Pesan Ibu #3
Sudah semingguan ini handphone Doni tak
henti-hentinya berdering. Hal ini tentu saja menjadi tanda tanya besar bagi
Tina. Doni juga kelihatan lesu setiap mengangkat telepon. “Bang, kenapa?” tanya
Tina saat keduanya tengah hendak tidur. Doni menggeleng sambil mencoba
tersenyum. Tapi senyuman itu terlihat sangat terpaksa dimata Tina.
Baca Juga: PESAN IBU#2
Tina mendekati Doni, lalu tanpa sengaja
tangan perempuan itu mengenai kening Doni. “Ya Allah bang, panasnya tinggi
banget!” Sontak Tina langsung duduk. Rasa khawatirnya seketika muncul. “Nggak
apa-apa dek. Paling besok juga sembuh.”
“Kita harus ke rumah sakit malam ini!
Panas abang tinggi banget! Pantes bibir abang juga pucat.” Tina menarik tangan
Doni agar segera bangun. Awalnya Doni menolak, tapi setelah dibujuk, akhirnya
mereka pergi kerumah sakit.
***
“Pak Doni types bu. Harus dirawat inap
untuk proses penyembuhan,” ujar Dokter Rega. Tina tertegun. Ini kali pertama
dirinya harus mengurusi semuanya, mulai dari administrasi dan lain sebagainya.
Biasanya sejak ia kecil, ibu dan ayahnya mengurusi semua untuk dirinya. Saat
Tina bersuami, suaminya lah yang mengurusi segala hal terkait dirinya.
Kini Tina diharuskan mengambil
keputusan, padahal ia sendiri ragu akan keputusan-keputusannya. “Gimana, bu?
Bersedia rawat inap?”
“Eh. Oh oke baik dok,”
“Oke bu. Setelah semua administrasi
selesai, Pak Doni akan segera dipindahkan keruang rawat inap. Kalau begitu,
saya permisi dulu bu,” kata Dokter Rega sembari berlalu meninggalkan ruang UGD.
“Dek, mending rawat dirumah aja. Abang
nggak papa kok.”
“Dirumah sakit aja bang. Jangan bandel
oke? Sekarang abang istirahat aja.” Tina mencoba tersenyum. Doni akhirnya
pasrah, lalu kemudian memejamkan matanya. Mencoba beristirahat sebentar hingga
dirinya mendapatkan kamar rawat inap.
“Bang, adek pulang sebentar ya? Mau
ngambil tikar dan baju ganti. Beli makanan juga,” kata Tina. Doni membuka mata,
lalu mengangguk pelan. “Adek bawa hape abang ya? Soalnya aplikasi gojek kan
adanya di hape abang. Kita kan kesini pakai gocar, mana bisa adek bawa mobil
kita,” Tina pura-pura tergelak atas leluconnya yang garing. Perempuan itu
mencoba mencairkan suasana. Doni hanya tersenyum tipis, lalu kemudian kembali
memejamkan matanya. Lelaki itu benar-benar tak ada energi hanya untuk sekedar
membalas candaan istrinya.
***
Setelah membuka pintu rumahnya, Tina
benar-benar tak sanggup lagi menahan isak tangisnya. Perempuan itu menyandar di
dinding, lalu terduduk. Tangis Tina benar-benar keluar hingga ia segukan.
Tina mencoba berdiri, lalu menatap seisi
rumahnya. Sepi. Doni tak disini. Tak lagi disisinya untuk sementara waktu.
Rumah ini terasa begitu sepi bagi Tina. Tina menatap ke meja makan, bayangan
sosok Doni hadir. Biasanya Doni duduk disitu sembari menyesap kopinya, lalu
kemudian meninggalkan gelas kopinya hingga dikerumuni semut. Tapi kini, untuk
beberapa hari kedepan, ia tak akan menemukan kejadian itu lagi.
Atau kejadian saat Doni tak meletakkan
handuk pada tempatnya. Semua kejadian yang pernah mereka alami dirumah itu
silih berganti hadir dibenak Tina, membuat tangis Tina semakin pecah. Lalu
kemudian, bayangan Doni berganti dengan bayangan kejadian tadi saat dirinya di
gocar.
“Hallo,
ini siapa?” tanya Tina lewat telpon seluler suaminya. Pasalnya, nomor telepon
yang masuk itu tak bernama. “Halo buk, tolong bilang Pak Doni untuk segera
melunasi hutangnya! Kami sudah memberi waktu seminggu. Tidak ada toleransi lagi
atau mobil itu akan disita! Tuut tuuut.” Sambungan telepon itu terputus.
Tina
terdiam. Pandangannya nanar. Perempuan itu mencoba mencerna semua kejadian yang
baru saja terjadi padanya. Belum sempat, Tina menenangkan dirinya, telpon dari
nomor lain yang tak bernama lagi-lagi berbunyi. “Halo pak Doni. Ini kami dari
pinjaman online. Bunga bapak sudah 500 juta, segera dilunasi! Tuut.” Telepon
kembali dimatikan.
Baca Juga: PESAN IBU #1
Isak tangis Tina kembali menggema. “Adek
nggak butuh mobil baru. Adek nggak butuh baju baru dan lainnya. Adek Cuma butuh
abang. Adek butuh abang!” ujar Tina disela isak tangisnya. “Maafin adek. Ga
usah minjam online. Ga usah abang. Maafin adek.”
“MAAF ABANG!” Tina berteriak. Sebuah
tangan memegang pundak Tina, membuat Tina dengan matanya yang bengkak menoleh.
“ABANG?”
“Abang kenapa dirumah? Abang kan harus
istirahat dirumah sakit!” Tina menatap Doni khawatir. “Apa sih dek?” Doni
menatap Tina tak mengerti. Tina berjalan menuju garasi. “JUAL SAJA MOBILNYA
BANG. JUAL SAJA!” teriak Tina setengah frustasi. Doni mengikuti langkah Tina
dengan tatapan bingung.
“Mobil apa sih dek?”
“Mobil yang abang beli seminggu lalu
lah. Adek ga butuh mobil itu. Ga butuh!” Tina semakin terisak. Doni semakin
bingung, lalu kemudian menarik tangan Tina. “Hey tenang. Adek kenapa? Mobil apa
sayang? Tatap mata abang, mobil apa?”
Tina menatap mata Doni, lalu kemudian
melepaskan tangan Doni. Perempuan itu setengah berlari menuju garasi. Nihil.
Tak ada mobil apapun disana. Hanya ada honda revo butut milik Doni. Tina
tertegun, lalu kemudian mencubit pipinya sendiri. Sakit.
“Jadi abang nggak beli mobil? Nggak
masuk rumah sakit?”
“Adek mimpi ya? Makanya jangan tidur
magrib-magrib! Sholat magrib sana. Ini tadi pulang kantor abang belikan pisang
coklat kesukaan adek,” kata Doni sambil memperlihatkan kantong plastik hitam
berisi sekotak pisang coklat. Tina langsung memeluk Doni. Gadis itu
terisak-isak. “Adek mimpi tapi rasa nyata. Adek takut. Maafin adek bang.
Maafin.”
“Maafin juga soal tadi pagi ya sayang. I
love you.”
Apa
ini peringatan dari Tuhan agar aku bisa belajar jadi lebih baik lagi? Bahwa dia
ternyata sangat sangat berharga di dalam hidupku.
***
Hari ini Tina memaksa diri untuk bangun
lebih awal. Gadis itu menyiapkan semua keperluan Doni untuk kekantor, termasuk
memasak. Walau hanya telur ceplok. Mendengar grasak grusuk, Doni terbangun,
lalu menatap sosok Tina yang sedang menyetrika baju.
“Adek ngapain?” tanya Doni. Tina
berbalik menatap Doni, lalu kemudian tersenyum. “Nyetrika baju abang loh.
Buruan bangun. Telor ceplok udah ada tuh di meja makan,” kata Tina, lalu
kembali berfokus pada setrikaannya. Doni buru-buru bangun, lalu kemudian
mendekati Tina dan memegang kening perempuan itu. “Adek sehat-sehat aja kan?
Demam apa gimana?”
Tina menepis tangan Doni dari keningnya.
“Ih kesel lah. Pas lagi malas, abang marah. Pas adek rajin, abang bilang
demam,” ujar Tian bersungut. Perempuan itu pura-pura kesal. Doni tertawa, lalu
kemudian berujar. “Makasih sayang, i love you! Abang mandi dulu ya.” Doni
berlalu menuju kamar mandi. Selesai mandi, seperti biasa, Doni meletakkan
begitu saja handuknya di atas tempat tidur.
“Sayang, handuknya,” ujar Tina lembut.
Doni terkekeh, lalu buru-buru meletakkan handuk tersebut pada tempatnya.
***
Jam menunjukkan pukul sembilan pagi,
Tina membuka pintu rumahnya sembari bergegas menuju gerobak sayur yang sudah
mangkal di depan rumahnya. “Wah tetangga baru ya? Nggak pernah keliatan keluar
rumah,” si abang penjual sayur menyapa ramah. Tina tersenyum. “Udah sekitar
tiga bulanan ini, bang. Iya, ini baru belajar masak.”
“Bagus tuh. Perempuan memang harus bisa
masak. Hal itu yang akan dirindukan oleh anak-anakmu kelak saat mereka jauh
dari ibunya,” seorang perempuan separuh baya berujar sembari tersenyum. Tina
tertegun. Kata-kata perempuan itu sama persis seperti yang dulu pernah
diucapkan almarhum ibunya.
“Kenapa
sih ibu selalu memaksa aku belajar masak?” Tina bersungut sembari memotong
bawang. “Perempuan memang harus bisa masak. Hal itu yang akan dirindukan oleh
anak-anakmu kelak saat mereka jauh dari ibunya,”kata ibu.
“Salah satu cara membuat laki-laki itu
bertahan denganmu melalui perutnya,” kata ibu itu lagi membuat bayangan masa
lalu Tina terhenti. Tina tersenyum, “Iya bu.”
Si ibu yang bernama Ratna itu kemudian
balas tersenyum. Kalau dia senyum gini
kan manis, beda banget saat ketemu di bus waktu itu. “Jadi Tina mau masak
apa hari ini?” tanya Ratna. Tina tampak terkejut, lalu buru-buru menutupi keterkejutannya
sembari berujar, “ibu tau nama saya?”
Ratna tertawa. “Tentu saja. Bahkan aku
sudah sangat mengenalmu.”
Tina tertegun. Entah kenapa kata-kata
Ratna barusan membuat Tina merinding, lalu kemudian Tina mencoba tertawa. Ah mungkin ibu ini hanya bercanda. “Masak
apa Ina hari ini?” Ratna mengulang pertanyaannya, tapi kali ini dengan
panggilan Ina, bukan Tina. Lagi-lagi Tina tertegun. Hanya ibunya yang
memanggilnya Ina. Tina buru-buru menepis segala pikiran negatif dari benaknya
“Mau belajar bikin sup dulu bu,” kata
Tina. Ratna tersenyum, lalu mengambil bumbu sup dari abrofood dan
mengulurkannya pada Tina. “Pakai bumbu ini aja biar enak. Ayo buruan
belanjanya, nanti ibu ajarin masak sup.”
Tatapan Tina berbinar saat mendengar
ucapan Ratna. “Oke siap bu.”
Bersambung...
0 komentar: