Pesan Ibu #2

16.00 muthihaura 0 Comments


“Ayo dek berangkat,” ujar Doni saat dirinya telah bersiap-siap. Tina mendengus sambil menatap tajam ke arah Doni lewat pantulan cermin. “Adek masih make up abang. Sabar,” kata Tina. “Oke abang, tunggu di motor.”

            “HANDUKNYA DIGANTUNG JANGAN DILETAKIN GITU AJA DI ATAS TEMPAT TIDUR,” teriak Tina setengah frustasi. Pasalnya hal-hal sepele kaya gini selalu membuatnya emosi pada Doni. Doni buru-buru mengambil handuknya, lalu kemudian menghembuskan nafas. “Ya bilangnya nggak usah ngegas gitu lah dek.”

            “Habis selalu gitu. Mungkin udah sejuta kali adek ngingetin, tapi nggak juga dilaksanakan,” ketus Tina. Doni tak mau memulai perdebatan. Lelaki itu hanya menghembuskan nafas, lalu kemudian keluar dari kamar.
***
            Doni menyantap makananya dengan lahap. Gulai Patin ini memang selalu jadi favoritnya. “Dek, tau nggak, mak dulu sering banget masakin ini. Tapi satu potong ikan patin kudu dibagi-bagi buat kakak, buat mak, dan bapak. Mana bisa dulu makan satu potong gini sendiri.” Doni bercerita.

Baca Juga: PESAN IBU #1
            “Hmmm, abang dulu udah pernah cerita soal itu. Nggak musti diulang dua kali kan?” tanya Tina. Doni terkekeh saat menyadari memang bahwa ia pernah menceritakan perihal itu. “Abang, kapan kita kredit mobil? Masa naik motor terus.”


            Doni menghentikan makannya, lalu menatap istrinya dalam. “Kayanya belum dalam jangka waktu beberapa tahun kedepan dek. Kita harus fokus nabung. Mulai juga berhemat. Mungkin bisa ngurangi makan diluar. Adek masak gitu.”

            “Kita harus bisa menetapkan prioritas. Nggak semua yang kita inginkan bakal kita dapatkan, iya kan? Mak—”
            “Udah dong jangan cerewet mulu. Nabung berhemat prioritas aah bosan dengarnya. Bikin nafsu makan adek hilang aja.” Tina memotong pembicaraan Doni sambil meletakkan sendok dan garpunya. Gadis itu beranjak pergi meninggalkan Doni. “Dek dek, mau kemana?”

            “Toilet!” Tina berlalu. Doni menghembuskan nafas, lalu kemudian menangkupkan kedua tangannya diwajah. Sejak awal, aku memang sudah tau sifatnya seperti ini, tapi kenapa setelah menikah semakin menjadi-jadi? Aku pikir, pernikahan ini akan membuatanya lebih dewasa, tetapi ternyata nggak! Doni membatin. Lelaki itu kemudian menyeruput teh manisnya hingga ludes. Gulai patin kesukaannya sama sekali tak membangkitkan seleranya. 

            Pernikahan itu memang menyatukan dua kepala dengan dua ego dan kepribadian yang berbeda, tapi apa memang serumit ini? Aku pikir, setahun mengenalnya hingga yakin mengajaknya menikah, aku sudah mengenal banyak tentang dirinya. Ternyata tidak. “Sampai kapan?” Doni bertanya pada dirinya sendiri.

            Sedangkan di wc, Tina menatap dirinya pada pantulan cermin. Gadis berwajah manis itu mendengus kesal. Kenapa pernikahan seribet ini? tanya Tina didalam hatinya.
***
            Doni bolak-balik sana sini untuk menyiapkan keperluan kantornya. Hari ini hari Senin dan laki-laki itu baru bangun padahal satu jam lagi, ia akan terlambat. “Deeeek, tolongin abang ceplokin telur dong sama kopi,” Doni berujar saat melihat istrinya masih tertidur pulas di ranjang. Karna tak ada respon, Doni menggoyang tangan Tina, membuat Tina menggeliat tak suka, lalu membuka mata dengan sorot tak suka.

            Doni kembali sibuk menyetrika bajunya dengan asal-asalan. “Dek, tolongin dong.”
            “Kan udah adek bilang, handuk itu jangan ditaroh di atas tempat tidur. Langsung taro tempatnya!” Bukannya mengiyakan permintan Doni, Tina malah mengomel. “Iya nanti. Ceplokin telur dulu buat sarapan sama bekal di kantor,” kata Doni sambil memakai pakainnya yang masih kusut. Lelaki itu kemudian mondar-mandir memasukan barang bawaan yang akan dibawanya ke kantor.

            “KENAPA SIH NGEREPOTIN AJA? EMANG NGGAK BISA YA MASAK SENDIRI?” Tina justru berujar dengan lantang. Doni menghentikan kegiatannya yang tengah memasang kaus kaki. Dengan kesal, lelaki yang biasanya penyabar itu menatap Tina tajam. “KAMU ITU ISTRI. INI RUMAH TAGGA KITA. MAU DIBAWA KEMANA RUMAH TANGGA INI, KITA BERDUA YANG NENTUKAN. BUKAN AKU SAJA ATAU KAMU SAJA!”

            Tina tercengang melihat reaksi Doni. “KEDUANYA PUNYA PERAN MASING-MASING. KEDUANYA SALING MEMBANTU,” ujar Doni, lalu kemudian berlalu. Dari kamar, Tina mendengar bahwa motor Doni telah melaju bersama kemarahannya. Tina semakin tertegun. Ini pertama kalinya Doni membentak dirinya. Entah mengapa tetesan bening turun dari kedua bola matanya. Tina menghela nafas.


            “Nak, perjalananan rumah tangga tak selalu mulus. Keduanya butuh komunikasi yang baik. Keduanya harus mau menurunkan ego masing-masing,”
            “Apa itu yang ibu lakukan bersama ayah? Saling menurunkan ego?” tanya Tina saat ia tengah melihat ibunya sibuk didapur. Ibu Tina tersenyum, lalu kemudian dengan mantap menjawab, “Tentu saja.”

            “Tapi Doni nggak sesabar ayah, bu!” ujar Tina disela isak tangisnya.
***
            Doni menatap layar komputernya sembari sesekali menggaruk kepalanya yang tak gatal. Ujung mata lelaki itu menatap jam. Ruangan kantornya sudah mulai sepi, tapi sama sekali tak menggerakkan hati Doni untuk segera bergegas pulang. Bayangan kejadian tadi pagi membuat laki-laki itu benar-benar enggan untuk pulang kerumah. Tapi disatu sisih, Doni merasa bersalah karna telah membentak Tina. Membentak wanita yang teramat dicintainya itu. 

            Doni menangkupkan kedua telapak tangannya ke wajah. “Arght!” ujarnya setengah berteriak. “Woi, kenapa?” tanya Rio yang tanpa Doni sadari sudah berada disisi mejanya. “Nggak apa-apa,” ujar Doni seadanya. Lelaki itu sama sekali tak ingin sebenarnya diganggu.

            “Eleh! Tumben jam segini belum pulang? Biasanya seor—”
            “Kalau mau pulang, pulang aja sana gih! Ketimbang ganggu!” Doni memotong ucapan Rio, membuat Rio cengengesan. “Cinta itu bukan tentang seberapa banyak yang didapatkan, tapi seberapa besar yang diberi,” celoteh Rio sembari berlalu. Doni tertegun mendengar ucapan Rio. Sebuah tayangan episode mampir dibenak Rio.


            Jika disuatu hari nanti dalam hubungan kita ada masalah, apa abang akan pergi ninggalin adek?” Tina bertanya. Kala itu mereka tengah berada ditaman kota. Doni menatap tajam, lalu tersenyum. “Dek, kalau kukumu panjang, yang dipotong itu kukunya, bukan tangannya. Kalau hubungan kita ada masalah, ya diselesaikan bukan dilepas.”

            “Mungkin aku yang kurang sabar membimbingnya,” Doni bangkit dari duduknya, lalu meraih kunci motor revonya. Pulang nanti, Doni berencana membelikan pisang coklat kesukaan Tina.
***
            “Dek, masih merajuk ya? Ngomong dong.” Doni duduk tepat dihadapan Tina, tapi berulang kali Tina mengalihkan pandangan. “Maafin abang please,” kata Doni lagi. Tina masih diam. Diamnya Tina membuat Doni sedikit frustasi. Bagi Doni, ia lebih suka jika Tina cerewet atau marah-marah ketimbang diam.

            “Sebagai permintaan maaf abang, abang punya sesuatu nih? Mau liat nggak?” tanya Doni sok misterius. Tina menoleh kearah Doni, membuat Doni merasa senang. “Apa?” tanya Tina.
            “Nggak mau ah, adek masih merajuk. Hadiahnya abang balikin aja,” Doni berdiri. Pura-pura merajuk. “Iih kok gitu. Ini adek nggak marah lagi kok.” Tina menarik tangan Doni. Doni tersenyum sumbringah.

            “Benar nggak marah? Senyum dulu dong!”
Tina tersenyum mengikuti permintaan Doni. “Ya udah, sini matanya abang tutupin,” Doni menurtup mata Tina, lalu membimbing istrinya itu ke garase. “Suprise! For you!” kata Doni. Mata Tina berbinar. “Mobil? MOBIL INI PUNYA KITA?” tanya Tina kegirangan. Doni mengangguk. Tina melonjak-lonjak kesenangan, lalu kemudian memeluk Doni. “Makasih abang. I love you.”
“I love you too. Ya udah, kita mau kemana nih?”
“Keliling kota Pekanbaru!”
“Let’s go!”

 Bersambung....

Baca Artikel Populer Lainnya

0 komentar: