Pesan Ibu #3

16.00 muthihaura 0 Comments


Sudah semingguan ini handphone Doni tak henti-hentinya berdering. Hal ini tentu saja menjadi tanda tanya besar bagi Tina. Doni juga kelihatan lesu setiap mengangkat telepon. “Bang, kenapa?” tanya Tina saat keduanya tengah hendak tidur. Doni menggeleng sambil mencoba tersenyum. Tapi senyuman itu terlihat sangat terpaksa dimata Tina.

Baca Juga: PESAN IBU#2

Tina mendekati Doni, lalu tanpa sengaja tangan perempuan itu mengenai kening Doni. “Ya Allah bang, panasnya tinggi banget!” Sontak Tina langsung duduk. Rasa khawatirnya seketika muncul. “Nggak apa-apa dek. Paling besok juga sembuh.”
“Kita harus ke rumah sakit malam ini! Panas abang tinggi banget! Pantes bibir abang juga pucat.” Tina menarik tangan Doni agar segera bangun. Awalnya Doni menolak, tapi setelah dibujuk, akhirnya mereka pergi kerumah sakit.
***
“Pak Doni types bu. Harus dirawat inap untuk proses penyembuhan,” ujar Dokter Rega. Tina tertegun. Ini kali pertama dirinya harus mengurusi semuanya, mulai dari administrasi dan lain sebagainya. Biasanya sejak ia kecil, ibu dan ayahnya mengurusi semua untuk dirinya. Saat Tina bersuami, suaminya lah yang mengurusi segala hal terkait dirinya.
Kini Tina diharuskan mengambil keputusan, padahal ia sendiri ragu akan keputusan-keputusannya. “Gimana, bu? Bersedia rawat inap?”
“Eh. Oh oke baik dok,” 


“Oke bu. Setelah semua administrasi selesai, Pak Doni akan segera dipindahkan keruang rawat inap. Kalau begitu, saya permisi dulu bu,” kata Dokter Rega sembari berlalu meninggalkan ruang UGD.
“Dek, mending rawat dirumah aja. Abang nggak papa kok.”
“Dirumah sakit aja bang. Jangan bandel oke? Sekarang abang istirahat aja.” Tina mencoba tersenyum. Doni akhirnya pasrah, lalu kemudian memejamkan matanya. Mencoba beristirahat sebentar hingga dirinya mendapatkan kamar rawat inap.

“Bang, adek pulang sebentar ya? Mau ngambil tikar dan baju ganti. Beli makanan juga,” kata Tina. Doni membuka mata, lalu mengangguk pelan. “Adek bawa hape abang ya? Soalnya aplikasi gojek kan adanya di hape abang. Kita kan kesini pakai gocar, mana bisa adek bawa mobil kita,” Tina pura-pura tergelak atas leluconnya yang garing. Perempuan itu mencoba mencairkan suasana. Doni hanya tersenyum tipis, lalu kemudian kembali memejamkan matanya. Lelaki itu benar-benar tak ada energi hanya untuk sekedar membalas candaan istrinya.
***
Setelah membuka pintu rumahnya, Tina benar-benar tak sanggup lagi menahan isak tangisnya. Perempuan itu menyandar di dinding, lalu terduduk. Tangis Tina benar-benar keluar hingga ia segukan.
Tina mencoba berdiri, lalu menatap seisi rumahnya. Sepi. Doni tak disini. Tak lagi disisinya untuk sementara waktu. Rumah ini terasa begitu sepi bagi Tina. Tina menatap ke meja makan, bayangan sosok Doni hadir. Biasanya Doni duduk disitu sembari menyesap kopinya, lalu kemudian meninggalkan gelas kopinya hingga dikerumuni semut. Tapi kini, untuk beberapa hari kedepan, ia tak akan menemukan kejadian itu lagi.

Atau kejadian saat Doni tak meletakkan handuk pada tempatnya. Semua kejadian yang pernah mereka alami dirumah itu silih berganti hadir dibenak Tina, membuat tangis Tina semakin pecah. Lalu kemudian, bayangan Doni berganti dengan bayangan kejadian tadi saat dirinya di gocar.

“Hallo, ini siapa?” tanya Tina lewat telpon seluler suaminya. Pasalnya, nomor telepon yang masuk itu tak bernama. “Halo buk, tolong bilang Pak Doni untuk segera melunasi hutangnya! Kami sudah memberi waktu seminggu. Tidak ada toleransi lagi atau mobil itu akan disita! Tuut tuuut.” Sambungan telepon itu terputus.
Tina terdiam. Pandangannya nanar. Perempuan itu mencoba mencerna semua kejadian yang baru saja terjadi padanya. Belum sempat, Tina menenangkan dirinya, telpon dari nomor lain yang tak bernama lagi-lagi berbunyi. “Halo pak Doni. Ini kami dari pinjaman online. Bunga bapak sudah 500 juta, segera dilunasi! Tuut.” Telepon kembali dimatikan.

 Baca Juga: PESAN IBU #1
Isak tangis Tina kembali menggema. “Adek nggak butuh mobil baru. Adek nggak butuh baju baru dan lainnya. Adek Cuma butuh abang. Adek butuh abang!” ujar Tina disela isak tangisnya. “Maafin adek. Ga usah minjam online. Ga usah abang. Maafin adek.”
“MAAF ABANG!” Tina berteriak. Sebuah tangan memegang pundak Tina, membuat Tina dengan matanya yang bengkak menoleh. “ABANG?” 

“Abang kenapa dirumah? Abang kan harus istirahat dirumah sakit!” Tina menatap Doni khawatir. “Apa sih dek?” Doni menatap Tina tak mengerti. Tina berjalan menuju garasi. “JUAL SAJA MOBILNYA BANG. JUAL SAJA!” teriak Tina setengah frustasi. Doni mengikuti langkah Tina dengan tatapan bingung.
“Mobil apa sih dek?”

“Mobil yang abang beli seminggu lalu lah. Adek ga butuh mobil itu. Ga butuh!” Tina semakin terisak. Doni semakin bingung, lalu kemudian menarik tangan Tina. “Hey tenang. Adek kenapa? Mobil apa sayang? Tatap mata abang, mobil apa?”
Tina menatap mata Doni, lalu kemudian melepaskan tangan Doni. Perempuan itu setengah berlari menuju garasi. Nihil. Tak ada mobil apapun disana. Hanya ada honda revo butut milik Doni. Tina tertegun, lalu kemudian mencubit pipinya sendiri. Sakit.
“Jadi abang nggak beli mobil? Nggak masuk rumah sakit?” 

“Adek mimpi ya? Makanya jangan tidur magrib-magrib! Sholat magrib sana. Ini tadi pulang kantor abang belikan pisang coklat kesukaan adek,” kata Doni sambil memperlihatkan kantong plastik hitam berisi sekotak pisang coklat. Tina langsung memeluk Doni. Gadis itu terisak-isak. “Adek mimpi tapi rasa nyata. Adek takut. Maafin adek bang. Maafin.”
“Maafin juga soal tadi pagi ya sayang. I love you.”

Apa ini peringatan dari Tuhan agar aku bisa belajar jadi lebih baik lagi? Bahwa dia ternyata sangat sangat berharga di dalam hidupku.
***
Hari ini Tina memaksa diri untuk bangun lebih awal. Gadis itu menyiapkan semua keperluan Doni untuk kekantor, termasuk memasak. Walau hanya telur ceplok. Mendengar grasak grusuk, Doni terbangun, lalu menatap sosok Tina yang sedang menyetrika baju.

“Adek ngapain?” tanya Doni. Tina berbalik menatap Doni, lalu kemudian tersenyum. “Nyetrika baju abang loh. Buruan bangun. Telor ceplok udah ada tuh di meja makan,” kata Tina, lalu kembali berfokus pada setrikaannya. Doni buru-buru bangun, lalu kemudian mendekati Tina dan memegang kening perempuan itu. “Adek sehat-sehat aja kan? Demam apa gimana?”

Tina menepis tangan Doni dari keningnya. “Ih kesel lah. Pas lagi malas, abang marah. Pas adek rajin, abang bilang demam,” ujar Tian bersungut. Perempuan itu pura-pura kesal. Doni tertawa, lalu kemudian berujar. “Makasih sayang, i love you! Abang mandi dulu ya.” Doni berlalu menuju kamar mandi. Selesai mandi, seperti biasa, Doni meletakkan begitu saja handuknya di atas tempat tidur.
“Sayang, handuknya,” ujar Tina lembut. Doni terkekeh, lalu buru-buru meletakkan handuk tersebut pada tempatnya.
***
Jam menunjukkan pukul sembilan pagi, Tina membuka pintu rumahnya sembari bergegas menuju gerobak sayur yang sudah mangkal di depan rumahnya. “Wah tetangga baru ya? Nggak pernah keliatan keluar rumah,” si abang penjual sayur menyapa ramah. Tina tersenyum. “Udah sekitar tiga bulanan ini, bang. Iya, ini baru belajar masak.”

“Bagus tuh. Perempuan memang harus bisa masak. Hal itu yang akan dirindukan oleh anak-anakmu kelak saat mereka jauh dari ibunya,” seorang perempuan separuh baya berujar sembari tersenyum. Tina tertegun. Kata-kata perempuan itu sama persis seperti yang dulu pernah diucapkan almarhum ibunya.

“Kenapa sih ibu selalu memaksa aku belajar masak?” Tina bersungut sembari memotong bawang. “Perempuan memang harus bisa masak. Hal itu yang akan dirindukan oleh anak-anakmu kelak saat mereka jauh dari ibunya,”kata ibu.


“Salah satu cara membuat laki-laki itu bertahan denganmu melalui perutnya,” kata ibu itu lagi membuat bayangan masa lalu Tina terhenti. Tina tersenyum, “Iya bu.”
Si ibu yang bernama Ratna itu kemudian balas tersenyum. Kalau dia senyum gini kan manis, beda banget saat ketemu di bus waktu itu. “Jadi Tina mau masak apa hari ini?” tanya Ratna. Tina tampak terkejut, lalu buru-buru menutupi keterkejutannya sembari berujar, “ibu tau nama saya?”

Ratna tertawa. “Tentu saja. Bahkan aku sudah sangat mengenalmu.”
Tina tertegun. Entah kenapa kata-kata Ratna barusan membuat Tina merinding, lalu kemudian Tina mencoba tertawa. Ah mungkin ibu ini hanya bercanda. “Masak apa Ina hari ini?” Ratna mengulang pertanyaannya, tapi kali ini dengan panggilan Ina, bukan Tina. Lagi-lagi Tina tertegun. Hanya ibunya yang memanggilnya Ina. Tina buru-buru menepis segala pikiran negatif dari benaknya
“Mau belajar bikin sup dulu bu,” kata Tina. Ratna tersenyum, lalu mengambil bumbu sup dari abrofood dan mengulurkannya pada Tina. “Pakai bumbu ini aja biar enak. Ayo buruan belanjanya, nanti ibu ajarin masak sup.”

Tatapan Tina berbinar saat mendengar ucapan Ratna. “Oke siap bu.”

Bersambung...

Baca Artikel Populer Lainnya

0 komentar: