Pesan Ibu #2
“Ayo dek berangkat,” ujar Doni saat dirinya telah
bersiap-siap. Tina mendengus sambil menatap tajam ke arah Doni lewat pantulan
cermin. “Adek masih make up abang. Sabar,” kata Tina. “Oke abang, tunggu di
motor.”
“HANDUKNYA
DIGANTUNG JANGAN DILETAKIN GITU AJA DI ATAS TEMPAT TIDUR,” teriak Tina setengah
frustasi. Pasalnya hal-hal sepele kaya gini selalu membuatnya emosi pada Doni.
Doni buru-buru mengambil handuknya, lalu kemudian menghembuskan nafas. “Ya
bilangnya nggak usah ngegas gitu lah dek.”
“Habis
selalu gitu. Mungkin udah sejuta kali adek ngingetin, tapi nggak juga
dilaksanakan,” ketus Tina. Doni tak mau memulai perdebatan. Lelaki itu hanya
menghembuskan nafas, lalu kemudian keluar dari kamar.
***
Doni
menyantap makananya dengan lahap. Gulai Patin ini memang selalu jadi
favoritnya. “Dek, tau nggak, mak dulu sering banget masakin ini. Tapi satu
potong ikan patin kudu dibagi-bagi buat kakak, buat mak, dan bapak. Mana bisa
dulu makan satu potong gini sendiri.” Doni bercerita.
Baca Juga: PESAN IBU #1
“Hmmm,
abang dulu udah pernah cerita soal itu. Nggak musti diulang dua kali kan?”
tanya Tina. Doni terkekeh saat menyadari memang bahwa ia pernah menceritakan
perihal itu. “Abang, kapan kita kredit mobil? Masa naik motor terus.”
Doni
menghentikan makannya, lalu menatap istrinya dalam. “Kayanya belum dalam jangka
waktu beberapa tahun kedepan dek. Kita harus fokus nabung. Mulai juga berhemat.
Mungkin bisa ngurangi makan diluar. Adek masak gitu.”
“Kita
harus bisa menetapkan prioritas. Nggak semua yang kita inginkan bakal kita
dapatkan, iya kan? Mak—”
“Udah
dong jangan cerewet mulu. Nabung berhemat prioritas aah bosan dengarnya. Bikin
nafsu makan adek hilang aja.” Tina memotong pembicaraan Doni sambil meletakkan
sendok dan garpunya. Gadis itu beranjak pergi meninggalkan Doni. “Dek dek, mau
kemana?”
“Toilet!”
Tina berlalu. Doni menghembuskan nafas, lalu kemudian menangkupkan kedua
tangannya diwajah. Sejak awal, aku memang
sudah tau sifatnya seperti ini, tapi kenapa setelah menikah semakin
menjadi-jadi? Aku pikir, pernikahan ini akan membuatanya lebih dewasa, tetapi
ternyata nggak! Doni membatin. Lelaki itu kemudian menyeruput teh manisnya
hingga ludes. Gulai patin kesukaannya sama sekali tak membangkitkan seleranya.
Pernikahan itu memang menyatukan dua kepala
dengan dua ego dan kepribadian yang berbeda, tapi apa memang serumit ini? Aku
pikir, setahun mengenalnya hingga yakin mengajaknya menikah, aku sudah mengenal
banyak tentang dirinya. Ternyata tidak. “Sampai kapan?” Doni bertanya pada
dirinya sendiri.
Sedangkan
di wc, Tina menatap dirinya pada pantulan cermin. Gadis berwajah manis itu
mendengus kesal. Kenapa pernikahan
seribet ini? tanya Tina didalam hatinya.
***
Doni
bolak-balik sana sini untuk menyiapkan keperluan kantornya. Hari ini hari Senin
dan laki-laki itu baru bangun padahal satu jam lagi, ia akan terlambat.
“Deeeek, tolongin abang ceplokin telur dong sama kopi,” Doni berujar saat
melihat istrinya masih tertidur pulas di ranjang. Karna tak ada respon, Doni
menggoyang tangan Tina, membuat Tina menggeliat tak suka, lalu membuka mata
dengan sorot tak suka.
Doni
kembali sibuk menyetrika bajunya dengan asal-asalan. “Dek, tolongin dong.”
“Kan
udah adek bilang, handuk itu jangan ditaroh di atas tempat tidur. Langsung taro
tempatnya!” Bukannya mengiyakan permintan Doni, Tina malah mengomel. “Iya
nanti. Ceplokin telur dulu buat sarapan sama bekal di kantor,” kata Doni sambil
memakai pakainnya yang masih kusut. Lelaki itu kemudian mondar-mandir memasukan
barang bawaan yang akan dibawanya ke kantor.
“KENAPA
SIH NGEREPOTIN AJA? EMANG NGGAK BISA YA MASAK SENDIRI?” Tina justru berujar
dengan lantang. Doni menghentikan kegiatannya yang tengah memasang kaus kaki.
Dengan kesal, lelaki yang biasanya penyabar itu menatap Tina tajam. “KAMU ITU
ISTRI. INI RUMAH TAGGA KITA. MAU DIBAWA KEMANA RUMAH TANGGA INI, KITA BERDUA
YANG NENTUKAN. BUKAN AKU SAJA ATAU KAMU SAJA!”
Tina
tercengang melihat reaksi Doni. “KEDUANYA PUNYA PERAN MASING-MASING. KEDUANYA
SALING MEMBANTU,” ujar Doni, lalu kemudian berlalu. Dari kamar, Tina mendengar
bahwa motor Doni telah melaju bersama kemarahannya. Tina semakin tertegun. Ini
pertama kalinya Doni membentak dirinya. Entah mengapa tetesan bening turun dari
kedua bola matanya. Tina menghela nafas.
“Nak, perjalananan rumah tangga tak
selalu mulus. Keduanya butuh komunikasi yang baik. Keduanya harus mau
menurunkan ego masing-masing,”
“Apa itu yang ibu lakukan bersama
ayah? Saling menurunkan ego?” tanya Tina saat ia tengah melihat ibunya sibuk
didapur. Ibu Tina tersenyum, lalu kemudian dengan mantap menjawab, “Tentu
saja.”
“Tapi
Doni nggak sesabar ayah, bu!” ujar Tina disela isak tangisnya.
***
Doni
menatap layar komputernya sembari sesekali menggaruk kepalanya yang tak gatal.
Ujung mata lelaki itu menatap jam. Ruangan kantornya sudah mulai sepi, tapi
sama sekali tak menggerakkan hati Doni untuk segera bergegas pulang. Bayangan
kejadian tadi pagi membuat laki-laki itu benar-benar enggan untuk pulang
kerumah. Tapi disatu sisih, Doni merasa bersalah karna telah membentak Tina.
Membentak wanita yang teramat dicintainya itu.
Doni
menangkupkan kedua telapak tangannya ke wajah. “Arght!” ujarnya setengah
berteriak. “Woi, kenapa?” tanya Rio yang tanpa Doni sadari sudah berada disisi
mejanya. “Nggak apa-apa,” ujar Doni seadanya. Lelaki itu sama sekali tak ingin
sebenarnya diganggu.
“Eleh!
Tumben jam segini belum pulang? Biasanya seor—”
“Kalau
mau pulang, pulang aja sana gih! Ketimbang ganggu!” Doni memotong ucapan Rio,
membuat Rio cengengesan. “Cinta itu bukan tentang seberapa banyak yang
didapatkan, tapi seberapa besar yang diberi,” celoteh Rio sembari berlalu. Doni
tertegun mendengar ucapan Rio. Sebuah tayangan episode mampir dibenak Rio.
“Jika disuatu hari nanti dalam hubungan kita
ada masalah, apa abang akan pergi ninggalin adek?” Tina bertanya. Kala itu
mereka tengah berada ditaman kota. Doni menatap tajam, lalu tersenyum. “Dek,
kalau kukumu panjang, yang dipotong itu kukunya, bukan tangannya. Kalau
hubungan kita ada masalah, ya diselesaikan bukan dilepas.”
“Mungkin
aku yang kurang sabar membimbingnya,” Doni bangkit dari duduknya, lalu meraih
kunci motor revonya. Pulang nanti, Doni berencana membelikan pisang coklat
kesukaan Tina.
***
“Dek,
masih merajuk ya? Ngomong dong.” Doni duduk tepat dihadapan Tina, tapi berulang
kali Tina mengalihkan pandangan. “Maafin abang please,” kata Doni lagi. Tina
masih diam. Diamnya Tina membuat Doni sedikit frustasi. Bagi Doni, ia lebih
suka jika Tina cerewet atau marah-marah ketimbang diam.
“Sebagai
permintaan maaf abang, abang punya sesuatu nih? Mau liat nggak?” tanya Doni sok
misterius. Tina menoleh kearah Doni, membuat Doni merasa senang. “Apa?” tanya
Tina.
“Nggak
mau ah, adek masih merajuk. Hadiahnya abang balikin aja,” Doni berdiri.
Pura-pura merajuk. “Iih kok gitu. Ini adek nggak marah lagi kok.” Tina menarik
tangan Doni. Doni tersenyum sumbringah.
“Benar
nggak marah? Senyum dulu dong!”
Tina tersenyum mengikuti permintaan
Doni. “Ya udah, sini matanya abang tutupin,” Doni menurtup mata Tina, lalu
membimbing istrinya itu ke garase. “Suprise! For you!” kata Doni. Mata Tina
berbinar. “Mobil? MOBIL INI PUNYA KITA?” tanya Tina kegirangan. Doni
mengangguk. Tina melonjak-lonjak kesenangan, lalu kemudian memeluk Doni.
“Makasih abang. I love you.”
“I love you too. Ya udah, kita mau
kemana nih?”
“Keliling kota Pekanbaru!”
“Let’s go!”
Bersambung....
0 komentar: