Tentang Mimpi #14

23.38 muthihaura 0 Comments

 

14

“Jadikan orang yang menyayangimu sebagai motivasi untuk maju.”

 

            Fian mematung didepan sebuah kamar rumah sakit. Mata lelaki itu tertuju pada seorang gadis yang terbujur diatas ranjang putih. Raut wajah gadis itu mengambarkan keletihan dan kesakitan. Hati Fian seperti keiris melihatnya.

            Lelaki itu menghela nafas pelan, lalu matanya melirik kearah sang mama. “Kok bisa gini sih Ma?” tanya Fian seolah menyalahkan. Tari menatap anak lelakinya itu sembari berdehem pelan. wajah perempuan itu tak bersinar seperti biasanya.

            “Kafta kecelakaan tunggal Fi. Papa bener-bener nggak tau apa yang ada dipikiran dia saat itu sampai harus nabrak trotoar.” Rico mencoba menjelaskan. “Kenapa papa dan mama nggak bisa jagain Kafta sih?” Lagi-lagi nada bicara Fian seolah menyalahkan. Menyalahkan bahwa semua yang terjadi pada Kafta adalah kesalahan orang tuanya.

*@muthiiihauraa*

            Nasya duduk terpaku dikursi depan ruang perpustakaan. Pikiran gadis itu melayang entah kemana-mana. Sebilah hatinya lagi-lagi terluka untuk yang entah keberapa kalinya. Nasya mengusap ujung matanya yang udah membentuk gumpalan air mata.

            Kenapa aku nggak bisa kuat sih? Kenapa aku harus cengeng? Nasya membatin. Gadis dengan tinggi 154 cm itu meraih sebuah amplop dari tasnya. Membuka amplop itu dan menatap rentetan kalimatnya dengan sedih.

            Ya, lagi-lagi surat penolakan dari sebuah penerbit. Penolakan yang entah untuk keberapa kalinya. Nasya menghembuskan nafas. Semua perasaan sedih itu berkecamuk dihatinya. “Apa aku emang nggak pantas untuk sukses?”

 

            Kenapa semua mimpi aku nggak ada yang kecapai? Kenapa rasanya susah banget? Apa aku harus menyerah? Apa aku nggak pantas untuk sukses? Apa memang jalan kesuksesan itu tertutup untuk aku.

            Ayah-bunda, maafin aku yang nggak pernah bisa bikin kalian bangga punya anak kaya aku. Aku capek. Nasya menghapus buliran air mata dari tangannya. Apa aku harus menyerah? Mengubur semua mimpi itu?

            “Kenapa nangis?” Sebuah suara khas nan maskulin mengampiri Nasya, membuat gadis itu gelagapan menghapus air matanya. “Kenapa kamu selalu nemuin aku disaat nangis?”

            “Mungkin gue ditakdirin buat ngapus air mata lo.” Cowok itu duduk disamping Nasya dan kata-kata cowok itu membuat Nasya tersedak. Cowok bernama lengkap Davian Reinaldo Dinata itu menatap selembar kertas dan amplop ditangan Nasya. Merebut kertas itu tanpa sempat meminta izin pada gadis disampingnya.

            “Davi! Balikin sini.” Nasya mencoba merebut kembali kertas itu dari tangan Davi, tapi akhirnya gadis itu menyerah saat Davi mulai membaca baris demi baris rentetan tulisan dikertas itu.

            “Novel aku selalu ditolak penerbit Dav. Always! Seberapa kuat pun aku berusaha buat gapai semua impian aku, tapi nyatanya nihil. Aku pengen jadi penyiar, tapi nggak lolos juga. Aku—ah entahlah.” Tutur Nasya dengan suara bergetar.

            Entah mengapa Nasya menceritakan semuanya dengan jujur. Baru kali ini Nasya begitu terbuka tentang masalahnya, masalah yang sebenarnya tidak ingin ia bagi dengan siapa pun termasuk ayahnya.

            Davi menutup surat itu, lalu kemudian menatap gadis yang duduk disampingnya. Davi dapat merasakan betapa sulitnya hidup seorang Nasya. “Lo harus kuat! JK.Rowling aja ditolak berkali-kali, tapi dia tetap berusaha untuk bangkit hingga karyanya bisa dikenal seluruh dunia.”

            “Tapi aku bukan JK.Rowling Dav. Aku nggak bisa sekuat dia. Aku hanya gadis cacat yang bermimpi menjadi putri dan bermimpi bisa menggenggam dunia.” Nasya menunduk sembari berusaha agar tidak mengeluarkan air mata.

            “Sya, tatap mata gue!” Davi meluruskan duduknya dihadapan Nasya. Gadis itu dengan ragu-ragu menatap mata Davi yang entah kenapa membuat degupan jantungnya lebih cepat. Nasya salah tingkah.

            “Lo tau arti nama lo?” tanya Davi membuat Nasya menggeleng pelan. Gadis itu sama sekali tidak mengerti maksud dari semua ucapan Davi. “Nasya Talitha Azalia. Artinya gadis ajaib yang selalu dilindungi. Banyak yang bakal ngelindungi lo Sya. Ada gue, ada ortu lo, dan yang pasti ada Allah. Lo harus ingat kalau Tuhan itu nggak pernah tidur. Berapa kalipun lo jatuh, lo harus kembali bangkit lagi.”

            Nasya mengalihkan pandangannya. Sama sekali tak sanggup menatap mata lelaki itu terlalu lama. Gadis itu menghela nafas pelan sembari mencoba menghapus gemuruh didadanya. “Tapi Dav, ak—”

            “Tapi apa? Orang sukses itu adalah orang yang mampu mengalahkan rasa pesimis dalam dirinya sendiri. Orang sukses itu adalah orang yang mampu tetap bertahan buat menggapai semua impiannya. Seberapa pun hambatannya-seberapa nggak diterimanya lo dalam lingkungan-seberapa nggak sempurnanya fisik lo dan seberapa-seberapa lainnya, lo harus tetap kuat.”

            “Kamu bisa ngomong gitu, karna kamu nggak pernah ngerasain apa yang aku rasain!” ucap Nasya lirih. Suara gadis itu naik beberapa oktaf. Nasya menatap nanar kedepan, sama sekali tak ingin melihat reaksi seorang Davi.

            Davi menghembuskan nafas pelan sembari ikut-ikutan menatap lurus kedepan. “Sya. Lo sa—”

            Nasya memutus ucapan Davi. “Kamu bilang apa Dav? Mau bilang aku salah? Hidup kamu itu sempurna Dav. Kamu punya segalanya. Semua orang sayang sama kamu. Kamu nggak ngerasain apa yang aku rasain.”

            “Ikut gue.” Davi berdiri. Nasya mendongakkan kepalanya kearah Davi tanda tak mengerti. “Ayo Sya ikut.” Davi mengulang permintaannya. Dengan susah payah, Nasya berdiri. Davi berjalan menuju ruang musik dengan Nasya dibelakangnya.

            Lo nggak ngerti. Ada yang nggak lo tau tentang gue Sya. Davi membatin, lalu untuk yang entah keberapa kalinya lelaki itu menghembuskan nafas.

*@muthiiihauraa*

            Fian menghantam tong sampah dihadapannya. Tak dipedulikannya pandangan mata orang-orang di koridor rumah sakit yang menatapnya bingung. Lelaki itu seolah tak ambil pusing. “Kenapa bisa begini sih dek?” Teriak Fian frustasi. Tentu saja dengan bahasa Indonesia yang tidak dimengerti oleh orang-orang yang mendengar teriakan itu.

            Lelaki berkulit coklat nan memiliki wajah ganteng manis itu berjalan menuju taman dan menduduki sebuah bangku paling ujung. Bangku yang jarang diduduki oleh orang-orang karna memang tempatnya agak tersembunyi.

            Fian menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya, lalu kemudian menjambak rambutnya kesal. Bayangan kejadian beberapa menit yang lalu masih terngiang dikepalanya dengan sangat jelas.

 

            Fian menatap bening mata Kafta. Mata itu menyiratkan kesakitan. Memang luka yang dialami Kafta tidak terlalu parah, tapi dimata Fian, Kaftanya telah terluka. “Kak Fi.” Suara Kafta nan lemah terdengar bahagia saat ditatapnya sang abang.

            “Iya ini gue. Gue pulang buat lo.” Fian membelai kepala Kafta dengan bahasa selembut mungkin. Disamping Fian berdiri Tari dan Rico yang juga ikut tersenyum. “Aku minta maaf.”

            “Nggak papa sayang. Kamu nggak salah kok.” Tari berujar lembut. Kafta menggeleng pelan. “Bukan soal itu.” Kening Fian dan kedua orang tuanya berkerut tak mengerti. Mereka diam menunggu lanjutan kalimat dari Kafta. Namun untuk beberapa menit kemudian Kafta tak kunjung bicara.

            “Maksud lo apa sih dek? Udah deh istirahat aja dulu yang baik ya.” Fian memberi saran. Kafta menoleh kedinding rumah sakit yang catnya tentu saja berwarna putih dengan aroma yang khas.

            “Aku hamil.” Dua kata yang terlontar dari bibir tipis  Kafta mampu membuat seisi ruangan terdiam. Kafta memejamkan mata, takut melihat reaksi orang-orang yang begitu disayangnya.

 

            Fian menggeleng. Mencoba menghapus episode itu dari benaknya. Aku hamil. Aku hamil. Entah kenapa kata-kata itu terus saja terngiang-ngiang dikepalanya. Kaftanya yang lugu. Kaftanya yang ia kira begitu polos. Shit! Fian mengumpat.

           

            “APA?” Rico mendekati ranjang Kafta. Kafta masih memejamkan mata. Sebuah tamparan yang tidak terduga-duga dari tangan Rico menghampiri pipi Kafta, membuat gadis itu meringis dan ranjang itu berderit pelan.

            “Pa. Sabar.” Tari mencoba menahan emosi suaminya. Fian masih diam mematung, sama sekali tak mengerti harus berbuat apa. “Sabar-sabar. Kamu liat anak kamu Tar! Liar! Anak kurang ajar. Nggak tau diri kamu.”

            Kafta meringkuk ketakutan dengan tangisannya tak bisa dibendungnya lagi. “Setelah semua yang telah kami beri untuk kamu, itu balasan kamu buat kami ha? Itu?” kata Rico dengan nada garang. Volume suara lelaki itu naik beberapa oktaf.

            Tari menangis disamping suaminya. Tentu saja ia kecewa, tapi ia juga tak tega melihat anaknya dibentak-bentak oleh suaminya sendiri. “KAMU NGGAK TAU DIUNTUNG!” teriak Rico.

            “CUKUP! Kenapa papa nyalahin Kafta sih? Ini semua nggak sepenuhnya salah dia. Ini salah papa dan mama. Salah kalian yang tak pernah memperhatikan kami. Salah kalian yang terlalu sibuk dengan semua bisnis yang kalian bangun.” Ucap Fian terbata-bata. Lelaki itu menahan degup emosi didadanya.

            Rico menatap Fian sinis. “Maksud kamu apa? Kamu nyalahin kami? Iya? Dasar kalian berdua tak tau trimakasih. Abang dan adek sama saja!”

            “Kami makasih banget sama papa dan mama atas semua harta yang kalian beri, tapi kami nggak butuh harta. Kami butuh perhatian papa dan mama. Kami butuh waktu kalian untuk menghabiskan hari bersama kami. Aku rindu saat kita masih tinggal bersama di Indonesia dulu. Semuanya begitu dekat. Dulu memang kita nggak kaya, tapi kami jauh lebih bahagia karna punya papa dan mama yang sangat menyayangi kami.” Fian menghela nafas.

            “Sejak kita kaya dan pindah kesini, papa dan mama jadi super sibuk. Kalian seakan punya kehidupan masing-masing, tanpa sadar kalian melupakan kami. Kami mencoba mencari pelampiasan kesenangan kami sendiri berupa kenakalan untuk mendapat perhatian kalian, tapi apa? Saat SMA, papa malah mengirim Kafta ke Indonesia. Papa pisahkan aku dengan Kafta yang begitu dekat.”

            “KAMU ITU ANAK BAU KENCUR TAU APA HA?” Rico kembali dengan emosinya. Tari mengelus pundak Rico, berharap bisa meredam emosi suaminya. “Udah pa. Ayo kita keluar dulu.” Tari menarik lengan suaminya dan membawa Rico keluar dari kamar rawat Kafta.

            Fian menatap Kafta yang sudah meringkuk dengan wajah dibenamkan disela-sela lutut. Selang infusnya sudah tercabut dari tangan gadis itu, meninggalkan bercak merah ditangannya. Fian menghampiri Kafta dan meraih gadis itu kepelukannya.

            “All is well.” Ucap Fian lirih. “Gue takut kak.”

            “All is well.” Fian mengulang kata-katanya sembari mengelus puncak kepala Kafta. Fian membuang nafas sembari mencoba melepas semua emosinya. “Siapa yang melakukannya dek?”

 

            “AAAAAKKKH! Sial!” Fian berteriak kencang. Dihapusnya sepenggal memori itu untuk beberapa saat, lalu kemudian lelaki itu mendongakkan kepalanya kelangit sembari memejamkan mata. All is well. Bisik hati kecilnya.

*@muthiiihauraa*

            Nasya bertepuk tangan setelah selesai mendengarkan permainan piano Davi. “Aa keren banget Dav! Sumpah. Ini permainan piano terkeren yang pernah aku dengar.” Nasya memuji secara tulus. Kata-katanya barusan keluar dari hati karna memang permainan piano barusan adalah permainan piano terindah yang pernah ia dengar.

            Davi masih mematung dihadapan pianonya. Tangannya masih berada beberapa senti meter dari tuts pianonya. Perasaan lelaki itu bergejolak seakan ada shock terapi yang dialaminya. “Dav? Are you okay?” Nasya menghampiri Davi dan menatap lelaki itu dengan bingung.

            “Dav kenapa?” Nasya menyenggol bahu Davi, membuat lelaki itu tersadar dan buru-buru mengusap keningnya yang penuh keringat. “Ha? Apaan?” Tanya Davi.

            “Itu permainan yang keren banget Dav. Asli. Kenapa nggak pernah cerita kalau kamu pandai main piano?” Nasya tertawa sumbringah seakan tak menyadari ada perubahan didiri Davi.

            Davi menatap tuts piano sembari berucap pelan. “Piano itu sahabat gue sejak dulu dan gue bercita-cita menjadi seorang pianist handal. Dulu.”

            Nasya mengernyit mendengar penuturan Davi. “Dulu? Sekarang?”

            “Sekarang gue nggak berani bermimpi terlalu tinggi. Hidup gue hancur.” Davi menghindari tatapan Nasya sembari menghembuskan nafas.  Nasya menatap Davi dengan tanda tanya besar dikepalanya. “Kamu sendiri yang bilang ke aku kalau tiap orang itu berhak bermimpi tinggi, kenapa sekarang malah kamu yang melanggar kata-kata itu?”

            “Lo nggak ngerti Sya.” Davi masih menghindari tatapan Nasya. Lelaki itu menghembuskan nafas pelan. “Apa yang nggak aku ngerti Dav? Apa? Aku yakin kamu pasti bisa jadi pianist. Aku yakin itu. Orang lain aja yakin terhadap kemampuan kamu, kenapa kamu nggak yakin terhadap kemampuan diri kamu sendiri?”

            Davi terdiam. Mencoba mencerna setiap kalimat Nasya. Didalam hati diiyakannya juga kalimat itu. Sudah banyak orang-orang yang mendorongnya untuk terus bermain piano. Untuk terus bermimpi menjadi seorang pianis, namun ia menepisnya dengan keyakinan bahwa ia tak akan bisa.

            “Kamu sendiri yang menyuruh aku untuk semangat menggapai impian aku. Kamu juga yang bilang bahwa seenggak sempurna apa pun hidup aku, aku harus tetap memperjuangkan semua mimpi aku. Tapi kenapa tidak kamu lakuin juga kediri kamu sendiri?” tanya Nasya berapi-api.

            “Akan ada waktu dimana mimpi kamu dan mimpi aku akan terwujud. Dan disaat waktunya telah tiba, nggak akan ada orang yang berani meremehkan kita lagi. Mungkin sekarang kita masih kepompong yang baru bermetamorfosis menjadi ulat. Ulat yang menjijikkan. Ulat yang keberadaannya tak diperhitungkan, tapi saat ulat itu kemudian terus bermetamorfosis menjadi kupu-kupu, semua orang akan memuji sikupu-kupu itu.” kata Nasya panjang lebar.

            Davi menatap Nasya tepat dimanik mata gadis itu. Membuat Nasya merasa sedikit salah tingkah. Tatapan itu semakin intens. “Apa sih?” tanya Nasya sembari mencoba menghindari tatapan Davi.

            “Hey, sejak kapan lo sedewasa itu Sya?”

            Nasya terdiam, lalu mencoba mencerna kata-kata yang diucapkannya tadi. “Iya ya? Sejak kapan aku sedewasa itu?” Nasya menggaruk kepalanya yang tak gatal. Davi tertawa tepat dihadapan Nasya. Diam-diam gadis itu mengagumi tawa Davi, lalu kemudian tersenyum tipis.

            Melihat tawa kamu, entah kenapa membuat jantungku berdegup lebih kencang. Apa aku boleh ehm.... mencintai makhluk sesempurna kamu Dav?

Baca Artikel Populer Lainnya

0 komentar: