Tentang Mimpi #15
15
“Kamu tau namaku, tapi tidak dengan cerita hidupku.”
Rico dan Tari duduk disamping tempat tidur Kafta sembari menatap Kafta yang tengah tertidur. Wajah gadis itu tampak pucat dan kelelahan, tidak seperti Kafta yang mereka kenal yang selalu memancarkan aura kebahagiaan.
Tari menghela nafas pelan. mengelus-elus lembut pergelangan tangan sang anak sembari merasa menjadi seorang ibu yang tak becus. Tari sama sekali tak menyangka bahwa gadis kecilnya yang dulu selalu merengek-rengek meminta boneka, kini telah dewasa. Bahkan tengah hamil pula.
“Pa.” Tari membuka pembicaraan. Rico menoleh sekilas pada Tari.
“Mama jadi kepikiran semua kata-kata Fian kemaren. Apa kita memang bukan orang tua yang baik bagi mereka pa? Apa kita udah terlalu mengacuhkan mereka hingga kini kita tak lagi mengenal kedua buah hati kita?” tanya Tari.
Suara wanita setengah baya itu berubah parau. Ada sebuah gejolak yang ingin meledak dihatinya yang berusaha sebisa mungkin untuk ditahannya.
Rico berdehem pelan sembari matanya menatap jam dinding kamar rumah sakit. Sama sekali sebenarnya lelaki itu tidak ingin melihat jam, hanya saja itu cara yang bisa ia lakukan untuk menghilangkan sedikit grogi didirinya.
“Mungkin Ma. Papa ngerasa bersalah banget sama mereka. Papa tau papa terlalu sibuk dengan semua bisnis yang papa bangun dengan harapan bisa ngasih mereka semua yang mereka inginkan, tapi kita lupa bahwa mereka tidak hanya membutuhkan materi. Mereka butuh kita Ma.” Rico membelai pipi Kafta. Pipi gadis kecilnya yang sekarang sudah terasa asing baginya. Pipi yang kemaren ia tampar dan sekarang ia masih sangat menyesalinya.
Tari merebahkan kepalanya dibahu suaminya. “Bisa kita ulang dari awal semuanya pa? Kita perbaiki semuanya? Mungkin nggak akan sama kaya dulu lagi, tapi setidaknya kita nggak akan kehilangan anak-anak kita untuk yang kedua kalinya.”
Air mata Tari tak bisa dibendung lagi. Wanita itu menangis sesegukan dibahu suaminya. Mungkin penyesalan memang terlambat, toh Kafta-nya telah hamil, tapi bukan berarti semuanya tidak bisa diperbaiki kan?
Kafta menggeliat pelan. Segaris senyum dibibir mungil milik gadis itu terbentuk tanpa kedua orang tuanya sadari. Ya, Kafta memang hanya berpura-pura tidur dan tentu saja ia mendengar semua percakapan itu dengan sangat jelas.
Kalian kembali Pa-Ma? Kalian kembali menjadi papa dan mama yang Kafta kenal. Maafin Kafta, tapi sepertinya kehamilan ini membawa berkah untuk keluarga kita kan? Kafta sayang kalian.
*@muthiiihauraa*
Malam ini setelah semua tugas kuliah selesai, Nasya duduk didepan laptopnya. hamparan microsoft word yang baru diisi beberapa baris kalimat menghanyutkan gadis itu. Davi. Sebuah nama itu tiba-tiba menghampiri benak Nasya.
Masih terekam jelas dimemori gadis itu tentang Davi saat memainkan piano dan tentang cerita yang lelaki itu ceritakan. Nasya merasa Davi memiliki sebuah rahasia. Rahasia tentang dirinya yang siapapun tidak mengetahuinya.
“What’s wrong with you, Dav? Kemaren itu, kamu bukan seperti Davi yang aku kenal. Apa yang kamu sembunyikan?”
*@muthiiihauraa*
Atar menggenggam bola basket ditangannya. Lelaki itu tepar di taman depan rumahnya yang memang memiliki lapangan bola basket. Atar membuang nafas pelan sembari menghilangkan penat ditubuhnya.
“Lo Atar?” Sebuah suara mengagetkan Atar. Lelaki itu menatap sang pemilik suara yang sama sekali tak dikenalnya. Atar bangun dari tidurnya. Digelindingkannya bola basketnya agar menjauh dari dirinya.
“Ada apa?” Tanya Atar sinis. Ujung mata Atar menangkap nada kebencian dari raut wajah dihadapannya. Tanpa pikir panjang lelaki yang menemui Atar itu memberikan beberapa bogeman mentah diwajah Atar.
Atar mengaduh kesakitan. Tubuhnya sudah tersungkur kelantai, tapi lelaki itu seperti kesetanan. Saat Atar melihat lelaki itu mulai kelelahan, didorongnya tubuh lelaki itu sekuat tenaga hingga lelaki itu pun ikut tersungkur ditanah. Atar berdiri, lalu kemudian menindih dan mengunci tubuh lelaki itu.
“Lo itu siapa? Ada masalah apa?” Tanya Atar disela-sela sisa tenangnya. Diberikannya sebuah bogeman mentah kewajah lelaki itu. “Jawab pertanyaan gue!” bentak Atar.
“Lo itu bangsat! Lo udah ngehamili adik gue!” Ucap lelaki itu dengan sinar amarah yang terlihat jelas dimatanya. Atar lemas. Kunciannya mengendur. Wajah Kitty mampir dibenaknya. Hamil? Kenapa dia nggak cerita? Apa ini alasan dia tak pernah menghubungiku lagi?
*@muthiiihauraa*
Davi menelan makanannya dengan susah payah. “Kenapa Dav? Nggak enak ya?” Puja menatap cucunya itu dengan wajah khawatir.
“Enak kok nek.” Davi membentuk segaris senyum diwajahnya. Puja mengangguk mencoba percaya, lalu kemudian wanita itu menatap kearah ruang tamu. Sesosok tubuh jangkung masuk dengan wajah yang setengah babak belur.
“Fian? Kamu kenapa?” Puja menghampiri Fian dengan kekhawatiran yang sangat kentara. Davi ikut-ikutan meninggalkan meja makan menuju kearah Fian berdiri. “Kenapa lo? Pulang dari Jepang kok malah babak belur gitu?” tanya Davi dengan kening berkerut.
“Nggak papa kok. Tadi habis ngelawan jambret aja. Fi keatas dulu ya nek. Capek.” Fian menaiki tangga tanpa seidikitpun berniat mendengar jawaban neneknya. Puja hanya menghela nafas pelan, padahal ada banyak pertanyaan dibenaknya, terutama tentang Kafta.
“Mungkin dia capek nek, udah nggak usah khawatir.” Davi memijat lembut bahu Puja sembari tersenyum pelan. “Davi kekamar juga ya nek? Bye!” Davi mencium kening Puja lalu kemudian meleset dengan cepat menaiki tangga.
Puja menatap tubuh Davi yang makin lama makin menghilang. Wanita yang berusia 60-an tahunan itu menghela nafas pelan. Bagi Puja cucu-cucunya begitu susah ditebak. Terlalu banyak teka-teki.
Fian yang sudah berada dikamarnya berjalan menuju balkon. Ditatapnya langit malam dengan beribu bintang. Pikiran lelaki itu mengembara kekejadian beberapa jam yang lalu saat ia dengan sukses menemukan alamat rumah Atar dan menghajar lelaki itu.
Fian sama sekali tak pernah menyangka bahwa dua bulan yang lalu Kafta menyusulnya ke Indonesia. Dan kedatangan gadis itu ke Indonesia bukan untuk bertemu dengannya, tapi lebih untuk bertemu kekasih yang ia kenal sejak SMA. Kekasih saat ia bersekolah di Indonesia.
Atar. Nama itu berdengung dikepala Fian, membuat Fian menggerutu pelan sembari memegangi pipinya yang terkena bogeman.
“Apa? Kafta hamil?”
“Alah! Nggak usah sok nggak tau lo! Sekarang dia terbaring dirumah sakit gara-gara kecelakaan dan itu semua gara-gara lo!” Fian mendorong tubuh Atar yang berada diatasnya. Atar seakan tak melakukan perlawanan sedikitpun.
“Gimana keadaannya?” tanya Atar khawatir. Bukan dibuat-buat, tetapi lelaki itu benar-benar merasa khawatir. “Lo masih berani nanya keadaannya? Dia hampir aja mati BEGO!”
Atar memejamkan matanya. Wajah hello kitty alias Kafta muncul dibenaknya. “Gue akan tanggung jawab. Gue cinta sama dia!” ucap Atar mantap. Fian menatap wajah Atar, mencoba mencari kesungguhan disana dan ia menemukan itu.
Fian menghela nafas pelan. Ada sedikit perasaan lega dihatinya saat mendengar janji Atar yang akan bertanggung jawab. Setidaknya anak yang dikandung Kafta tetap akan lahir dengan memiliki seorang ayah.
“Are you okay?” Sebuah suara maskulin dibelakang pintu menghancurkan setiap pikiran Fian. Fian menoleh malas kearah pintu. “I am okay. Udah nggak usah sok peduli gitu lo.” ucap Fian sinis dengan nada sedikit melembut.
Davi yang berada dibelakang pintu mengangguk walau ia tau Fian tak akan melihat anggukan kepalanya. “Okelah kalau gitu. Butuh sesuatu panggil gue.” Kata Davi tulus. Mungkin udah saatnya memperbaiki hubungan dengan Fian. Davi membatin sembari melangkah menuju kamarnya yang tepat berada disebelah kamar Fian.
Davi memasuki kamarnya dan langsung merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Entah kenapa badannya terasa begitu sakit. Terutama bagian pinggang. Ah, penyakit ini berlahan tapi pasti akan mulai ngejatuhin gue.
0 komentar: