Tentang Mimpi #3

10.02 muthihaura 0 Comments


3
“Allah have a best plan for us. Percaya dan yakinlah.”

Adzan Isya berkumandang dengan merdunya, membuat siapa saja yang mendengarkannya merinding. Nasya tertegun, lalu kemudian memberikan senyum khasnya pada Al. “Dek, udah adzan. Sholat dulu yuk? Allah udah manggil kita tuh.”
            “Bentar lagi nih kak. Nanggung belajar membacanya.” Al protes sambil memegang buku belajar membaca ABC-nya. Nasya membelai lembut rambut Al.

            “Nanti aja disambung. Kan udah adzan tuh. Al, kalau ibu guru manggil, Al cepet nggak datang ke ibu guru?” tanya Nasya. Al memandang dengan tatapan tak mengerti. “Cepet. Kalau nggak nanti ibu guru marahlah kakak.”
            “Nah gitu juga Allah dek. Masa Allah manggil, kita malah nggak datang cepat kan? Emang mau Allah marah?” Entah untuk yang keberapa kalinya Nasya tersenyum tulus kearah sang adik. Al tampak tengah berfikir. Bocah kecil itu seakan mencoba mencerna setiap kata-kata yang diucapkan oleh sang kakak.

suara adzan
source: pixabay


            “Iya sih kak. Ya udah, ayo sholat!” Al bersemangat sembari menaruh buku membacanya diatas meja. Nasya tersenyum melihat tingkah polah adik kesayangannya itu, lalu kemudian berdiri dengan agak kesusahan. Nasya mengikuti Al menuju WC dengan kaki pincangnya.
*@@@*
            Kafta berdiri diambang pintu kamar Fian. Menatap kamar itu dengan penghuninya yang tengah terlelap puas. Sebuah boneka toru-toru bonzu bergelantungan dijendela kamar Fian. Gadis itu melangkahkan kakinya masuk, lalu kemudian meneliti wajah sang kakak. 

Baca Juga: TENTANG MIMPI #1

“Kak Fi! Gue pasti bakal kesepian disini. Enggak ada lo lagi. Bokap-nyokap juga pasti sibuk banget dengan kerjaan mereka.” Kafta membelai lembut rambut Fian. Walau bagaimana pun, Fian itu kakaknya dan ia sangat menyayangi Fian. Baginya, Fian segalanya.
Gadis berambut kecoklatan itu menghembuskan nafas berat. Menatap kesekeliling kamar yang sebentar lagi akan kosong tak berpenghuni. Kalau lo pergi, gue sama siapa entar? Gue pasti bakal kesepian banget. Kenapa sih kita harus dipisah untuk yang kedua kalinya? Bulir-bulir air mata jatuh dengan lembut dipipi ranum Kafta. 

Entah kenapa, ia merasa sangat takut kehilangan Fian. Ujung mata gadis itu menatap lekat-lekat suasana kamar Fian. Merasakan atmosfir kamar itu dan kemudian beranjak pergi.
Fian membuka matanya sembari menatap kepergian Kafta. Ada rasa kehilangan yang ia rasakan. Walau bagaimana pun, Kafta adalah adik satu-satunya. Mereka terpaut usia dua tahun, tapi tetep saja mereka sangat dekat—dulu. Dulu sebelum kedua orang tuanya tergila-gila dengan harta dan kedudukan seperti sekarang.

Baca Juga: TENTANG MIMPI #2


“Kak Fi. Bulannya keren ya. Aku suka deh. Besal!” Kafta kecil menunjuk langit malam dengan wajah kegirangan. Tawa gadis mungil itu membahana. Fian yang tengah asik dengan pesawat terbangnya menoleh kearah yang ditunjuk Kafta.
“Besal? Besar tau! Ngomong masih cadel gitu. Lap tuh ingus dulu.” Fian meledek Kafta. Membuat gadis mungil itu memukul bahu sang abang dan memanyunkan bibirnya.
“Fi? Kok gitu sama    Kafta sih?” Tari mengelus lembut rambut Kafta. Fian terkekeh pelan, lalu kemudian menatap langit malam. “Kerenan juga bintang kan, Ma?” Fian meminta persetujuan Tari. 


Tari memandangi kedua buah hatinya, lalu menoleh kearah langit malam. Suasana taman belakang rumah mereka dimalam hari memang sangat indah.
“Ma? Belapa sih jumlah bintang dilangit?” tanya Kafta polos. Gadis mungil berambut kecoklatan itu menyandarkan tubuh kecilnya ketubuh sang mama. Tari memicing pelan sembari mencoba mencari jawaban yang pas.
“Jumlah bintang dilangit itu banyak Ta, sebanyak helain rambut kamu. Coba deh kamu hitung setiap helain rambut kamu.” Kafta menatap Tari, lalu kemudian mulai menghitung tiap helain rambutnya. Menghitung dan terus menghitung hingga gadis mungil itu tertidur dipangkuan Tari.
Fian tertawa melihat tingkah Kafta. “Polos banget. Mama nih bisa aja.” Tari  ikutan tertawa, lalu mengelus rambut Fian.


Fian menghalau setiap bayangan itu. Bayangan saat dulu ia dan keluarganya masih tinggal di Jakarta. Momen-momen seperti itu adalah momen yang sangat dirindukannya. Momen yang saat ini tak akan pernah kembali lagi disebabkan keadaan keluarganya sudah tak sama seperti dulu.
 Lelaki ganteng berkulit sawo matang itu menghela nafas pelan.  Entah kenapa rasa rindu itu menguak dalam ingatannya. Rasa rindu terhadap keluarganya dulu. Sebelum semuanya berubah seperti sekarang.
*@@@*
Nasya menutup novel bacaannya sembari menghela nafas pelan. Disenderkannya tubuhnya pada kursi taman. Ya, saat ini gadis bertubuh mungil itu tengah berada ditaman kota. Taman yang memiliki berjuta kenangan dalam hidupnya. 

Kadang aku pengen banget nyerah dalam hidup ini. Rasanya capek kaya gini terus. Di pandang remeh, dihina, diacuhkan adalah hal-hal yang udah sering aku alami. Aku nggak bisa terus-terusan kuat dengan semua ini. Akan tiba saatnya dimana aku benar-benar akan merasa lelah. Nasya membatin. Tatapan gadis itu terarah pada langit biru. Semua bayangan masa lalu seakan menghampirinya. Bayangan yang terus saja mencekam gadis itu.

Atar menatap Nasya dengan pandangan jijik. Gadis itu sama sekali tak tau apa salahnya terhadap Atar. “Awas wooi, ada virus. Uweeek!” Atar menutup mulutnya dengan telapak tangan. Ekspresi cowok itu seperti ingin muntah. Teman-teman Atar semuanya menjauh seakan Nasya emang sampah yang harus dijauhi.
Nasya menatap Atar, lalu kemudian berjalan terpincang-pincang dengan menundukkan kepala. Hati gadis berbaju putih biru itu terluka. Ah, bahkan mungkin luka itu sudah menganga lebar. 

“Uwwek! Iiih. Hati-hati woi!” Teriakan salah seorang teman Atar masih terdengar. Mereka berjalan menjauhi Nasya padahal sedikit pun gadis itu tak berniat mendekati mereka. Nasya hanya menunduk. Menyimpan luka itu rapat-rapat.

Nasya menghalau bayangan masa lalunya. Masa lalu disaat dirinya masih duduk dibangku SMP. Masih duduk dibangku putih biru. Andai saja ada mesin penghapus kenangan, Nasya ingin tak pernah mengingat kenangan itu lagi. Ia ingin melenyapkan kenangan itu, bahkan orang-orang didalamnya sekalian. 

“Tiga tahun udah berlalu, tapi rasa sakit itu masih menganga lebar. Aku manusia biasa yang punya hati. Yang bakal ‘sakit’ kalau disakitin. Yang bakal nangis kalau semua itu emang terasa nyesek dihati aku.” ujar Nasya pelan. Disusutnya lelehan air mata yang tanpa sadar menetes.
Atar. Ah, sampai saat ini pun aku masih bertanya-tanya apa salah aku ke kamu. Sebegitu besarkah hingga kamu begitu membenciku? Apa aku sebegitu menjijikkannya? Aku bukan sampah yang bisa seenaknya kalian perlakukan begitu. Aku punya hati dan kini hati itu masih terluka. Aku nggak tau cara mengobatinya. Lagi-lagi lelehan bening membasahi pipi putih gadis itu.
Aku janji kalau aku akan sukses. Aku ingin buktikan pada kalian bahwa aku bukan nothing! Aku janji. Ada saatnya nanti dimana aku yang akan menertawakan kalian!

Nasya menghapus setiap tetes air matanya. Luka yang mengenai hati itu emang lebih sulit dilupakan ketimbang luka yang menggores dibadan. Gadis itu merapikan rambutnya, lalu kemudian melirik jam tangan yang menempel indah dipergelangan tangan kirinya.
 Nasya berguman pelan. Dimasukkannya novel itu dan Nasya berjalan dengan terpincang-pincang meninggalkan bangku taman. Beberapa orang memperhatikannya. Menatapnya dengan tatapan yang sangat sulit diartikan dan ia benci dengan tatapan seperti itu.
*@@@*
“Pa?” Fian menghampiri Rio yang tengah berkutat dengan laptopnya. Lelaki separuh baya itu menyeduh kopinya, lalu kemudian menatap Fian sekilas. Hanya sekilas! “Pa?” Fian mengulangi panggilannya sambil berharap sang papa menatapnya dengan durasi yang lama.
“Keputusan Papa sudah bulat, Fian. Papa Cuma berharap kamu bisa belajar banyak di Indonesia.” Jawab Rio seakan mengetahui apa yang akan dibicarakan oleh anak lelakinya itu. Fian mendengus kesal sembari menatap geram kearah Rio.

“Pa, come on! Aku masih bisa kuliah disini kan bareng Kafta? Ngapain harus jauh-jauh ke Indonesia?”  ujar Fian setengah memohon. “Kalau kamu tetep disini, kamu akan semakin terpengaruh dengan teman-teman kamu yang nggak benar itu!”
Fian menghela nafas kesal. “Nggak benar gimana sih Pa? Please! Aku udah 20 tahun lho, bukan anak kecil. Aku bisa nentuin mana yang baik buat aku sendiri.”
“Fian! Saya lagi sangat sibuk. Tolong tinggalkan saya.” Suara Rio naik beberapa oktaf. Lagi-lagi entah untuk keberapa kalinya Fian mendengus kesal sembari berlalu meninggalkan Rio.
  Rio menatap kepergian Fian sembari menghela nafas pelan. Digeleng-gelengkannya kepalanya melihat tingkah anak lelakinya itu. Fian melangkahkan kakinya keluar rumah. Distarternya motor FU hitam-nya dan motor itu pun membelah jalanan kota Tokyo yang tak pernah sepi. 

Fian membawa motornya dengan kencang. Menyalip motor lain bahkan mobil sehingga membuat pengendara lain mengumpati tindakannya itu. Menerobos lampu merah.  Fian sama sekali tak peduli, satu-satunya yang ia pedulikan hanyalah kepuasan pribadinya untuk menuntaskan segala rasa kekesalan yang berkecamuk didalam dirinya.
Kalau pun gue mati, nggak kan ada yang peduli kan? Fian kembali menggas motornya dengan kecepatan super tinggi. Jaket levisnya berkibar tertiup angin.

Baca Artikel Populer Lainnya

0 komentar: