Ngomongin Tentang Julid

11.29 muthihaura 0 Comments


Sekitar semingguan lebih ini, aku wara wiri di sosial media. Nggak! Sama sekali bukan untuk kerjaan, tapi hanya sekedar menghabiskan waktu untuk sesuatu yang menurut aku bukan prioritas. Jadi di awal Januari, aku memutuskan untuk membeli paket unlimited perharinya.

Nggak unlimited juga sih, Cuma pasti lebih deh. Biasanya aku pakai paket yang 1 gb-an perhari dan aku ngerasa itu nggak cukup buat kerjaan-kerjaan aku. Kerjaan aku memang banyaknya di sosial media dan 1 GB itu memang harus benar-benar aku hematin banget. Tapi benar-benar nggak nutup buat aku yang ngupload youtube dan blog.

Akhirnya awal tahun, aku ganti dengan yang lebih banyak ketimbang 1 GB. Niatnya ya tentu saja agar bisa lebih produktif di youtube dan blognya. Juga bisa produktif di beberapa akun yang aku kelola. Trus jadi bisa lebih ngembangin diri dengan nontonin dan baca hal-hal yang bikin skill aku nambah lewat sosial media. Iya, itu niatnya. Nyatanya, nggak kaya gitu huhu.


Nyatanya aku malah lebih banyak ngabisin waktu untuk stalkerin yang nggak jelas. Ngestalk sesuatu yang sebenarnya nggak ada kaitannya dengan hidup aku dan nggak bikin aku berkembang. Bukannya sebentar, tapi berjam-jam. Ini toxic banget menurut aku. Setiap ngelakuin itu, aku ngerasa bersalah sama diri aku sendiri, tapi kemudian aku lakuin lagi.

Salah satu hal yang aku stalkerin adalah kasus Lucinta Luna dengan Keanu. Faedahnya di aku apa? Akhirnya karna kemaren sempat ngerasa bersalah udah banyak ngabisin waktu disana, aku jadiin itu tulisan. Yap, kasus mereka aku jadikan tulisan di 3 pelajaran dari kasus Lucinta Luna VSKeanu.

ngomongin tentang julid
source: akupaham[dot]com

Itu cara aku meminimalisir rasa bersalah. Dan yang semakin bikin aku ngeh adalah, terlalu sering bermain sosial media membuat aku kaya julid gitu dengan orang lain. Rasanya pengen ngata-ngatain orang yang nggak sependapat dengan aku. Ngatain orang yang berbeda prinsip atau cara pandang terhadap sesuatu.

Ini benar-benar toxic. Makin ketampar setelah tadi malam saat seorang adik di organisasi bernama Nafi mengomentari julidan aku. Inti yang dia bilang adalah bahwa tiap orang punya caranya sendiri untuk bahagia. Ketampar banget. Aku jadi langsung intropeksi diri.

Selama ini aku selalu berusaha nggak ngata-ngatain orang. Berusaha nggak ngomentari sesuatu terkait orang lain. Apalagi mengingat salah satu bab di buku Seni Bersikap Bodo Amat yang mengatakan kebanyakan manuasia itu berfokus untuk sesuatu hal yang nggak penting di dalam hidupnya. Kenapa nggak bodo amat aja untuk sesuatu yang bukan bersinggungan dengan diri sendiri.

Ngapain aku harus julid ngelihat orang ngepost-ngepost potonya, trus ngebilang alay? Lah, itu sosial media dia. Punyanya dia, dia berhak 100 % ngelakuin apapun yang dia mau. Kalau nggak suka tinggal nggak usah dilihat, Mut.

Kenapa aku harus ikut juga memperdebatkan perempuan harus bisa masak saat udah nikah atau nggak perlu masak. Bla bla bla. Faedahnya apa? Kalau prinsip aku perempuan itu harus kudu bisa masak, apalagi entar kalau udah nikah, okey. Itu prinsip aku dan nggak bisa di samaratakan untuk semua perempuan.


Kenapa harus julid perkara perempuan itu kudu natural, nggak boleh pakai skincare atau make up. Kalau bagi aku perempuan itu kudu ngerawat diri dengan skincare dan make up, ya udah itu pilihan aku. Nggak perlulah julid dengan orang yang nggak sependapat dengan aku.

Kenapa harus julid perkata standar ‘hedon’nya seseorang. Kalau menurut orang lain standart hedonnya makan di cafe mahal seharga hampir sejutaan. Ya udah, berarti itu standartnya dia. kalau standart aku, makan di KFC atau MCD udah ngerasa hedon, ya udah orang lain nggak perlu julid. Kenapa harus julid perkara ‘twitter for iphone’ atau ‘twitter fo android’? Gunanya apa?

Kenapa harus julid ngelihat teman belum lulus? Why? Standart aku, lulus cepat menyelesaikan tanggung jawab dengan orang tua terkait pendidikan. Itu standart aku, mungkin teman-teman yang belum lulus juga, tapi kita nggak pernah tau struggle apa yang mereka alamin.

Entah saat proses skripsi orang tuanya sakit, atau kendala biaya, atau sibuk kerja, atau dianya sakit, dan lain sebagainya. Lantas kenapa aku harus maksakan orang itu ‘lulus tepat waktu’ sesuai standart aku?

Kita tau nama orang itu, tapi nggak dengan kisah hidupnya. Mana tau orang yang di julidtin itu lagi sedih atau punya mental illness. Atau lagi ada problem besar dalam hidupnya dan atau atau lainnya. Lantas mengapa kita ikut-ikutan menjudge? Kenapa ikut-ikutan julid?

Standart tiap orang berbeda. Kisah hidup seseorang berbeda. Prinsip-prinsip seseorang dalam hidupnya pun berbeda. Lantas kenapa harus memaksa untuk sama? Lantas kenapa memaksakan orang lain harus satu frekuensi dengan kita?

Kenapa harus ngejulitin orang yang nggak satu pendapat dengan kita? Untuk apa? Faedahnya apa? Tulisan ini untuk aku pribadi. Mengingatkan diri sendiri. Aku tau aku nggak akan bisa nahan sepenuhnya, tapi In syaa Allah aku akan berusaha menguranginya.

Jaga hati. Jaga mata. Jaga lisan. Jaga tangan, Mut! Orang yang dijulitin itu juga manusia. Sama-sama punya hati. Jangan hanya maunya dijaga perasaannya, tapi nggak mau menjaga perasaan orang lain. Salam sayang, @muthihaura1.
Jum’at, 17 Januari 2020. 11.17 WIB.

Baca Artikel Populer Lainnya

0 komentar: