Tentang Mimpi #2

19.35 muthihaura 0 Comments


2
“Disaat satu pintu tertutup, masih ada pintu lain yang terbuka. Selalulah optimis!”

            Kafta masih asik berkutat dengan gitarnya. Senandung lirih nan merdu keluar dari bibir mungil gadis itu. Sesekali ujung mata gadis itu melirik jalanan kota Tokyo yang tak pernah sepi. Lampu-lampu malam berkelap-kelip dan bangunan besar berdiri seolah menantang dengan begitu megahnya.
            “Sumpah gue kesel banget!” Seorang lelaki ganteng berkulit sawo matang memasuki kamar Kafta dan merebahkan tubuhnya ke shofa. Kafta menatap sekilas, lalu kembali asik dengan gitarnya. “Kaf? Lo dengerin gue nggak sih?”

Baca Juga: TENTANG MIMPI #1

            Kafta seolah tak acuh. Ia makin memperbesar suaranya dan mencoba hanyut dalam lagu yang tengah disenandungkannya. “Hooi!” Lelaki ganteng itu melempar boneka Hello kitty yang berada didekatnya.
            Kafta menoleh. Merasa terganggu. “Bisa nggak sih lo sehari aja nggak ganggu gue?” Kafta sewot.  “Kaf! Gue itu bakal dikuliahin ke Indonesia. Di Jakarata! Apa lo nggak sedih?”
            “Bagus dong. Setidaknya gue nggak perlu ketemu lo tiap hari dirumah.” jawab Kafta asal. Fian memandangi adiknya dengan tatapan kesal. Dengan menggerutu, Fian meninggalkan Kafta. “Nggak ngerti banget lo, dek!” 


Kafta memandangi kepergian Fian dengan tatapan sedih. Sebenarnya gadis itu menyimpan kesedihan. Tadi malam Kafta sudah mendengar pertengkaran Rio dan Fian. Kafta menghela nafas, lalu kemudian beralih memandangi gitarnya. Gue sedih harus pisah sama lo untuk yang kedua kalinya kak. Tapi kita bisa apa? Lo kan tau kalau gue sangat sayang sama lo.  
Gue tau kehilangan ini begitu menyakitkan, walaupun kehilangan yang hanya untuk sementara waktu. Jemari gadis itu kembali memain-mainkan senar gitar sehingga menciptakan melodi yang indah didengar.
            “Jaga diri lo baik-baik ya kak!” ujar Kafta disela-sela nada yang ia ciptakan. 
*@@@*
Nasya menatap form pendaftaran SBMPTN ditangannya. Entah kenapa gundah itu kembali muncul. Nasya memperhatikan orang-orang yang berlalu lalang disekitarnya dan kemudian menghela nafas pelan. 

Pengumuman kelulusan dan pengumuman SNMPTN udah sejak sebulan yang lalu. Teman-temannya sibuk memilih perguruan tinggi yang mereka minati saat diakhir ia dan teman-temannya duduk dikelas 12. Rata-rata mereka ingin berkuliah di Universitas favorit seperti UI, UNPAD, UGM, ITB, dan IPB.

“Aku mau ngecoba kedokteran UI nih.”
“Aku ilmu komunikasi di UNPAD aja.” Dan pertanyaan sejenis itu pun bermunculan dari mulut teman-temannya. Nasya yang berada diantara rombongannya itu hanya diam.
“Sya? Kamu masuk mana?” Ica teman sebangkunya memandangi Nasya. Teman-teman yang lain pun ikut memandanginya. “Ehm. Belum kepikiran.” Jawab Nasya sekenanya.
“Belum kepikiran? Astaga Sya! Kalau jurusan?”
“Belum tau.”


Nasya menghalau sedikit percakapan itu dari benaknya. Gadis itu memejamkan mata sembari mencoba merasakan semilir angin yang menyapu lembut rambut ikal yang dibalut dengan bando pink gadis itu.
Masuk kuliah? Tentu saja aku berminat, tapi apa aku mampu? Dulu aku juga bercita-cita bisa kuliah ke universitas-universitas ternama, tapi semua itu harus pupus disebabkan oleh berbagai ketidakmungkinan yang ada.
Hidup memang tak mudah. Terkadang dalam sebuah impian, ada salah satu yang harus dikorbankan. Nasya membatin. Wajah seorang wanita setengah baya mampir dibenaknya dan seolah menari dipikirannya. Lagi-lagi perasaannya terasa sesak. 

“Bunda, Nasya kangen.” Ujarnya lirih. Selirih hembusan angin yang menyapa. Mata gadis itu sudah mulai memerah. Ditahannya tangisannya agar tak luruh. Kamu kuat Sya! Bisiknya.
Nasya menatap form pendaftaran itu dan diraihnya pena dari dalam tas sandangnya. Dengan tekad bulat, gadis itu menuliskan Universitas Harapan  sebagai pilihan universitasnya dengan jurusan ilmu komunikasi. Sebenarnya Nasya tak sepenuhnya yakin dengan pilihan jurusan yang ia pilih.
Komunikasi? Bukankah anak komunikasi itu adalah anak yang pandai berkomunikasi atau lebih tepatnya anak yang pandai berbicara dengan lugas dihadapan umum? Sedangkan Nasya sangat sadar bahwa ia adalah anak yang pemalu, bahkan mungkin penakut. 

Apa pun yang terjadi nanti, semoga itu pilihan yang terbaik dari-Mu Ya Allah. Yang pasti aku akan jadi yang terbaik disana. Ajarkan aku untuk percaya dengan semua rencana-Mu.
*@muthi*
Fian memasukan semua pakainnya kedalam koper dengan tergesa-gesa. Tak dipedulikannya baju-bajunya akan menjadi kusut. Dari dulu Papa nggak pernah berubah. Selalu memperlakukan gue dan Kafta seperti bonekanya. Oke, gue bakal turutin permainan Papa dan buat dia malu. Gue nggak akan pernah serius belajar Ekonomi itu.
“Mau kemana kamu?” Tari berdiri diambang pintu sembari berkacak pinggang. Persis seperti majikan yang hendak memarahi pembantunya. Fian menatap Tari sekilas, lalu kembali terfokus dengan pekerjaannya. “Kamu nggak dengerin Mama ya?” tanya Tari lagi yang merasa dicueki.

“Bukannya papa nyuruh aku ke Jakarta? Kuliah kan?” jawab Fian enteng. “Secepat ini?” Fian menoleh kearah mamanya sembari berharap mamanya berubah pikiran dan membujuk papanya agar ia tak jadi pindah ke Indonesia. Namun nyatanya itu hanya harapan kosong.
“Ma, Fi itu udah gede. Bukan anak kecil lagi.” jawab Fian tak nyambung. Fian menghela nafas pelan. Lelaki ganteng berkulit sawo matang dengan tinggi 166 cm itu merebahkan tubuhnya diatas tempat tidur. Mencoba melepas sedikit penat disana.
“Semua ini demi kebaikan kamu Fi! Suatu hari nanti kamu akan mengerti.” Kata Tari sambil berlalu meninggalkan Fian. Fian menoleh memandangi kepergian mamanya dan detik berikutnya lelaki berusia dua puluh tahun itu menatap langit-langit kamarnya.

Fian menghela nafas pelan. Shit! Sampai kapan hidup gue kaya gini? Fian tersenyum getir. Menentang Papa? Trus kabur? Agh enggak-enggak. Bisa-bisa Papa kena serangan jantung lagi. Gini-gini gue bukan anak durhaka kok.

Baca Artikel Populer Lainnya

0 komentar: