Tentang Mimpi #5

22.35 muthihaura 0 Comments

 

5

“Mimpi tanpa tindakan hanyalah kesia-siaan. Mimpi tanpa tindakan hanyalah bunga tidur. Maka bermimpi dan bertindaklah.”

 

Fian menggeliatkan tubuhnya. Sinar mentari membias melewati jendela kamarnya. “Fi. Bangun! Jam berapa ini?” Seorang wanita berusia 60 tahun menepuk-nepuk bahu Fian. Yang ditepuk malah masih asik menggeliat seolah tak peduli.

“FIAN!” Suara Puja meninggi. Fian membuka matanya dengan malas, lalu kemudian menatap sekitarnya dengan wajah dibuat selempeng mungkin. Puja berkacak pinggang, membuat kening lelaki berusia dua puluh tahun itu mengerut.

Shit! Ternyata semua ini nggak mimpi. Pada nyatanya gue emang udah ada di Indonesia. Di Jakarta! Dirumah nenek! Fian mengucek matanya, lalu kemudian melirik jam dinding. Fian mendengus.

“Apa sih, Nek? Masih juga jam delapan.” Keluh Fian. Puja menarik tangan Fian dan memandangi sang cucu dengan tatapan yang sulit diartikan. “Lelaki macam apa kamu ini? Ayo bangun, nanti rezeki kamu dipatok ayam.”

Fian menguap, lalu menarik tangannya dari pegangan Puja. Lelaki itu kembali menjatuhkan badannya kekasur dan menarik selimut sehingga menutupi badan bidangnya. Puja menggelengkan kepala. “Gini nih kalau terlalu dimanja.”

Puja berjalan dengan tertatih menuju WC. Meraih gayung dan mengisi penuh gayung itu dengan air. Dengan langkah pelan wanita berumur tua itu mendekati tempat tidur Fian dan langsung menumpahkan isi gayung itu tepat diwajah Fian. BYUUR! 


“ARRGGHHHT!” Fian gelagapan dan langsung terduduk dari tidurnya. “Nenek! What are you doing?” Fian berguman kesal sembari mengepalkan tinjunya. Seumur-umur baru kali ini lelaki itu diperlakukan seperti itu.

“Fi, ini rumah nenek, jadi tolong taati aturan disini. Sekarang cepat mandi dan sholat. Nenek tunggu dimeja makan!” ucap Puja tegas. Kerutan diwajah wanita itu semakin mempertegas ucapannya. Puja berjalan meninggalkan kamar Fian.

Lelaki berwajah manis itu berguman geram. What the hell. Gue bener-bener ada di neraka. Shit!  “Aaaght!” Fian membanting selimutnya kelantai dengan geram. Bisa-bisanya Papa ngirim gue kesini. Fian meremas rambutnya dengan geram dan kesal yang teramat sangat. Dengan langkah malas, lelaki itu meraih handuk dan berjalan kekamar mandi.

*@muthi*

Nasya berjalan terpincang-pincang menuju lantai dua pustaka wilayah. Orang-orang  yang berada disekelilingnya menatapnya dengan pandangan yang sulit diartikan. Beberapa orang bahkan jelas-jelas mencemoohnya. Nasya menghela nafas, mencoba menata hatinya kembali.

“Mau dibantuin mbak?” Seorang lelaki berseragam putih abu-abu mencoba menawarkan bantuannya. Entah tulus atau hanya ingin mencemooh Nasya. Lagi-lagi gadis berusia tujuh belas tahun itu menghela nafas.

Aah, aku paling benci diperlakukan seperti ini. Aku memang cacat, tapi bukan berarti aku nggak bisa ngelakuin semuanya sendiri! Hhh, sabar Sya! Nasya menggeleng kepada laki-laki itu.

 “Nggak usah. Thanks.” Ucap Nasya ketus. Sebenarnya Nasya tak ingin ketus, tapi ia tak bisa menahan nada suaranya. Lelaki itu mencibir sambil memperbaiki tasnya. Nasya buru-buru menaiki tangga. “Udah cacat, sombong lagi.” Samar-samar Nasya mendengar ucapan lelaki itu. Entah untuk keberapa kalinya, Nasya menghela nafas berat.

Nasya menaruh tasnya dibangku kosong tepat dipojok pustaka, lalu kemudian menuju rak-rak pustaka. Ditatapnya buku-buku itu sembari menghirup aromanya. Dari kecil gadis itu memang sangat menyukai buku-buku dan tenggelam dalam buku-buku adalah kenikmatan yang luar biasa baginya.

Berkali-kali tangan putih Nasya meraih sebuah buku, membalikkannya dan membaca sinopsis dibelakang buku. Tatapan gadis itu tertuju pada sebuh buku bersampul coklat dengan judul buku ‘Motivasi diri’.

 “Nah, buku kaya gitu yang aku cari.” kata Nasya girang. Tangan gadis itu terulur untuk meraih buku tersebut. Tepat disaat yang sama sebuah tangan juga tengah berusaha meraih buku bersampul coklat itu.

“Eeh. Sorry sorry.” Nasya meminta maaf saat tanpa sengaja tangan mereka beradu. Nasya menarik tangannya, lalu kemudian menatap lelaki disampingnya yang ternyata juga menginginkan buku yang sama. Alis lelaki itu bertaut.

“Lo mau baca buku ini? Ya udah duluan aja.” Lelaki itu mempersilahkan dengan sopan. Sebuah senyum manis tersungging dihadapan Nasya. Gadis itu terpana sesaat, lalu kemudian buru-buru menetralkan perasaannya.

“Nggak usah. Thanks.” Nasya berlalu meninggalkan lelaki berwajah ganteng itu. Lelaki itu hanya menatap Nasya dengan pandangan bingung, lalu seakan tak ambil pusing ditatapnya buku bersampul coklat ditangannya.   Lelaki ganteng yang mengenakan baju kaus berwarna biru itu tersenyum pelan. Senyum yang mampu meluluhkan hati siapa saja yang melihatnya.

Nasya duduk dibangku paling pojok pustaka. Membaca sebuah buku motivasi yang tak kalah keren dengan buku bersampul coklat tadi. Gadis itu menghela nafas pelan. Menenggelamkan diri dalam bacaan. Tanpa gadis itu sadari ada sepasang mata elang beralis tebal tengah menatapnya.

Sepasang mata itu milik Davi. Cowok yang tadi berebutan buku bersampul coklat dengan Nasya. Memang awalnya Davi sama sekali tak peduli, tapi tempat duduk Davi yang jaraknya tidak jauh dari Nasya membuat cowok itu mengamati Nasya. Entah kenapa ada sebuah ketertarikan disana.

Dia punya chemistry. Guman Davi.

*@muthiii*

Fian mengaduk nasi goreng dipiringnya tanpa selera. “Kenapa nggak dimakan, Fi?” Puja menegur sembari menyuapkan sesendok nasi goreng kemulutnya. Fian menatap sang nenek lalu kemudian meletakkan sendoknya.

“Udah kenyang nek. Fi udahan ya.” Tanpa mendengar jawaban sang nenek, Fian berjalan meninggalkan ruang makan dengan langkah gontai. Puja menggeleng pelan. “Fian-Fian! Kamu udah semakin berbeda sekarang. Bukan seperti Fi yang nenek kenal dulu.” Puja menghela nafas, lalu kembali terfokus dengan sarapannya.

Fian berjalan mengelilingi rumah neneknya. Menatap hiasan-hiasan yang tertempel didinding yang tak sama seperti dulu. “Banyak yang berubah.” Desisnya pelan. Ternyata memang kecepatan waktu mampu mengubah semuanya. Mengubah orang-orang yang ia sayang pastinya juga.

Lelaki itu berhenti tepat dihadapan sebuah photo. Photo lelaki yang tengah berdiri gagah dengan piala ditangannya. Lelaki itu ganteng. Pastinya. Wajah lelaki diphoto itu putih bersih dengan alis mata tebal. Mata elang lelaki itu memiliki bola mata coklat terang. Hidung mancung membingkai indah wajah itu. Ukiran Tuhan yang sangat sempurna. Mirip-mirip Aliando Syarif-lah.

Fian mendengus menatap photo itu. Lelaki diphoto itu adalah orang yang paling dibenci Fian. Lelaki itu sepupunya. “Awas lo! Gue bakal buat lo tak berkutik dan rebut semua yang lo punya!” Fian menunjuk tepat dihadapan photo yang tertempel didinding bercat oranye itu.

“KENAPA DIAM? JAWAB GUE! DIMANA LO SEKARANG?” Emosi Fian kian menjadi-jadi. Photo itu masih tetep sama. Senyum lelaki diphoto itu seakan mengejek Fian. Fian meraih bingkai photo itu. Dengan segenap tenaga dilemparkannya bingkai photo kelantai.

“FIII? APA ITU?” Suara teriakan Puja dari dapur yang khas nenek-nenek membuat Fian tersadar. Langkah lelaki itu berlalu dengan senyum sinis yang masih tersungging diwajah sawo matangnya. Gue akan balas dendam untuk semua hal yang udah lo rebut dulu.

Baca Artikel Populer Lainnya

0 komentar: