Ngomongin Tentang Julid
Sekitar
semingguan lebih ini, aku wara wiri di sosial media. Nggak! Sama sekali bukan
untuk kerjaan, tapi hanya sekedar menghabiskan waktu untuk sesuatu yang menurut
aku bukan prioritas. Jadi di awal Januari, aku memutuskan untuk membeli paket
unlimited perharinya.
Nggak
unlimited juga sih, Cuma pasti lebih deh. Biasanya aku pakai paket yang 1 gb-an
perhari dan aku ngerasa itu nggak cukup buat kerjaan-kerjaan aku. Kerjaan aku
memang banyaknya di sosial media dan 1 GB itu memang harus benar-benar aku
hematin banget. Tapi benar-benar nggak nutup buat aku yang ngupload youtube dan
blog.
Akhirnya
awal tahun, aku ganti dengan yang lebih banyak ketimbang 1 GB. Niatnya ya tentu
saja agar bisa lebih produktif di youtube dan blognya. Juga bisa produktif di
beberapa akun yang aku kelola. Trus jadi bisa lebih ngembangin diri dengan
nontonin dan baca hal-hal yang bikin skill aku nambah lewat sosial media. Iya,
itu niatnya. Nyatanya, nggak kaya gitu huhu.
Nyatanya
aku malah lebih banyak ngabisin waktu untuk stalkerin yang nggak jelas. Ngestalk
sesuatu yang sebenarnya nggak ada kaitannya dengan hidup aku dan nggak bikin
aku berkembang. Bukannya sebentar, tapi berjam-jam. Ini toxic banget menurut
aku. Setiap ngelakuin itu, aku ngerasa bersalah sama diri aku sendiri, tapi
kemudian aku lakuin lagi.
Salah
satu hal yang aku stalkerin adalah kasus Lucinta Luna dengan Keanu. Faedahnya di
aku apa? Akhirnya karna kemaren sempat ngerasa bersalah udah banyak ngabisin
waktu disana, aku jadiin itu tulisan. Yap, kasus mereka aku jadikan tulisan di 3 pelajaran dari kasus Lucinta Luna VSKeanu.
![]() |
source: akupaham[dot]com |
Itu
cara aku meminimalisir rasa bersalah. Dan yang semakin bikin aku ngeh adalah,
terlalu sering bermain sosial media membuat aku kaya julid gitu dengan orang
lain. Rasanya pengen ngata-ngatain orang yang nggak sependapat dengan aku. Ngatain
orang yang berbeda prinsip atau cara pandang terhadap sesuatu.
Ini
benar-benar toxic. Makin ketampar setelah tadi malam saat seorang adik di
organisasi bernama Nafi mengomentari julidan aku. Inti yang dia bilang adalah
bahwa tiap orang punya caranya sendiri untuk bahagia. Ketampar banget. Aku jadi
langsung intropeksi diri.
Selama
ini aku selalu berusaha nggak ngata-ngatain orang. Berusaha nggak ngomentari
sesuatu terkait orang lain. Apalagi mengingat salah satu bab di buku Seni
Bersikap Bodo Amat yang mengatakan kebanyakan manuasia itu berfokus untuk
sesuatu hal yang nggak penting di dalam hidupnya. Kenapa nggak bodo amat aja
untuk sesuatu yang bukan bersinggungan dengan diri sendiri.
Ngapain
aku harus julid ngelihat orang ngepost-ngepost potonya, trus ngebilang alay? Lah,
itu sosial media dia. Punyanya dia, dia berhak 100 % ngelakuin apapun yang dia
mau. Kalau nggak suka tinggal nggak usah dilihat, Mut.
Kenapa
aku harus ikut juga memperdebatkan perempuan harus bisa masak saat udah nikah
atau nggak perlu masak. Bla bla bla. Faedahnya apa? Kalau prinsip aku perempuan
itu harus kudu bisa masak, apalagi entar kalau udah nikah, okey. Itu prinsip
aku dan nggak bisa di samaratakan untuk semua perempuan.
Baca Juga: TERUNTUK PEREMPUAN YANG SUDAH INGIN MENIKAH
Kenapa
harus julid perkara perempuan itu kudu natural, nggak boleh pakai skincare atau
make up. Kalau bagi aku perempuan itu kudu ngerawat diri dengan skincare dan make up, ya udah itu
pilihan aku. Nggak perlulah julid dengan orang yang nggak sependapat dengan
aku.
Kenapa
harus julid perkata standar ‘hedon’nya seseorang. Kalau menurut orang lain
standart hedonnya makan di cafe mahal seharga hampir sejutaan. Ya udah, berarti
itu standartnya dia. kalau standart aku, makan di KFC atau MCD udah ngerasa
hedon, ya udah orang lain nggak perlu julid. Kenapa harus julid perkara ‘twitter
for iphone’ atau ‘twitter fo android’? Gunanya apa?
Kenapa
harus julid ngelihat teman belum lulus? Why? Standart aku, lulus cepat
menyelesaikan tanggung jawab dengan orang tua terkait pendidikan. Itu standart
aku, mungkin teman-teman yang belum lulus juga, tapi kita nggak pernah tau
struggle apa yang mereka alamin.
Entah
saat proses skripsi orang tuanya sakit, atau kendala biaya, atau sibuk kerja,
atau dianya sakit, dan lain sebagainya. Lantas kenapa aku harus maksakan orang
itu ‘lulus tepat waktu’ sesuai standart aku?
Kita
tau nama orang itu, tapi nggak dengan kisah hidupnya. Mana tau orang yang di
julidtin itu lagi sedih atau punya mental illness. Atau lagi ada problem besar
dalam hidupnya dan atau atau lainnya. Lantas mengapa kita ikut-ikutan menjudge?
Kenapa ikut-ikutan julid?
Standart
tiap orang berbeda. Kisah hidup seseorang berbeda. Prinsip-prinsip seseorang
dalam hidupnya pun berbeda. Lantas kenapa harus memaksa untuk sama? Lantas kenapa
memaksakan orang lain harus satu frekuensi dengan kita?
Kenapa
harus ngejulitin orang yang nggak satu pendapat dengan kita? Untuk apa? Faedahnya
apa? Tulisan ini untuk aku pribadi. Mengingatkan diri sendiri. Aku tau aku
nggak akan bisa nahan sepenuhnya, tapi In syaa Allah aku akan berusaha
menguranginya.
Jaga
hati. Jaga mata. Jaga lisan. Jaga tangan, Mut! Orang yang dijulitin itu juga
manusia. Sama-sama punya hati. Jangan hanya maunya dijaga perasaannya, tapi
nggak mau menjaga perasaan orang lain. Salam sayang, @muthihaura1.
Jum’at,
17 Januari 2020. 11.17 WIB.
0 komentar: