadakan
menurutku.
Dina
terlihat sehat-sehat saja. Bahkan beberapa hari sebelum ‘pergi’, Dina baru
pulang liburan di pulau bersama teman-temannya. Setelah itu, sekitar dua harian
dirumah sakit, Dina ‘pergi’. Aku dan teman-teman yang lain tentu saja terkejut.
Dipikiranku
yang sangat naif ini, Dina masih sangat muda. Nggak sakit parah. Masa depannya
masih cerah terbentang, tapi nyatanya ‘Allah’ berkata lain. Tak peduli tua atau
muda. Tak peduli sakit atau tidak. Tak peduli masa depan masih panjang atau
tidak diukuran kita sebagai manusia, karna semua rencana hanya Allah yang tau.
Kepergian
orang-orang terdekatku, juga Dina membuatku merinding. Membuatku semakin sadar
bahwa apa yang kita kejar mati-matian didunia ini jika nantinya Allah
memanggil, kitapun tidak membawa apa-apa kecuali amal.
![]() |
source: google |
Semua
rencana yang disusun, jika Allah sudah berkehendak lain, rencana dunia itu akan
tinggal sebatas ‘rencana’. Semua gelar strata satu strata dua strata tiga yang
di kejar, toh nantinya orang-orang akan mengingat kita sebagai almarhum atau
almarhumah atau mendiang.
Gelar-gelar
yang teramat dibanggakan itu tidak akan terpakai. Terbukur bersama tubuh yang
dimakan ulat. Harta yang dikumpulkan tidak akan dibawa keliang lahat. Harta itu
hanya akan jadi sebatas warisan. Warisan yang entah akan jadi malapetaka dalam
keluarga atau justru bisa dimanfaatkan dengan baik oleh anak cucunya.
Kain
mewah yang branded yang harganya mungkin jutaan tidak akan dipakai. Yang dipakai
hanya selembar kain kafan putih. Astagfirullah. Ampuni kami Ya Rabb. Aku sadar
aku bukanlah orang yang taat.
Aku
sadar aku belumlah menjadi wanita sholehah. Aku wanita yang penuh dosa. Aku wanita
yang masih jauh dari kata sempurna untuk ditelani sebagai wanita sholehah. Tapi
aku wanita yang ingin terus belajar. Wanita yang ingin terus memperbaiki
dirinya untuk menjadi lebih baik dan lebih baik.
Ampuni
aku Ya Rabb. Ampuni aku. Semangat terus memperbaiki diri buat kita. Karna kita
nggak akan tau kapan ‘dipanggil’. Tulisan
ini, aku khususkan buat diri aku sendiri. Self reminder buat diri sendiri. Karna
yang menulispun tidak lebih baik dari pada yang membaca.
Salam
sayang, @muthihaura_blog.
Minggu,
30 Juni 2019. 10.48 WIB.
Aku juga berpikir hal yang sama,apa yang kita kejar mati matian di dunia gak berarti saat sudah harus menghadap -Nya. Rencana Dina pasti panjang, kedepan setelah s2 akan mencapai ini dan itu, tp Allah berkata lain. Jadi tamparan keras sekali buatku, apa yg sudah dipersiapkan untuk kepulangan yang sesungguhnya :")
BalasHapusSemangat ya author sayang, kita sama sama punya target dunia tapi semoga bisa perbaiki diri untuk persiapan akhirat.
Thanks kak aku jd merasa diingatkan jg. Nabung bekal akhirat jgn lupa :')
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus