Tentang Mimpi #12
12
Gagal! Nasya menundukkan kepala dengan sedih. Baru saja gadis itu menjalani tes masuk radio dan ia sangat yakin akan gagal. Memang pengumumannya belum ada, tapi firasat dan keyakinannya mengatakan bahwa ia akan gagal.
“Oh jadi lo mau jadi penyiar?”
“Iya kak.” Jawab Nasya sedikit gugup. Gadis itu menghela nafas pelan. “Lo cewek yang bareng Davi kemarenkan?” Siska menatap Nasya dari ujung kepala sampai ujung kaki, memuat Nasya merasa ditelanjangi.
“Masih ingat sama gue?” tanya Siska lagi. Nasya mengangguk. “Bagus kalau gitu. Gue Siska! Coba lo jadi penyiar, kalau jelek gue bakal langsung berhentiin!” Tegas Siska. Nasya menghela nafas.
“Hai permi—”
“STOP!” Siska menyuruh berhenti. Kening Nasya mengerut. “Aku kan belum selesai kak.” Protes gadis itu. “Udah sana keluar! Liat muka lo lama-lama bikin sakit hati gue aja! pengumuman kelulusan besok. Keluar!”
Nasya menyentuh ujung matanya yang udah mulai berair. Rasa sakit itu lagi-lagi muncul. Apa aku nggak pantas buat sukses Ya Allah? Apa usaha aku kurang? “Akan ada saatnya dimana aku akan benar-benar merasa pengen nyerah. Aku capek.”
“Sya. Kenapa?” Davi menyentuh lembut pundak Nasya, tapi langsung ditepis oleh Nasya. Wajah Davi entah kenapa menambah daftar luka gadis itu. Gara-gara Davi, itu senior cewek marah sama aku.
Davi menatap Nasya dengan terheran-heran. “Lo kenapa? Ada masalah? Cerita sama gue.” Kata Davi tulus. Nasya menatap wajah Davi, dan detik berikutnya Nasya berjalan menjauhi Davi. Tak dihiraukannya panggilan Davi dan muka tak mengerti Davi.
“Sya?” Davi kembali berusaha memanggil, tapi Nasya sedikitpun tak menoleh. Mungkin dia lagi pengen sendiri. Davi berargumen sembari menghembuskan nafas pelan. Dijatuhkannya tubuhnya disebuah bangku kosong. Tangisan Nasya tadi membuat tanda tanya besar dikepala Davi. Kenapa lagi?
*@muthiii*
Fian menghembuskan asap rokoknya sembari menyandar ditiang bangunan sebelah kiri fakultas ilmu komunikasi. Gayanya santai membuat beberapa cewek menatapnya terpesona. Fian seolah tak ambil pusing. Sesekali kepala lelaki itu melirik jam dipergelangan tangan kirinya.
Saat menatap batang hidung Nasya, Fian membuang sisa rokoknya. “Hooooi! Sini!” ujar Fian sembari melambaikan tangannya kearah Nasya. Gadis itu sama sekali tak menoleh. Dengan langkah pasti ia malah berjalan menuju beat putihnya.
“Shit! Budek kali itu cewek.” Fian mengumpat sembari berjalan menghampiri Nasya. Saat tubuh lelaki itu sudah tepat dibelakang Nasya, Fian menepuk pundak itu. Membuat Nasya menoleh kaget. “Apaan lagi sih?” tanya Nasya ketus dengan suaranya yang bergetar.
Fian menatap wajah sembab Nasya. Menyelidik wajah itu sehingga membuat sang pemiliknya merasa jengah. “Apa sih?” Nasya mengulangi pertanyaannya dengan malas. Jari manis tangan kanannya menyapu lingkaran di bawah matanya.
“Nangis lo? Cengeng! Jadi cewek itu yang kuat kenapa sih? Udah fisik lemah, mental pun lemah.” Kata Fian sinis, tanpa sedikitpun merasa bersalah. Nasya tercenung mendengar perkataan Fian. Lama gadis itu diam tak bersuara.
“Tuh kan. Udah cengeng, budek lagi! Jadi cewek gue itu nggak boleh cengeng tau. Harus happy.” Fian melanjutkan perkataan sinisnya. Nasya menghela nafas pelan. “Udah? Udah marah-marahnya? Kalau udah, aku pergi dulu. Bye!” Nasya berjalan menuju hondanya. Tak dipedulikannya tatapan orang-orang yang terfokus pada cara berjalannya.
“Hey, gue belum selesai ini! Cengeng!” Fian mengejar Nasya. Menarik tangan gadis itu dengan kasar. Nasya meringis. “Kamu kok kasar sih!” Nasya memberontak mencoba melepaskan tangannya, tapi Fian malah mengenggam tangan Nasya semakin erat.
“Kalau lo cengeng kaya gini, orang yang nyakitin lo itu bakal senang dodol. Jangan nunjukin kalau lo itu lemah kaya gini! Ngerti?” Fian menekankan di setiap kalimatnya. Nasya masih mengaduh pelan.
“Ngerti nggak?”
“Iih. Ngerti! Lepas, sakit.” Fian melepaskan tangannya, lalu kemudian dengan kedua tangan dimasukin kedalam saku celananya, cowok itu berlalu tanpa sepatah kata pun pada Nasya.
Nasya menatap kepergian Fian dengan kening berkerut sembari mengelus tangan kirinya yang telah dianiaya dengan sadis oleh Fian. Awh! Gila kali itu orang. Nasya membatin, lalu kemudian membuang nafasnya.
Kalau lo cengeng kaya gini, orang yang nyakitin lo itu bakal senang dodol. Jangan nunjukin kalau lo itu lemah kaya gini!Kata-kata Fian itu entah kenapa berputar diotak Nasya. Jangan nunjukin kalau aku lemah? Jangan nunjukin? Apa memang aku selemah itu? Batin Nasya bergejolak.
Tatapan Nasya kembali tertuju pada sosok Fian yang entah kenapa cowok itu malah berbalik kearah Nasya. Gadis itu mengernyit tak mengerti. “Oh ya. Besok-besok nggak usah bawa motor lagi. Biar gue antar-jemput.” Ucap Fian, lalu kemudian kembali pergi.
“Haa?” Nasya melongo. Ini ada apa sih sebenarnya? Aku pacar dia? Beneran? Maksudnya? Aduh hari ini aneh banget!
*@muthiii*
Nasya memandangi layar hapenya. Menatap layar itu dengan pandangan sama sekali tak bernafsu. Gadis itu menghembuskan nafas pelan. Tatapannya kemudian beralih ke layar laptop yang menampilkan lembar kosong microsoft word. Hapenya kembali berdering, menandakan sebuah SMS masuk.
From : Davi
Kenapa telpon gue di riject mulu? Gue ada salah ya? Maaf!
Nasya menatap SMS yang tertera di hapenya. Membaca SMS itu berulang kali, lalu kemudian lagi-lagi untuk kesekian kalinya gadis itu mendesah pelan. Entah kenapa kejadian di sekre radio tadi terulang lagi. Membuat luka itu kembali terbuka lebar. Menganga.
Orang kaya aku nggak bisa sukses ya? Nggak boleh sukses ya? Apa emang keterbatasan menghalangi setiap mimpi? pikir Nasya. Gadis itu kembali menatap layar microsoft word-nya. Menulis sesuatu dilayar itu, lalu detik berikutnya menghapus tulisan itu.
“Capek dengan semua ini!” Nasya mematikan laptopnya. Berjalan dengan kesusahan ketempat tidurnya dan merebahkan tubuh tak sempurnanya. Apa memang sesulit ini buat gapai mimpi? Buat gapai apa yang aku inginkan dalam hidup aku?
Mengapa begitu banyaknya orang yang menggapai impiannya dengan begitu mudah, sedangkan aku? Aku punya mimpi dan aku berusaha buat menggapainya, tapi sama sekali belum ada perkembangan apa pun. Kenapa? Beribu tanda Tanya mampir dibenak Nasya, tapi taka da satu pun yang terjawab.
*@muthiiihauraa*
Shit! Itu cewek cari gara-gara lagi! Davi membatin setelah ditutupnya telpon dari Siska. Baru saja cewek bernama Siska itu menelpon dan dengan riang mengatakan kalau ia telah menyingirkan Nasya dengan begitu mudah dari seleksi penyiaran.
“Pantes aja Nasya ngehindar dari gue. Pasti sekarang dia lagi nge-down.” Davi menerawang pelang. Memunculkan wajah gadis itu dipikirannya. Tatapan Davi kembali kelayar handphonenya. Menggetikkan sesuatu dilayar itu.
To : Nasya Talitha
Jika satu pintu tertutup untuk lo, masih ada pintu lain yang kebuka lebar. Jangan pernah nyerah buat gapai semua impian lo. Kalau lo dikritik atau dihina atau dipandang remeh oleh orang. Buat cetak biru dikening lo dan lo harus tunjukin bahwa lo jauh lebih hebat dari mereka! Night Nasya!
Davi menatap isi SMS itu. Membacanya sekali lagi, lalu menekan tombol send. Entah kenapa lagi-lagi kata-katanya barusan mengingatkan pada mimpi-mimpinya. Mimpi yang sejak kecil ia pupuk dan tanam, tapi sekarang dengan mudahnya ia menghapus mimpi itu disebabkan satu dan berbagai hal.
Lelaki itu meringis pelan. Ditekannya dadanya yang terasa sakit. Gue harus kuat! Gue harus kuat apa pun yang terjadi. Sebelum gue mati nanti, gue pengen kembali ngerasain rasanya berada diatas sebuah panggung. Merasakan atmosfir tepukan tangan dan tatapan kagum para penonton.
Davi menatap nanar kedepan sembari meringis pelan menahan sakit ditubuhnya. “I wanna be pianist!” ucap Davi lantang. Direbahkannya tubuhnya diatas tempat tidur. “Sya. Kita bareng-bareng buat gapai impian ya? Kita harus sukses.”
0 komentar: