Tentang Mimpi #13

17.00 muthihaura 0 Comments

 

13

 “Lo cari perhatian dosen ya? Sok banget sih lo. Pakai nanya-nanya segala. Udah ngerasa sok hebat lo sekarang?” Atar menyerocos panjang lebar khas cewek disamping Nasya saat pertukaran mata kuliah yang kebetulan ruangannya tetap sama.

Nasya memandang Atar sekilas. Seakan tak ambil pusing gadis itu kembali menyalin catatannya kebuku khusus agar lebih rapi. Atar yang merasa lagi-lagi gagal memancing kemarahan Nasya mulai berani mencolek bahu gadis itu.

“Ternyata lo selain pincang juga budek ya!” kata Atar dengan volume suara yang ia sengajain sebesar mungkin. Seisi kelas yang awalnya ramai penuh celotehan mendadak diam. Semua mata menatap Atar dan Nasya seakan menantikan kelanjutan kisah antara Atar dan Nasya.

Sabar Sya. Sabar! Nasya menghela nafas dan masih terpaku dengan salinan catatannya. Dianggapnya Atar seakan tak ada. “Udah pincang nggak usah belagu deh! Lo itu pas SMP bodoh tau nggak?” Atar kembali menambah-nambahkan.

Nasya benar-benar sudah kehilangan fokusnya. Tak berminat sama sekali untuk melanjutkan menyalin tulisan. Telinga gadis itu terfokus dengan semua ucapan Atar barusan. Kalau lo cengeng kaya gini, orang yang nyakitin lo itu bakal senang dodol. Jangan nunjukin kalau lo itu lemah kaya gini!Kata-kata Fian kemaren entah kenapa muncul dibenak Nasya.

Kalau lo dikritik atau dihina atau dipandang remeh oleh orang. Buat cetak biru dikening lo dan lo harus tunjukin bahwa lo jauh lebih hebat dari mereka! Ucapan Davi pun muncul dibenak Nasya.

Aku kuat. Aku harus kuat. Buktikan Sya! Buktikan! Nasya membatin. Atar menatap Nasya yang reaksinya tidak seperti dugaan Atar. Lelaki itu menggaruk kepalanya yang tak gatal.

“Dasar! Udah pincang, budek, caper lagi! Lo itu ‘nothing’ tau nggak? Orang kaya lo itu nggak akan bisa jadi ‘something’. Jangan terlalu banyak bermimpi.” 

 

“Emangnya kalau aku punya mimpi kenapa? Salah?” Nasya berdiri dari duduknya. Memandang Atar dari sorot mata kebenciannya. Kata-kata Atar barusan benar-benar udah menamparnya. Menamparnya hingga membuat gadis itu mempunyai keberanian untuk ngelawan.

Atar terseyum senang saat mendapati reaksi Nasya. Ujung mata lelaki itu bertaut seakan mengejek. It’s showtime. Bisiknya. “Bener tuh kata Atar. Jangan bermimpi terlalu tinggi! Nanti sakit sendiri.” Seorang teman mereka menyeletuk dan diikuti anggukan teman-teman yang lainnya. Atar kembali merasa diatas angin.

“Lo nothing. Lo zero! Lo nobody!” kata Atar lagi. Nasya menatap mata Atar dengan tajam, seakan menantang pemilik mata itu. Buliran bening berdesakan ingin keluar. Sekuat apa pun gadis itu ingin menahannya, tetap saja ia nggak bisa. Hatinya semakin terluka dan tanpa babibu, Nasya meraih tasnya dan berlalu keluar kelas. 

Baca Juga : Tentang Mimpi #11

Atar memandangi kepergian Nasya. Jauh didalam lubuk hati lelaki itu, ia sedih melihat Nasya begitu. Ia sedih dengan ulahnya sendiri, tapi Atar punya alasan kenapa ia melakukan ini. Sebuah alas an untuk kepuasannya sendiri. Egois.

Nasya berjalan terseok-seok menuju parkiran. Lelahan bening terus saja mengalir dipipinya. Sesekali gadis itu menyeka air mata dengan punggung tangan kanannya. Tak dihiraukannya berpasang-pasang mata menatapnya dengan pandangan yang sulit diartikan.

“Hoi! Pincang! Eh Nasya!” Nasya menghentikan jalannya. Dipandanginya pemilik suara. Si pemilik suara itu menghampiri Nasya, lalu kemudian menyelidik wajah gadis itu.

“Nangis lagi? Emang cengeng lo ya! Bisa nggak sehari aja nggak usah nangis?” Fian si pemilik suara menyalahkan kecengengan Nasya. Gadis itu menatap cowok ganteng berkulit sawo matang itu.

“Udahlah. Aku lelah.” Ucap Nasya lemah sembari berjalan menuju beat putihnya. Fian memandangi dengan tatapan tak mengerti. “Eh lo kan pulang sama gue? Kan udah gue bilang nggak usah bawa motor.”

“Fi, please aku lagi nggak pengen diganggu.” Nasya meminta pengertian dari Fian dengan suara memelasnya. “Pokoknya lo harus pulang sama gue!” Fian menarik lengan Nasya, membuat gadis itu berusaha memberontak.

“Sakit. Fian lepas!”

“Nggak akan, kecuali kalau lo mau pulang sama gue.” Kata Fian tetap dengan sifat keras kepalanya. Nasya menghela nafas tanda menyerah. “Oke, tapi beat aku?”

“Biar teman gue yang antar kerumah lo.”

*@muthiiihauraa*

 Baca Juga : Tentang Mimpi #8

Fian mendadak menghentikan motor FU hitamnya, membuat gadis yang berada diboncengannya meringis pelan. Nasya menepuk punggung Fian. “Kamu niat nganterin pulang nggak sih?” omel Nasya.

“Gue Cuma mau nanya nih.” Ucap Fian serius sembari menatap Nasya dari kaca spionnya. Nasya mengernyit. Tak biasanya Fian ngomong seserius ini. “Nanya apa?” tanya Nasya. Mata gadis itu udah membengkak karna sepanjang perjalanan pulang ini, ia gunakan untuk menangis.

“Jalan kerumah lo lewat mana sih?” Nasya bengong mendengar pertanyaan polos dari Fian, lalu gadis itu menepuk jidatnya pelan. “Jadi selama ini kita muter-muter karna kamu itu nggak tau jalan rumah aku?” Nasya balik bertanya.

“Lo sih bego nggak ngasih tau.” Nasya menepuk punggung Fian lagi. “Siapa suruh nggak nanya! Itu tuh masuk kebelokan itu, belok kiri, trus lurus nyampe deh. Cat rumah warna biru muda.” Nasya menerangkan. Fian manggut-manggut.

Lelaki itu mulai kembali men-starter motornya dan kemudian membelah jalanan kota Jakarta yang tak pernah sepi. Lalu tiba-tiba Fian kembali mengerem mendadak. Kali ini kening Nasya tepat membentur helem Fian. “Aww!” Nasya meringis sembari memegangi keningnya.

“Kenapa lagi sih Fi?”

“Hape gue bunyi ini! Turun lo!” Suruh Fian. Nasya turun dari motor dan Fian menepikan motornya. Diraihnya Hp dari saku celananya. “Ya? Halo? Haaa! Apa? Oke-oke.” Suara Fian naik beberapa oktaf saat berbicara dengan seseorang diujung telepon.

“Ken—”

 “Lo pulang sendiri aja ya. Gue ada urusan super penting.” Belum sempat Nasya menyelesaikan kalimatnya, udah dipotong dengan ucapan Fian. Nasya lagi-lagi melongo dengan perkataan Fian.

“Eeeh tapi. Fi! Fian!” Nasya meneriakkan nama lelaki itu yang udah menjauh dengan motor FU hitamnya. Nasya menghela nafas. Lagi-lagi kejadian ini membuatnya ingin menangis. Gini nih nasib orang jelek. Diajak seenaknya dan ditinggalkan semaunya. Sampah!

Nasya memandangi sekelilingnya. Benar-benar seperti orang bodoh yang baru tiba di Jakarta. Gadis itu melongo sembari melirik kekanan dan kekiri. “Gini banget ya nasib aku? Ya Allah, rencana apa lagi ini?” ucap Nasya lirih.

Gadis berbaju biru muda yang dipadukan rok panjang berwarna abu-abu itu menjongkokkan tubuhnya. Tetesan bening mengalir lembut dipipi gadis itu. Semua kejadian yang mampir dalam hidupnya, membuat rasa sakit dihati gadis itu kembali menganga lebar.

Sebuah sedan putih berhenti tepat didepan tempat Nasya berjongkok. “Nasya? Ngapain disini?” Seorang lelaki berparas ganteng turun dari sedan itu dengan tergesa-gesa dan menghampiri Nasya. Raut wajah khawatirnya tergambar jelas.

Nasya mendongakkan kepalanya. Menatap lelaki dihadapannya. “Davi? Kok bisa disini?” tanya Nasya. Pertanyaan yang sebenarnya tak memerlukan jawaban. Wajarlah Davi bisa berada disini, ini kan jalan umum.

“Lo kenapa?” Davi bertanya lembut. Sorot mata lelaki itu menghujam tepat dimanik mata Nasya. Gadis itu mengusap air matanya dengan punggung tangannya, lalu kemudian berdiri. “Nggak papa kok.” Nasya berusaha memberikan senyumnya, tapi dimata Davi senyum itu tak lebih dari sekedar senyuman palsu belaka.

“Ya udah, ikut gue yok?”

“Kemana?” tanya Nasya ragu. Gadis berlesung pipit itu hanya tak ingin kejadian tadi terulangi lagi, karna rasanya begitu menyakitkan. Davi menangkap kekhawatiran dari gerak tubuh Nasya, lelaki itu tersenyum hangat.

“Taman rahasia. Tempat dimana lo sering menyendiri. Tempat kita ketemu untuk kedua kalinya.”

*@muthiiihauraa*

Fian duduk diruang tunggu bandara dengan gelisah. Berkali-kali lelaki berkulit coklat yang besar di Jepang itu menatap jam dipergelangan tangan kirinya, lalu kemudian kepalanya berkali-kali melirik jadwal penerbangan dilayar monitor.

Fian menghela nafas pelan sembari mencoba mengatur emosi dan ritme nafasnya yang tak beraturan. Pikirannya tertuju pada satu orang. Satu orang yang amat disayanginya dan satu orang itu kini tengah terbaring lemah dirumah sakit di Jepang sana.

“Aduh! Ini kok lama banget jadwal terbangnya.” Fian mengeluh. Ditatapnya jam dipergelangan tangan kirinya entah untuk yang keberapa kalinya. Didalam hatinya, lelaki itu tak hentinya berdo’a.

Lo harus kuat! Harus! Fian membatin.

*@muthiiihauraa*

            Atar mondar-mandir dikoridor kampus. Berkali-kali ia mencoba menghubungi Kitty, tapi nomor gadisnya itu tak aktif. Kekhawatiran memuncak diubun-ubun. Lelaki itu benar-benar bingung harus ngelakuin apa. Firasaatnya tak enak.

            “Heh ngapain lo mondar-mandir kaya setrikaan gitu?” Siska yang berdiri tak jauh dari Atar berusaha menegur. Atar seolah tak acuh, lelaki itu lebih terfokus dengan kekhawatirannya ketimbang omongan Siska.

            “Woi, budek lo ya?” Siska menghampiri Atar sembari mendorong bahu lelaki itu, membuat Atar mundur beberapa langkah. Atar mengernyit tak suka menatap Siska. “Apa sih lo kak?” ujar Atar kesal.

            “Lo yang apa? Lagi galau mikirin cewek lo yang demen banget boneka jelek hello kitty itu?” Cerocos Siska sinis tanpa sedikitpun merasa bersalah. Atar menatap Siska dengan sinis, sedangkan yang ditatap hanya menatap balek dengan wajah dibuat sepolos mungkin.

            “Bukan urusan lo!” Atar berlalu meninggalkan Siska. “Eh mau kemana lo? Gue pulang sama siapa nih? Mobil gue mogok oi!” Siska histeris saat Atar berjalan menjauh.

            “Atar! Gue bilangin nyokap entar. Awas lo!” Siska masih berteriak kesal. Telapak tangan gadis itu mengepal. Atar yang mendengar teriakannya seolah tak ambil pusing. Lelaki itu tetap berjalan menuju parkiran, meninggalkan Siska dengan emosinya.

            Gini nih punya kakak perempuan yang super resek!

 

Baca Artikel Populer Lainnya

0 komentar: