Tentang Mimpi #11
11
“Lo yakin mau jadi penyiar?” Senior cewek berambut keriting itu menatap Nasya dari ujung atas sampai ujung bawah dengan pandangannya yang meremehkan. Nasya merasa resah diperhatikan seperti itu, lalu kemudian mengangguk sopan. “Iya kak.” Jawab Nasya dengan nada suara dibuat seyakin mungkin, padahal dalam hati ia ketar-ketir.
Cewek berambut keriting itu terdiam. Pandangannya menerawang seolah tengah memikirkan sesuatu. “Lo tau nggak syarat jadi penyiar itu apa?” Ana si cewek berambut keriting itu lagi-lagi mengintrogasi dengan gaya ala senior yang butuh penghormatan.
“Tau kak. Harus memiliki vocal yang bagus, attitude yang baik, dan pengetahuan yang luas.” Nasya memang mengetahui tentang dunia penyiaran radio. Bahkan seluk beluknya pun gadis itu tau. Ana manggut-manggut seolah mengerti apa yang diucapkan Nasya.
“Ya, lo benar. Tapi ada sesuatu yang lebih penting dari pada itu.” Ana memain-mainkan ujung rambut keritingnya. Sedangkan Nasya duduk sambil menatap Ana. “Seorang penyiar harus memiliki fisik yang bagus!” lanjut Ana tanpa sedikit pun merasa bersalah.
SKAK MAT! Nasya menelan ludah, lalu kemudian menundukkan kepalanya. Serasa ditampar. Hati Nasya kembali tersakiti, terluka, dan semakin bernanah. “Tapi tenang aja, kami disini baik kok. Lo dikasih kesempatan untuk ikut pelatihan dan audisi. Pelatihannya dua hari lagi. Kumpul disini.” Ana kembali menerangkan.
“Iya kak. Makasih. Saya permisi dulu.” Pamit Nasya masih mencoba untuk sopan. Ana mengangguk dengan gaya angkuhnya. “Masa cacat gitu mau jadi penyiar? Ngerusak citra penyiar aja.” ucap Ana saat Nasya hendak membuka pintu. Kata-kata itu memang diucapkan dengan nada pelan, tapi cukup bagi Nasya untuk mendengarnya.
*@muthiii*
Nasya menyandarkan badannya dikursi taman kota Jakarta. Posisi kursi yang tertutupi dengan pepohonan menyebabkan banyak yang tidak mengetahui keberadaan kursi ini. Nasya selalu merasa nyaman disini. Ia bebas menangis atau melakukan apa pun dikursi ini. Kursi rahasia. Bisa disebut begitu.
Sebuah memori muncul. Memori disaat ia dan Davi bertemu untuk yang kedua kalinya ditaman ini, tapi bukan dikursi ini. Nasya menghela nafas saat mengingat kejadian di sekre radio tadi. Butiran bening tanpa dikomando meluncur indah dipipi Nasya.
Rasanya sakit banget saat menginginkan dan memimpikan sesuatu, tapi sesuatu itu susah banget dicapainya.
Aku memang cacat, tapi apa aku nggak boleh jadi penyiar? Aku nggak pernah minta dilahirin kaya gini. Kalau boleh milih, aku ingin lahir sempurna. Aku ingin kaya kalian. Tangisan Nasya semakin deras. Gadis itu melirik kakinya yang nggak sama panjang. Kaki yang menurutnya sebagai penyebab semua penderitaannya.
Ajarkan aku untuk pandai bersyukur Ya Allah.
“Emangnya orang cacat nggak boleh sukses ya? Emangnya orang cacat hidupnya harus jadi bahan hinaan terus ya?” Nasya mengusap air matanya dengan punggung tangannya. Dadanya terasa sesak. Semua kejadian yang membuatnya sakit lagi-lagi muncul.
“Orang cacat nggak pantas sukses ya?” Nasya mengulangi pertanyaan. Pertanyaan yang tak membutuhkan jawaban baginya. Tatapan mata gadis itu nanar dan menyiratkan rasa sakit yang amat sangat.
“Siapa bilang? Setiap orang punya peluang untuk sukses tau.” Sebuah suara khas nan maskulin mengagetkan Nasya. Buru-buru gadis itu membersihkan sisa air matanya dan menoleh menatap lelaki itu.
“Davi? Ngapain disini?”
“Emangnya kenapa kalau gue disini? Ini kan tempat umum.” Davi menjawab dengan santai sembari duduk disamping Nasya. “Kenapa nangis?” Davi menyelidiki wajah gadis disampingnya.
“Nggak papa.” Nasya seolah nggak ingin membahas kesedihannya. Seolah tak ingin membagi. Davi mengerti, lalu lelaki itu kemudian tersenyum. “Sya. Hidup ini harus punya impian. Harus punya mimpi yang tinggi. Dan disaat lo melangkah untuk menggapai impian itu, akan ada berjuta-juta duri yang bakal ngehalangi jalan lo. Akan ada beribu-ribu batu yang akan membuat lo menyerah.”
Davi menarik nafas, lalu kemudian melanjutkan kata-katanya. “Kalau lo kesandung dengan batu dan keinjak duri, lo harus kembali bangkit. Masih banyak jalan lain untuk ngewujutin semua mimpi lo itu.” Davi menatap lurus kedepan. Rentetan kata-katanya barusan seakan menendang dirinya sendiri. Ia merasa menjadi orang yang benar-benar munafik.
Nasya mengikuti arah pandangan Davi. Mencoba mencari apa yang dilihat oleh lelaki disampingnya itu. Otaknya mencerna setiap untain kata yang Davi sampaikan. “Tapi nggak semudah itu. Luka karna kesandung batu dan keinjak duri itu bakal lama sembuhnya. Rasa sakitnya kadang bikin nyerah. Rasa sakitnya bikin stuck ditempat dan nggak bisa lari.”
Davi memandang Nasya. “Kalau lo nggak bisa ngejar impian lo dengan berlari, lo masih bisa jalan. Kalau nggak bisa jalan, lo masih bisa ngerangkak kan? Kalau lo nggak bisa ngerangkak, lo masih bisa ngesot.”
“Tapi akan ada titik dimana aku ngerasa jemu dengan semua pengorbanan yang tidak ada titik terangnya Dav. Jemu dan ingin menyerah.” Nasya menunduk sembari menatap kakinya. Kaki yang menyebabkan semua mimpinya terhambat. Davi menatap Nasya, lalu mengarahkan pandangannya mengikuti arah pandangan Nasya.
“Sya liat gue.” Ucap Davi. Nasya menoleh dan menatap mata Davi. “Kalau lo punya mimpi. taroh dikening. Biarkan ia tetap mengantung 5 senti meter didepan kening lo. Liat tiap hari, jangan sampai lepas dari pandangan lo. Setelah itu yang lo perlukan adalah kaki yang trus melang—”
“Ah, Dav! Itu kan kata-kata dari buku 5 cm.” Nasya memutus perkataan Davi. Lelaki itu hanya tergelak pelan. “Habis kata-katanya bagus. Ya intinya kalau lo punya mimpi jangan nyerah. Kalau lo disakiti sama orang, balas dengan kesuksesan. Semakin orang lain nyakitin lo, semakin lo harus punya tekad untuk sukses. Tunjukan Sya! Tunjukan kalau lo itu bukan Nasya yang pantas diremehkan!”
Nasya terdiam. Pikirannya lagi-lagi mencerna semua yang diucapkan Davi. Mata gadis itu memerah dan Nasya mencoba menahan luapan air matanya. Ditatapnya tepat dimanik mata Davi.
Davi salah tingkah saat ditatap seperti itu oleh Nasya. “Dav, makasih. Makasih banget.” ucap Nasya tulus. selain keluarga aku, cuma kamu Dav! Cuma kamu yang percaya kalau aku akan sukses. Cuma kamu yang bisa bikin aku kembali semangat dengan kata-katamu yang sok bijak. Cuma kamu!
*@muthiii*
Davi menatap piano diruang tengah rumah neneknya. Piano dirinya. Piano yang dulu pernah mengharumkan namanya sebagai seorang pianist muda dan berbakat. Davi menggesekkan tangannya pada ujung piano. Merasakan debu dipenutup piano itu.
Ah udah terlalu lama gue nggak nyentuh piano ini. Davi meringis pelan saat memorinya berputar pada kejadian tadi siang. Kejadian dimana ia menasehati Nasya tentang mimpi. Tentang mimpi yang harus dikejar apa pun hambatannya. Tapi lihat dirinya kini, jangan kan buat menggapai impian, untuk menapaki hari esok aja lelaki itu pesimis.
“Munafik lo Dav!” ucap Davi pada dirinya sendiri. Pandangan Davi tertuju pada photo yang berada tepat diatas piano itu. Photo ia dan kedua orang tuanya yang udah meninggal, disamping photo itu ada sebuah frame photo dengan koran usang didalamnya. Koran yang menampilkan sosok dirinya sebagai seorang pianist berbakat.
Pianist muda berbakat. Davian Reinaldo Dinata.
Davi membaca kalimat itu, lalu kemudian memejamkan mata. Kejadian masa lalu kembali muncul dibenaknya. Kejadian disaat ia masih berumur delapan tahun.
“Berikan tepukan tangan yang meriah untuk pianist muda kita, Davi Arga Dinata.” Pembawa acara itu mengemakan nama Davi. Aula hotel bintang lima seakan semakin gemerlap saat namanya disebutkan.
“Ayo sayang. Tunjukan kalau kamu bisa!” Papa dan Mama Davi memberi semangat sembari menggenggam tangan mungil Davi. Bocah kecil itu tersenyum seakan ada beribu semangat yang memompanya.
Davi melangkah pasti. Melangkah menuju panggung dengan diiringi tatapan kagum dari beribu-ribu mata manusia. Tepukan tangan membuat Davi semakin semangat. Davi mulai memainkan lantunan pianonya. Dipejamkannya mata dan nada itu mengalir begitu indah. Hanyut dan menggetarkan.
“Kenapa Dav?” Puja menepuk pundak Davi, membuat kenangan masa lalu yang sempat singgah tiba-tiba menghilang. Davi menghela nafas, lalu menoleh kearah Puja sembari tersenyum hangat. Digenggamnya tangan Puja.
“Nggak papa kok nek.”
“Nenek kangen kamu memainkan piano ini. Apa kamu tidak ingin mencobanya lagi?” Puja menatap tepat dimanik mata Davi, sedangkan lelaki itu mencoba menghindar dari tatapan Puja.
“Davi nggak suka main piano lagi nek.” Puja menyelidik. Mencoba mencari kebenaran dari ucapan sang cucu. Setau Puja, Davi sangat mencintai piano. “Ah nek, Davi ngerjain tugas kuliah dulu ya?” Davi mencoba menghilangkan tatapan curiga Puja. Diciumnya pipi sang nenek dan lelaki itu berlalu menuju kamarnya.
Kamu kenapa Dav? Puja semakin merasakan keanehan dari seorang Davi. Davi yang dulu bukan seperti ini. Davi yang dulu selalu semangat dalam mengejar impiannya. Dan yang pasti, Davi yang dulu sangat mencintai piano.
“Davi pengen jadi apa kalau udah besar?”
“Davi pengen jadi pianist nek! Davi pengen mengelilingi dunia dengan bermain piano.”
Puja menghela nafas berat. Dihapusnya kenangan itu. Terlalu banyak teka-teki tentang cucu-cucunya. Tentang Davi. Tentang Fian. Dan tentang Kafta. Mungkin mereka butuh privasi sendiri. Mereka sudah cukup dewasa untuk memilih mana yang terbaik dalam hidupnya.
*@muthiii*
Nasya memarkirkan beat putihnya ditempat parkir fakultasnya dengan agak susah payah. Pagi ini Nasya memang ada jam kuliah dan ia sudah terlambat tiga menit. Nasya buru-buru merapikan bajunya, lalu kemudian melirik kaca spion dan membersihkan mukanya dengan telapak tangannya.
Saat gadis itu hendak masuk ke fakultasnya, sebuah tangan mencengkram lengannya dengan kuat. “Aaw!” Nasya meringis dan langkahnya terhenti. Gadis itu menatap sipemilik tangan yang udah dengan sukses menambah menit keterlambatannya.
“Aduh. Apa lagi sih? Aku kan nggak ada ganggu kamu. Aku udah telat nih!” ucap Nasya dengan nada setegas mungkin. Lelaki dihadapannya hanya tersenyum sinis. “Lepasin dong. Please.”
“Kalau gue nggak mau gimana?”
“Please aku udah terlambat.” Nasya memohon. Gadis itu mencoba melepaskan tangannya, tapi cengkraman dan tenaga lelaki itu jauh lebih kuat dibandingkan tenaganya.
“FIAN PLEASE LEPAS!” Nasya membentak dengan nada tinggi. Berharap lelaki dihadapannya benar-benar mengetahui kalau ia benar-benar marah, tapi ternyata lelaki itu malah ketawa. Beberapa orang yang berada diparkiran melirik mereka dengan tanda tanya besar dikepala masing-masing.
“Waw! Gue suka yang ganas kaya gini.” Fian menyerigai dengan tatapan dibuat setajam mungkin. “Kamu apaan sih? Aku ada jam ini. Aku udah terlambat.” Nasya melembut. Fian menatap Nasya. Menatap gadis itu tepat dimanik matanya.
“Gue bakal lepasin lo, tapi ada syaratnya.” Fian mencengkram tangan Nasya semakin kuat, membuat gadis itu meringis kesakitan. “Lepas dulu. sakit!” Nasya kembali berusaha melepaskan tangannya. Aduh ini orang gila kali ya? Udah telat nih. Batin Nasya.
“Mulai hari ini, lo harus jadi pacar gue. Dan detik ini juga lo resmi jadi pacar gue, ngerti?” Fian masih dengan cengkramannya. Nasya melongo sepersekian detik dengan tatapan tak mengerti.
“Dah sana masuk! Ingat lo itu pacar gue!” ucap Fian penuh penekanan dalam setiap kalimatnya. Nasya masih melongo ditempatnya, sedangkan Fian berlalu meninggalkan parkiran fakultas Ilmu Komunikasi.
“Haa? Apa katanya tadi?” tanya Nasya tak percaya. Aku? Pacar dia? Maksudnya apa sih? Aneh ! Nasya mencoba mencerna kejadian yang baru saja ia alami. “Aku lagi mimpi ya? Perasaan habis subuh tadi nggak tidur deh.” Nasya menepuk pipinya.
Tentu saja gadis itu merasa sakit dipipinya. “Jadi nggak mimpi. Itu orang gila kali!” Gadis itu berguman pelan, lalu kemudian buru-buru melangkah menuju kelasnya. Telat banget ini!
11 “Lo yakin mau jadi penyiar?” Senior cewek berambut keriting itu menatap Nasya dari ujung atas sampai ujung bawah dengan pandangannya yang meremehkan. Nasya merasa resah diperhatikan seperti itu, lalu kemudian mengangguk sopan. “Iya kak.” Jawab Nasya dengan nada suara dibuat seyakin mungkin, padahal dalam hati ia ketar-ketir. Cewek berambut keriting itu terdiam. Pandangannya menerawang seolah tengah memikirkan sesuatu. “Lo tau nggak syarat jadi penyiar itu apa?” Ana si cewek berambut keriting itu lagi-lagi mengintrogasi dengan gaya ala senior yang butuh penghormatan. “Tau kak. Harus memiliki vocal yang bagus, attitude yang baik, dan pengetahuan yang luas.” Nasya memang mengetahui tentang dunia penyiaran radio. Bahkan seluk beluknya pun gadis itu tau. Ana manggut-manggut seolah mengerti apa yang diucapkan Nasya. “Ya, lo benar. Tapi ada sesuatu yang lebih penting dari pada itu.” Ana memain-mainkan ujung rambut keritingnya. Sedangkan Nasya duduk sambil menatap Ana. “Seorang penyiar harus memiliki fisik yang bagus!” lanjut Ana tanpa sedikit pun merasa bersalah. SKAK MAT! Nasya menelan ludah, lalu kemudian menundukkan kepalanya. Serasa ditampar. Hati Nasya kembali tersakiti, terluka, dan semakin bernanah. “Tapi tenang aja, kami disini baik kok. Lo dikasih kesempatan untuk ikut pelatihan dan audisi. Pelatihannya dua hari lagi. Kumpul disini.” Ana kembali menerangkan. “Iya kak. Makasih. Saya permisi dulu.” Pamit Nasya masih mencoba untuk sopan. Ana mengangguk dengan gaya angkuhnya. “Masa cacat gitu mau jadi penyiar? Ngerusak citra penyiar aja.” ucap Ana saat Nasya hendak membuka pintu. Kata-kata itu memang diucapkan dengan nada pelan, tapi cukup bagi Nasya untuk mendengarnya. *@muthiii* Nasya menyandarkan badannya dikursi taman kota Jakarta. Posisi kursi yang tertutupi dengan pepohonan menyebabkan banyak yang tidak mengetahui keberadaan kursi ini. Nasya selalu merasa nyaman disini. Ia bebas menangis atau melakukan apa pun dikursi ini. Kursi rahasia. Bisa disebut begitu. Sebuah memori muncul. Memori disaat ia dan Davi bertemu untuk yang kedua kalinya ditaman ini, tapi bukan dikursi ini. Nasya menghela nafas saat mengingat kejadian di sekre radio tadi. Butiran bening tanpa dikomando meluncur indah dipipi Nasya. Rasanya sakit banget saat menginginkan dan memimpikan sesuatu, tapi sesuatu itu susah banget dicapainya. Aku memang cacat, tapi apa aku nggak boleh jadi penyiar? Aku nggak pernah minta dilahirin kaya gini. Kalau boleh milih, aku ingin lahir sempurna. Aku ingin kaya kalian. Tangisan Nasya semakin deras. Gadis itu melirik kakinya yang nggak sama panjang. Kaki yang menurutnya sebagai penyebab semua penderitaannya. Ajarkan aku untuk pandai bersyukur Ya Allah. “Emangnya orang cacat nggak boleh sukses ya? Emangnya orang cacat hidupnya harus jadi bahan hinaan terus ya?” Nasya mengusap air matanya dengan punggung tangannya. Dadanya terasa sesak. Semua kejadian yang membuatnya sakit lagi-lagi muncul. “Orang cacat nggak pantas sukses ya?” Nasya mengulangi pertanyaan. Pertanyaan yang tak membutuhkan jawaban baginya. Tatapan mata gadis itu nanar dan menyiratkan rasa sakit yang amat sangat. “Siapa bilang? Setiap orang punya peluang untuk sukses tau.” Sebuah suara khas nan maskulin mengagetkan Nasya. Buru-buru gadis itu membersihkan sisa air matanya dan menoleh menatap lelaki itu. “Davi? Ngapain disini?” “Emangnya kenapa kalau gue disini? Ini kan tempat umum.” Davi menjawab dengan santai sembari duduk disamping Nasya. “Kenapa nangis?” Davi menyelidiki wajah gadis disampingnya. “Nggak papa.” Nasya seolah nggak ingin membahas kesedihannya. Seolah tak ingin membagi. Davi mengerti, lalu lelaki itu kemudian tersenyum. “Sya. Hidup ini harus punya impian. Harus punya mimpi yang tinggi. Dan disaat lo melangkah untuk menggapai impian itu, akan ada berjuta-juta duri yang bakal ngehalangi jalan lo. Akan ada beribu-ribu batu yang akan membuat lo menyerah.” Davi menarik nafas, lalu kemudian melanjutkan kata-katanya. “Kalau lo kesandung dengan batu dan keinjak duri, lo harus kembali bangkit. Masih banyak jalan lain untuk ngewujutin semua mimpi lo itu.” Davi menatap lurus kedepan. Rentetan kata-katanya barusan seakan menendang dirinya sendiri. Ia merasa menjadi orang yang benar-benar munafik. Nasya mengikuti arah pandangan Davi. Mencoba mencari apa yang dilihat oleh lelaki disampingnya itu. Otaknya mencerna setiap untain kata yang Davi sampaikan. “Tapi nggak semudah itu. Luka karna kesandung batu dan keinjak duri itu bakal lama sembuhnya. Rasa sakitnya kadang bikin nyerah. Rasa sakitnya bikin stuck ditempat dan nggak bisa lari.” Davi memandang Nasya. “Kalau lo nggak bisa ngejar impian lo dengan berlari, lo masih bisa jalan. Kalau nggak bisa jalan, lo masih bisa ngerangkak kan? Kalau lo nggak bisa ngerangkak, lo masih bisa ngesot.” “Tapi akan ada titik dimana aku ngerasa jemu dengan semua pengorbanan yang tidak ada titik terangnya Dav. Jemu dan ingin menyerah.” Nasya menunduk sembari menatap kakinya. Kaki yang menyebabkan semua mimpinya terhambat. Davi menatap Nasya, lalu mengarahkan pandangannya mengikuti arah pandangan Nasya. “Sya liat gue.” Ucap Davi. Nasya menoleh dan menatap mata Davi. “Kalau lo punya mimpi. taroh dikening. Biarkan ia tetap mengantung 5 senti meter didepan kening lo. Liat tiap hari, jangan sampai lepas dari pandangan lo. Setelah itu yang lo perlukan adalah kaki yang trus melang—” “Ah, Dav! Itu kan kata-kata dari buku 5 cm.” Nasya memutus perkataan Davi. Lelaki itu hanya tergelak pelan. “Habis kata-katanya bagus. Ya intinya kalau lo punya mimpi jangan nyerah. Kalau lo disakiti sama orang, balas dengan kesuksesan. Semakin orang lain nyakitin lo, semakin lo harus punya tekad untuk sukses. Tunjukan Sya! Tunjukan kalau lo itu bukan Nasya yang pantas diremehkan!” Nasya terdiam. Pikirannya lagi-lagi mencerna semua yang diucapkan Davi. Mata gadis itu memerah dan Nasya mencoba menahan luapan air matanya. Ditatapnya tepat dimanik mata Davi. Davi salah tingkah saat ditatap seperti itu oleh Nasya. “Dav, makasih. Makasih banget.” ucap Nasya tulus. selain keluarga aku, cuma kamu Dav! Cuma kamu yang percaya kalau aku akan sukses. Cuma kamu yang bisa bikin aku kembali semangat dengan kata-katamu yang sok bijak. Cuma kamu! *@muthiii* Davi menatap piano diruang tengah rumah neneknya. Piano dirinya. Piano yang dulu pernah mengharumkan namanya sebagai seorang pianist muda dan berbakat. Davi menggesekkan tangannya pada ujung piano. Merasakan debu dipenutup piano itu. Ah udah terlalu lama gue nggak nyentuh piano ini. Davi meringis pelan saat memorinya berputar pada kejadian tadi siang. Kejadian dimana ia menasehati Nasya tentang mimpi. Tentang mimpi yang harus dikejar apa pun hambatannya. Tapi lihat dirinya kini, jangan kan buat menggapai impian, untuk menapaki hari esok aja lelaki itu pesimis. “Munafik lo Dav!” ucap Davi pada dirinya sendiri. Pandangan Davi tertuju pada photo yang berada tepat diatas piano itu. Photo ia dan kedua orang tuanya yang udah meninggal, disamping photo itu ada sebuah frame photo dengan koran usang didalamnya. Koran yang menampilkan sosok dirinya sebagai seorang pianist berbakat. Pianist muda berbakat. Davian Reinaldo Dinata. Davi membaca kalimat itu, lalu kemudian memejamkan mata. Kejadian masa lalu kembali muncul dibenaknya. Kejadian disaat ia masih berumur delapan tahun. “Berikan tepukan tangan yang meriah untuk pianist muda kita, Davi Arga Dinata.” Pembawa acara itu mengemakan nama Davi. Aula hotel bintang lima seakan semakin gemerlap saat namanya disebutkan. “Ayo sayang. Tunjukan kalau kamu bisa!” Papa dan Mama Davi memberi semangat sembari menggenggam tangan mungil Davi. Bocah kecil itu tersenyum seakan ada beribu semangat yang memompanya. Davi melangkah pasti. Melangkah menuju panggung dengan diiringi tatapan kagum dari beribu-ribu mata manusia. Tepukan tangan membuat Davi semakin semangat. Davi mulai memainkan lantunan pianonya. Dipejamkannya mata dan nada itu mengalir begitu indah. Hanyut dan menggetarkan. “Kenapa Dav?” Puja menepuk pundak Davi, membuat kenangan masa lalu yang sempat singgah tiba-tiba menghilang. Davi menghela nafas, lalu menoleh kearah Puja sembari tersenyum hangat. Digenggamnya tangan Puja. “Nggak papa kok nek.” “Nenek kangen kamu memainkan piano ini. Apa kamu tidak ingin mencobanya lagi?” Puja menatap tepat dimanik mata Davi, sedangkan lelaki itu mencoba menghindar dari tatapan Puja. “Davi nggak suka main piano lagi nek.” Puja menyelidik. Mencoba mencari kebenaran dari ucapan sang cucu. Setau Puja, Davi sangat mencintai piano. “Ah nek, Davi ngerjain tugas kuliah dulu ya?” Davi mencoba menghilangkan tatapan curiga Puja. Diciumnya pipi sang nenek dan lelaki itu berlalu menuju kamarnya. Kamu kenapa Dav? Puja semakin merasakan keanehan dari seorang Davi. Davi yang dulu bukan seperti ini. Davi yang dulu selalu semangat dalam mengejar impiannya. Dan yang pasti, Davi yang dulu sangat mencintai piano. “Davi pengen jadi apa kalau udah besar?” “Davi pengen jadi pianist nek! Davi pengen mengelilingi dunia dengan bermain piano.” Puja menghela nafas berat. Dihapusnya kenangan itu. Terlalu banyak teka-teki tentang cucu-cucunya. Tentang Davi. Tentang Fian. Dan tentang Kafta. Mungkin mereka butuh privasi sendiri. Mereka sudah cukup dewasa untuk memilih mana yang terbaik dalam hidupnya. *@muthiii* Nasya memarkirkan beat putihnya ditempat parkir fakultasnya dengan agak susah payah. Pagi ini Nasya memang ada jam kuliah dan ia sudah terlambat tiga menit. Nasya buru-buru merapikan bajunya, lalu kemudian melirik kaca spion dan membersihkan mukanya dengan telapak tangannya. Saat gadis itu hendak masuk ke fakultasnya, sebuah tangan mencengkram lengannya dengan kuat. “Aaw!” Nasya meringis dan langkahnya terhenti. Gadis itu menatap sipemilik tangan yang udah dengan sukses menambah menit keterlambatannya. “Aduh. Apa lagi sih? Aku kan nggak ada ganggu kamu. Aku udah telat nih!” ucap Nasya dengan nada setegas mungkin. Lelaki dihadapannya hanya tersenyum sinis. “Lepasin dong. Please.” “Kalau gue nggak mau gimana?” “Please aku udah terlambat.” Nasya memohon. Gadis itu mencoba melepaskan tangannya, tapi cengkraman dan tenaga lelaki itu jauh lebih kuat dibandingkan tenaganya. “FIAN PLEASE LEPAS!” Nasya membentak dengan nada tinggi. Berharap lelaki dihadapannya benar-benar mengetahui kalau ia benar-benar marah, tapi ternyata lelaki itu malah ketawa. Beberapa orang yang berada diparkiran melirik mereka dengan tanda tanya besar dikepala masing-masing. “Waw! Gue suka yang ganas kaya gini.” Fian menyerigai dengan tatapan dibuat setajam mungkin. “Kamu apaan sih? Aku ada jam ini. Aku udah terlambat.” Nasya melembut. Fian menatap Nasya. Menatap gadis itu tepat dimanik matanya. “Gue bakal lepasin lo, tapi ada syaratnya.” Fian mencengkram tangan Nasya semakin kuat, membuat gadis itu meringis kesakitan. “Lepas dulu. sakit!” Nasya kembali berusaha melepaskan tangannya. Aduh ini orang gila kali ya? Udah telat nih. Batin Nasya. “Mulai hari ini, lo harus jadi pacar gue. Dan detik ini juga lo resmi jadi pacar gue, ngerti?” Fian masih dengan cengkramannya. Nasya melongo sepersekian detik dengan tatapan tak mengerti. “Dah sana masuk! Ingat lo itu pacar gue!” ucap Fian penuh penekanan dalam setiap kalimatnya. Nasya masih melongo ditempatnya, sedangkan Fian berlalu meninggalkan parkiran fakultas Ilmu Komunikasi. “Haa? Apa katanya tadi?” tanya Nasya tak percaya. Aku? Pacar dia? Maksudnya apa sih? Aneh ! Nasya mencoba mencerna kejadian yang baru saja ia alami. “Aku lagi mimpi ya? Perasaan habis subuh tadi nggak tidur deh.” Nasya menepuk pipinya. Tentu saja gadis itu merasa sakit dipipinya. “Jadi nggak mimpi. Itu orang gila kali!” Gadis itu berguman pelan, lalu kemudian buru-buru melangkah menuju kelasnya. Telat banget ini!
0 komentar: