Tentang Mimpi #4
4
“Mimpi adalah
awal kesuksesan,maka rancanglah mimpimu. Hidup ini bukan let it flow. Kehidupan
yang tidak dirancang akan membuatmu sulit menggapai kesuksesan.”
Malam semakin merangkak naik seakan
tak peduli akan sekitarnya. Nasya tengah berbaring diatas kasurnya. Mata gadis
itu tak jua ingin terpejam. Entah apa yang tengah ada dipikiran gadis berusia
tujuh belas tahun itu. Nasya menatap langit-langit kamarnya dengan tatapan
kosong. Bayangan wajah seorang wanita yang sangat disayanginya lagi-lagi
muncul.
“Bunda. Nasya kangen Bunda. Bunda
gimana kabarnya? Semoga baik-baik aja ya? Nasya janji bakal jagain ayah dan
adik-adik.” Nasya menatap photo wanita separuh baya yang dipanggilnya Bunda.
Baca Juga: TENTANG MIMPI #1
“Bunda.
Jangan tinggalin Nasya Bun. Kami masih butuh Bunda. Bunda bangun!” Nasya menangis
saat melihat jasad wanita yang sangat disayanginya terbujur kaku. Lagi-lagi
hidup mempermainkan gadis itu dengan mengambil orang yang teramat disayanginya.
Para
tetangga dan keluarga mencoba menenangkan Nasya. Lita juga menangis disamping
Nasya, sedangkan Al yang masih TK sama sekali tak mengerti apa yang tengah
terjadi. Nasya menyusut air matanya, diraihnya tubuh Al dan dipeluknya erat.
Air mata gadis itu terus saja turun.
“Bunda,
maafin Nasya yang belum bisa bahagiain Bunda. Maafin Nasya yang sering banget
nyakitin Bunda. Maafin Nasya Bunda.” Tubuh Nasya berguncang. Al menatap Nasya,
lalu bocah kecil itu menghapus air mata yang jatuh dipipi Nasya.
“Kak
Sya kenapa nangis? Jangan nangis, Bunda udah di sulga.” Ucap Al polos.
Mendengar ucapan polos Al, Nasya tersenyum hambar dan kemudian kembali
menangis.
Baca Juga : TENTANG MIMPI #2
Nasya tersentak. Kejadian masa lalu
terus saja mampu memenuhi ruang otaknya. Menyedot semua perhatiannya. “Allah
sayang bunda, makanya Allah ngambil bunda biar bunda nggak ngerasain sakit
terlalu lama.” Nasya mencoba menenangkan hatinya, tapi kata-katanya barusan
membuatnya kembali meneteskan air mata.
Iya,
Allah sayang bunda. Aku harus kuat kaya bunda. Aku harus sukses biar bikin
bunda dan ayah bangga. Aku janji!
Akh!
Dan pada akhirnya penyakit itu telah merenggut bunda. Merenggut bunda dari
kehidupanku. Bunda bukan dikalahkan penyakit itu, hanya saja mengalah. Bunda
wanita yang kuat dan bunda adalah insfirasiku untuk terus bangkit.
Nasya bangun dari tidurnya. Semua
kejadian masa lalu berputar silih berganti bak tayangan layar lebar. “Pas
kuliah ini aku harus berubah. Aku harus sukses. Aku harus terkenal dan bisa
membuktikan ke orang-orang yang udah ngeremehin aku kalau aku ini bukan nol.
Yah, aku capek diremehin terus. Aku harus sukses untuk orang-orang yang aku
sayang!” ucap Nasya pelan namun dengan keyakinan yang kuat.
“Aku harus sukses! Aku harus
buktikan kemereka!” Nasya meraih sebuah buku kosong dan sebuah pena. Lama
ditatapnya buku itu, lalu kemudian dituliskannya ‘Dreams note’ dihalaman
pertama buku bersampul hijau itu.
Buku ini akan menjadi
saksi perjalanan hidupku. Tentang mimpi-mimpi yang dengan segenap jiwa dan
tetesan keringat akan kuraih. Aku akan buktikan kemeraka bahwa aku bukan ‘nol’!
Mungkin sekarang aku nobody, tapi nanti aku janji akan menjadi somebody.
Mungkin sekarang aku zero, tapi nanti aku hero.
“Aku harus sukses.” Nasya mulai
menuliskan mimpi-mimpinya dibuku itu.
Bismillah. Kutuliskan dibuku ini
mimpi-mimpiku Ya Allah. Semoga mimpi-mimpi ini dapat terwujud dengan keyakinan,
usaha, plus do’a yang selalu ku haturkan. Aku sadar kalau aku bukan siapa-siapa
didunia ini, tapi aku janji untuk ngebungkam orang-orang yang pernah nyakitin
perasaanku dan perasaan orang-orang yang aku sayang. Ini dia mimpi-mimpiku.
Mimpi seorang Nasya Talitha Azalia :
1.
Aku
ingin menjadi penulis. Penulis yang menginsfirasi banyak orang. Penulis yang
karyanya selalu dinanti-nanti. Penulis yang diundang untuk mengisi talkshow
atau bedah buku, sehingga aku bisa
keliling dunia dengan hanya menulis. Penulis yang punya banyak uang,
sehingga aku bisa menyekolahkan kedua adikku dan membahagiakan ayahku. Cara
yang harus aku tempuh adalah dengan menyempatkan untuk menulis minimal sehari
dua halaman dan kalau ada waktu luang, isi dengan kegiatan menulis.
![]() |
source: pixabay |
2.
Nanti
pas kuliah punya IP dan IPK yang tinggi. Aku orangnya pemalu dan pas kuliah
nanti aku harus aktif dikelas. Mengerjakan tugas dari dosen dengan
sebaik-baiknya. Pokoknya ubah mindset dan cara belajar! Membaca juga adalah hal
yang dibutuhkan.
3.
Pas
kuliah aktif di organisasi. Dari dulu aku suka banget dengerin radio, bahkan
pengen nyoba jadi penyiar radio. Menurut aku jadi penyiar itu asik dan keren.
Nanti kalau udah kuliah, aku pengen gabung dengan organisasi radio.
4.
Nanti
pas kuliah harus bisa nyari uang semesteran sendiri supaya bisa bayar uang
kuliah sendiri. Aku sadar kalau aku bukan terlahir dari keluarga kaya, makanya
aku harus berjuang untuk membantu keuangan keluarga. Nanti mau jualan aja.
Jualan pulsa atau jualan lainnya.
Nasya
menatap empat impian itu. Empat impian yang menurutnya sudah mencakup
impian-impian lainnya. Sekali lagi dibacanya setiap tulisan yang torehkan
dilembaran buku dreams note itu.
Gadis
itu tersenyum, lalu kemudian ia baringkan tubuhnya diatas tempat tidur dengan
menggenggam buku bersampul hijau itu. Aku
akan berusaha! Aku janji. Semua ini aku lakuin untuk ayah, untuk almarhumah
bunda, untuk adik-adik, dan untuk pembuktian kepada mereka yang pernah
meremehkanku
“Aku
harus sukses! Ya Allah izinkan aku untuk sukses semuda mungkin, agar aku bisa
mencetak senyum diwajah orang-orang yang aku sayang dan membungkam mulut orang
yang pernah nyakitin perasaan aku.”
*@@@*
Atar
memain-mainkan senar gitarnya dengan nada absurd. Suara sumbang dari nada gitar
itu memenuhi ruang kamar lelaki itu. Dengan dengusan kesal, lelaki blasteran
Sunda-Arab itu meletakkan gitarnya. Atar meraih hp-nya. Sebuah SMS masuk
membuat lelaki itu tersenyum membacanya.
From : My Hello Kitty
Sayang,
lagi apa? Kangen ({})
Sama sekali Atar tak berniat
membalasnya. Bukan nggak peduli, hanya saja lelaki itu kurang suka bersms-an
ria. Bayangan wajah seorang gadis muncul dibenaknya, membuat senyum terukir
dibibir lelaki itu. Gadis yang hampir membuatnya setengah gila dan gadis itu
sangat mencintai hello kitty, karna itu Atar memanggilnya Kitty.
“Eh,
lo tau nggak kalau disini tempat parkir khusus untuk gue? Cepat pinggirin motor
lo!” Atar berdiri sembari berkacak pinggang. Dihadapannya seorang gadis dengan
jepitan biru dirambutnya juga ikut-ikutan berkacak pinggang dengan wajah dibuat
kesal. Tapi kekesalan diwajah gadis itu malah menambah keimutannya.
“Heh!
Lo pikir ini sekolah nenek moyang lo apa? Gue mau parkir disini ya suka-suka
gue dong!” Dengus gadis itu dengan berani. Seolah tak takut dengan keberadaan
Atar. Atar menyipitkan matanya sambil menatap gadis itu dari atas sampai bawah
dengan tatapan sinis.
“Lo anak baru ya?” tanya Atar masih dengan
pandangan sinisnya.
“Bukan
urusan lo!” Cewek itu berlalu dengan angkuhnya. “Sialan tu cewek! Berani banget
sama gue. Nggak tau siapa gue dia!” Atar memandangi kepergian cewek itu.
“Ahaha! Siapa tuh
cewek. Berani banget sama lo bro!” Rei yang melihat kejadian itu dari kejauhan
menghampiri Atar dengan tawa yang tersungging diwajahnya. “Eh diam lo atau
mulut lo gue bogem!”
“Weis,
santai bro! Masa gasgter sekolah kalah dengan satu orang cewek. Eh, itu cewek
cantik juga ya?” Rei kembali meledek Atar. Yang diledek menatap dengan tatapan
geram. Tangan Atar menempeleng kepala Rei, lalu Atar berlalu meninggalkan Rei.
Lagi-lagi cowok blasteran itu
tersenyum saat tayangan masa lalu menyapanya. Awal perkenalannya dengan si
Hello Kitty. Perkenalan yang bukan romantis. Hello Kitty adalah cewek kedua
yang mampu mengetuk pintu hati Atar dan memasukinya. Bahkan sampai saat ini
masih bermukim dihatinya. Atar meraih gitarnya. Memainkan senar gitar itu
dengan melodi yang indah.
“Kurasa ku sedang dimabuk cinta.
Nikmatnya kini ku dimabuk cinta. Dimabuk cin— Aish. Astaga! Kenapa gue jadi
alay gini?” Atar tersadar dengan nyanyiannya, lalu kemudian menggaruk-garuk
kepalanya yang tak gatal.
“Gara-gara lo sih Kitty! Gimana
kabar lo sekarang? Kangen banget gue. Entar gue sempetin deh nyuri waktu buat
nemuin lo.” Atar menatap sebuah photo diatas meja belajarnya. Lelaki itu
kemudian tersenyum.
Ia sama sekali tak menyangka bahwa
gadis yang dulu pernah jadi musuhnya itu adalah gadis yang ternyata berhasil
masuk kehatinya. Masuk dan mengunci hatinya hingga tak ada yang bisa mengetuk
hatinya lagi, bahkan untuk singgah pun tidak.
*@@@*
Fian mendorong kopernya keluar kamar
dengan setengah malas. Ekspresi lelaki itu susah digambarkan. Wajah sawo matang
plus keangkuhan yang tercetak jelas diwajah itu membuat siapa saja yang
melihatnya akan terpana.
Fian
memang ganteng, walau kulitnya sawo matang. Fian menoleh kekanan saat mendapati
Kafta tengah menatapnya. “Kenapa?” tanyanya ketus. “Lo mau kemana kak?” Kafta
memandang sang kakak dengan tatapan sedih. Ia tak bisa membohongi perasaannya
bahwa ia sangat kehilangan Fian.
Seselengean
apa pun seorang Fian, bagi Kafta, Fian tetap segalanya. Fian orang yang paling
mengerti dirinya. Fian orang yang selalu ada saat ia sedih. Sejak kecil,
Fianlah orang yang melindunginya. Memarahi siapa saja yang menyakitinya.
Memanjat pohon mangga untuknya. Bermain salju bersamanya. Fian adalah sosok
kakak yang sangat bertanggung jawab baginya.
“Kan gue disuruh ngungsi ke
Indonesia. Gimana sih lo? Lupa?” Fian masih terlihat ketus. Kafta memandangi Fian tepat dibola matanya.
Gadis itu mencoba mencari rasa sayang yang dulu ada untuknya dari bola mata
hitam itu. Kafta mendengus kesal saat apa yang dicarinya tidak ia temukan. Sebegitu berubahnya lo kak?
“Ngapain masih bengong disitu?
Mending masuk kamar sana!” Fian mengusir. Kafta menghela nafas pelan, lalu
melangkah menuju kamarnya. Gue bakal
ngerinduin lo kak. Gue kangen lo yang dulu. Apa keadaan keluarga kita emang
benar-benar udah berubah? Kenapa waktu begitu cepat ngerubah lo? Ngerubah
papa-mama? Kafta berguman didalam hati.
Fian memandangi kepergian Kafta. Ada
sedikit rasa bersalah didirinya. Maafin
gue dek. Gue sayang sama lo. “Jadi kamu pergi sekarang? Papa udah siapian
semuanya.” Rio menghentikan lamunan Fian. Fian tersentak, lalu menoleh kearah
sang papa.
“Lebih cepat lebih baik.” Ujar Fian
seadanya. Rio mengangguk, lalu mengulurkan tiket pesawat. Fian meraih tiket
pesawat itu. “Fi pergi dulu.” ucap Fian tanpa menoleh sedikit pun pada Rio.
Rio
menghela nafas sambil menatap kepergian anak laki-lakinya. Papa ngelakuin ini karna papa nggak mau kamu bergaul dengan teman kamu
yang nggak benar. Papa khawatir sama kamu. Kamu anak laki-laki Papa
satu-satunya. Kamu yang akan meneruskan perusahaan yang udah Papa rintis dari nol.
Fian
melangkah dengan ragu sambil berharap papa atau mamanya menahannya dan berubah
pikiran. Tapi harapan itu hanya tinggal harapan. Pada nyatanya baik papa atau
mamanya memang menginginkan dirinya pergi.
Sebegitu nggak berarti
gue dimata kalian Pa? Ma? Sampai-sampai kalian berniat ngirimin gue ketempat
nenek? Oke, gue turutin keinginan kalian. Gue bakal ke Indonesia. Gue bakal
masuk jurusan Ekonomi, tapi jangan harap
gue bakal serius kuliah.
Fian
melangkah keluar rumah. Sepasang mata memandangnya dari kejauhan. Sepasang mata
milik mamanya. Semoga Fi bisa sukses
disana ya sayang. Cuma itu harapan mama dan papa buat Fi.
0 komentar: