Tentang Mimpi #18
18
“Manusia hanya bisa berencana dan hanya Allah yang menentukan.”
Kafta menoleh pada Atar yang duduk disampingnya. Lelaki itu tampak gagah dengan stelan putih khas baju pengantin. Hari ini adalah hari bahagia untuk Kafta, dimana ia telah resmi menjadi istri dari seorang Atar Saputra. Gadis itu sangat bersyukur karna memiliki keluarga yang mau mendukung semua keputusannya, begitu juga dengan keluarga Atar.
Tak perlu perundingan lama untuk menentukan segala tetek-bengek pernikahan karna baik keluarga Atar ataupun keluarga Kafta mau bekerja sama dengan baik. Dan tepat ditanggal 19 Juni ini acara pernikahan mereka digelar di Indonesia, di hotel Jiraya.
“Lo cantik hari ini.” Atar menggenggam lembut tangan kanan Kafta, diikuti senyuman tulus lelaki itu. Kafta membalas senyum Atar. “Lo juga ganteng banget hari ini.”
Disaat teman-teman seusia mereka tengah sibuk bermain bahkan gonta-ganti pacar atau aborsi, mereka menetapkan pilihan untuk berkomitmen. Kafta menghela nafas pelan sembari matanya menatap satu persatu tamu yang tengah menikmati santap malamnya.
Awal kehamilan ini, gue ngira hidup gue bakal berakhir. Semua mimpi gue hancur disebabkan oleh kenikmatan sesaat. Masa depan gue terasa suram! Tapi mungkin gue termasuk orang yang beruntung. Allah masih sayang sama gue. Gue masih punya keluarga yang mau nerima gue apa adanya. Gue punya lelaki yang mau bertanggung jawab atas tindakannya.
Kalau nggak? Mungkin hidup gue bakal benar-benar the end! Gue berharap semoga Cuma gue yang ngerasain hamil diluar nikah gini, mudah-mudahan nggak ada gadis-gadis lainnya. Mending kejar semua impian dulu, baru mikirin nikah!
“Hey ngelamun apa?” Atar menyenggol bahu Kafta, membuat gadis itu menghilangkan setiap kata-kata dibenaknya. “Eh nggak. Cuma ngerasa beruntung aja dapetin lo yang mau tanggung jawab. Kasihan cewek-cewek lain yang MBA, tapi cowoknya kabur gitu aja.”
“Sekali lagi gue minta maaf karna udah menghancurkan setiap mimpi lo!”
“Nggak ada yang perlu disesali. Mungkin ini udah takdir kita. Kita bisa perbaiki diri kan? Kita bisa ulang dari awal kan? Kita rajut mimpi kembali.” Kafta tersenyum bijak. Entah kenapa ia merasa sangat bijak mengatakan kata-kata barusan.
Atar tersenyum. “Lo dewasa sekarang ya? Tentu kita akan rajut mimpi indah berdua!”
“Kok berdua? Bertiga dong, sama yang ini!” Kafta mengelus perutnya yang mulai membuncit. Atar tersadar, lalu kemudian tersenyum dan mengangguk pasti. Ada tekad kuat dipancaran mata Atar. Tekad untuk membahagiakan orang yang amat disayang dan dicintainya. Tentu saja juga untuk memperbaiki semuanya.
Inilah aku apa adanya
Yang ingin membuatmu bahagia
Maafkan bila ku tak sempurna
Sesempurna cintaku padamu
(cinta kita- Teuku Wisnu feat Shireen Sungkar)
*@muthiiihauraa*
Nasya mondar-mandir diruang tamu dengan gelisah. Sesekali matanya melirik jam didinding ruang tamunya. Gadis itu menghela nafas pelan. “Aduh, ayah kok belum pulang ya?” Dengan gelisah Nasya menatap layar handphonenya.
“Kenapa kak?” tanya Al yang menangkap kegelisahan Nasya. Nasya tersenyum, lalu kemudian mengelus kepala bocah kecil itu. “Nggak papa. Kakak Cuma lagi nunggu ayah. Kok tumben ayah pulang telat ya, padahal kakak lagi buru-buru nih.”
Al yang seakan tak mengerti kembali asik mencoret-coret buku gambarnya. Nasya menghela nafas pelan, lalu kepalanya kembali melirik kesana-kemari. Berharap sang ayah cepat pulang sehingga ada yang ngejaga Al dirumah.
Saat mendengar bunyi honda sang ayah, Nasya bernafas lega. Senyum kecilnya tersungging. “Alhamdulillah.” Desisnya pelan. Nasya menyongsong kedatangan ayahnya didepan pintu rumahnya.
“Assalamua’laikum.” Sapa Andi seperti biasanya yang langsung dijawab serentak oleh Nasya dan Al. “Alhamdulillah ayah udah pulang. Sya izin bentar ya yah keluar, boleh nggak?” Nasya menatap Andi penuh harap.
Andi menyikapi dengan bijak. “Boleh, asal pulangnya jangan larut malam ya. Hati-hati! Ayah percaya sama kamu. Jangan rusakin kepercayaan ayah.” Nasya tersenyum mendengar jawaban ayahnya. Tanpa basa-basi, Nasya mencium punggung tangan kanan Andi dan berjalan terpincang-pincang menuju motornya.
*@muthiiihauraa*
Davi melirik jam yang melingkar indah dipergelangan tangan kirinya, lalu tatapannya kemudian mengarah pada bangku penonton. Sosok yang ditunggunya belum juga kunjung datang, padahal Davi sangat berharap sosok itu ada menyaksikan permainan pianonya.
“Ayo Dav, semangat! I love you!” Teriakan Siska dari bangku penonton membuat Davi sedikit malu. Ditundukkannya kepalanya memandangi tuts-tuts piano. Davi menghela nafas. Ditahannya segala rasa sakit yang masih bersemayam ditubuhnya. Kakinya yang membengkak juga membuat ruang geraknya terbatas. Bahkan untuk naik keatas panggung aja, Davi dibopong oleh Fian.
Lo kemana? Apa nggak datang? Gue takut kalau ini terakhir kalinya gue bermain piano dan lo nggak ngeelihatnya. Davi membatin, lalu matanya kembali menatap pintu. Berharap sosok itu akan muncul. Beberapa penonton sudah terlihat tak sabar untuk mendengarkan permainan piano dari Davi.
Fian menangkap kekhawatiran dari wajah Davi dan lelaki itu tau alasannya. Fian berjalan kearah pintu. Menunggu Nasya disana. “Sya buruan datang!” Fian berguman sendiri. Saat dilihatnya Nasya turun dari motornya, Fian berjalan menghampiri Nasya dan mengandeng tangan gadis itu agar berjalan lebih cepat.
“Dav, ayo dimulai!” Puja mengingatkan. Davi menatap sang nenek, lalu lagi-lagi mengarah kepintu. Senyum pemuda itu mengembang saat orang yang ditunggunya datang, tapi senyuman itu kemudian memudar saat melihat Fian mengandeng tangan Nasya. Ada sebilah rasa sakit dihatinya.
Davi kembali menghembuskan nafas sembari mencoba berfikir positif. Jarinya bermain di tuts-tuts piano. Nasya menatap Davi. Menatap lelaki yang amat dikangeninya itu. Mata gadis itu berkaca-kaca saat melihat Davi memainkan sebuah instrumen lagu yang ia tidak tau judulnya tapi sukses membuatnya merinding.
“Lagu ini gue persembahkan untuk seorang perempuan yang spesial. Untuk seseorang yang mengajarkan gue banyak hal. Untuk seseorang yang telah membuat gue menjadi orang bijak dihadapannya. Lagu coldplay yang berjudul fix you, gue persembahkan untuk lo wahai gadis perajut mimpi.” ucap Davi dari arah panggung. Tangannya masih asik menekan tuts-tuts piano sehingga menciptakan melodi yang indah.
Arah mata Davi tertuju pada Nasya dan gadis itu terpaku menatap Davi. Lagu buat aku kah? Entah kenapa Nasya ingin menangis saat ini juga. Baru kali ini ada seorang lelaki yang memberikannya sebuah lagu, dengan instrumen piano lagi.
When you try your best, but you don’t succed
When you get what you want, but not what you need
When you feel so tired, but you can’t sleep
Stuck in reverse
And the tears come streaming down your face
When you lose something, you can’t replace
When you love someone, but it goes to waste
Could it be worse?
Semua penonton terpaku. Lagu dan permainan pianonya mencengangkan dan tentu saja membuat merinding. Davi mengatur nafasnya, lalu kembali melanjutkan lagunya.
Lights will guide you home
And ignite your bones
And i will try to fix you
And high up above or down below
When you’re too in love to let it go
But if you never try you’ll never know
Just what you’re worth
Nasya mengusap air matanya yang tak bisa ia bendung dengan punggung tangan kanannya. Fian menatap Nasya. “Yaelah gitu aja nangis. Cengeng banget sih lo!” kata Fian. Nasya seolah tak acuh dengan ucapan Fian, perhatiannya tersedot oleh penampilan Davi yang menurutnya sangat luar biasa.
Lagu itu kenapa aku banget ya? Nasya membatin. Davi menatap Nasya sembari tersenyum. Lagu itu sudah berakhir dan semua penonton bertepuk tangan sambil berdiri. Standing applause. Begitu juga dengan Nasya.
“Luar biasa Dav! Sangat.” kata Nasya pelan, tapi gerakan bibirnya mampu terbaca oleh Davi. Nasya mengacungkan jempolnya yang lagi-lagi dibalas senyuman tipis khas Davi. Lelaki itu berdiri, tapi kakinya yang membengkak seakan tak bisa digerakkan. Bila digerakkan akan terasa begitu sakit.
Please kaki jangan sekarang! “Bismillah.” Davi mencoba melangkah, tapi karna tak kuat menahan sakitnya, tubuh lelaki itu jatuh kelantai panggung. Nasya yang memang menatap Davi sejak tadi berteriak histeris. “Davi!”
Dengan langkah terpincang-pincang, Nasya berlari menghampiri Davi. Suasana kontan menjadi ribut. Kamu kenapa Dav?
*@muthiiihauraa*
Nasya duduk diatas tempat tidurnya dengan gelisah. Kejadian tadi begitu cepat baginya, tanpa sempat ia cerna makna demi maknanya. Seperti mimpi. Bayangan wajah Davi muncul dibenak Nasya, membuat tangis gadis itu tak mampu dibendungnya.
“Dav, kenapa nggak pernah cerita? Kenapa jadi orang yang selalu sok kuat didepan aku? Kenapa Dav?” Tangisan Nasya semakin kencang. Dipeluknya erat sebuah kotak bersampul biru bercampur pink yang tadi dikasih Fian.
“Sya, gue antar pulang yuk? Udah malam banget ini.” Fian menghampiri Nasya yang tengah terduduk lemas dibangku tunggu rumah sakit. Davi masuk UGD dan masih dalam penanganan dokter. Tangis Nasya tak terbendung.
“Aku mau disini. Pengen tau kondisi Davi.” ucap Nasya lemah. Mata gadis itu sembab. Fian menghembuskan nafas, lalu melirik kearah jam tangan dipergelangan tangan kirinya.
“Udah jam 11 malam, nggak baik cewek jam segini belum pulang. Nanti keluarga lo khawatir lagi.” Fian kembali mengingatkan. Nasya berdesis pelan. Wajah khawatir Andi terngiang dibenaknya.
“Janji bakal ngabarin aku setiap kondisi Davi?” Nasya mengacungkan jari kelingkingnya. Persis seperti anak kecil. Fian memandanginya dengan heran, lalu kemudian tersenyum dan menautkan jari kelingkingnya.
Ini kali pertamanya cowok itu tersenyum tulus kearah Nasya. “Yuk pulang! Oh ya, ini buat lo.” Fian membuka tas ranselnya, lalu mengulurkan sebuah kotak berukuran sedang dengan bungkus kado biru bercampur pink. Warna kesukaan Nasya.
Nasya menatap kotak itu, lalu memandang Fian dengan bingung. “Dari Davi. Baru ingat buat ngasih ke elonya sekarang. Sorry!” Fian menjelaskan tanpa diminta. “Oh. Thanks!”
Nasya memandangi kotak itu. Tangan kirinya meraba setiap sisinya. Setelah asik memandangi setiap sudut dari kotak, dengan berlahan Nasya membuka kotak berukuran sedang itu.
Gadis bernama lengkap Nasya Talitha Azalia itu menatap isi kotak dengan tertegun. Sebuah buku karya Oki Setiana Dewi yang berjudul ‘melukis pelangi’, sebuah jilbab berwarna biru muda, dan sebuah dress panjang yang terlihat sangat anggun.
“Makasi Dav! Tapi maksudnya apa?” Nasya memandangi semua isi kotak itu dengan bingung. Diraihnya buku melukis pelangi. Saat hendak membuka buku itu, sebuah surat meluncur kelantai. Nasya menatap surat itu, lalu meraihnya dan membukanya dengan tergesa-gesa dengan harapan semoga akan menemukan jawaban disana.
Hay gadis perajut mimpi. Bagaimana kabarnya? Nggak usah menghawatirkan keadaan gue, gue nggak papa kok. Hanya penyakit ‘biasa’ yang mematikan. Iya mematikan, nggak usah speclass gitu ngedengarnya. Setiap manusia memang pada akhirnya bakal mati kan? Ibarat sebuah rumah. Kita keluar-pergi-jalan-kerja, semuanya kita lakuin ninggalin rumah. Tapi sejauh apapun kita ninggalin itu rumah, selama apa pun, tetap pada akhirnya kita akan pulang kerumah kan? You know what i mean? Ah sudah lupakan!
Jangan lupa bukunya dibaca ya. Banyak pencerahan dari buku itu tentang mimpi dan juga pastinya tentang sebuah hidayah untuk berhijab syar’i. Suatu hari nanti gue berharap lo bisa seanggun dan sesolehah kak Oki. Amin. Semoga Allah selalu ngejagain lo.
Kejar semua impian lo! Buktikan kalau lo itu bukan ‘nothing’. Balas semua kejahatan mereka dengan semua prestasi dan karya lo. Buktikan! Gue ingin ngelihat lo sukses. Sekuat apa pun orang-orang pengen ngejatuhin lo, lo harus kembali bangun oke?
Tatap dunia dengan positif dan lo harus banyak-banyak belajar bersyukur. Jadikan semua hambatan atau kekurangan fisik lo sebagai motivasi untu maju. Lo masih jauh lebih beruntung Sya, lo memang ada kekurangan fisik, tapi lo nggak menderita penyakit yang mematikan. Beda dengan gue. Gue ‘sakit’. Sakit Sya dan gue capek. Gue lelah. Gue pengen tidur. Gue menderita kanker hati Sya. Sakit, bahkan buat nelan makanan pun gue susah. Tapi gue bisa apa kan? Mungkin ini takdir terbaik yang Allah kasih ke gue.
DEG! Nasya tertegun. Air matanya meleleh tak terbendung. “Kanker hati Dav? Separah itukah?” Tubuh gadis itu terguncang mengikuti isak tangisnya. Wajah Davi muncul dibenaknya. Nasya kembali menatap surat itu dan melanjutkan bacaannya.
Sya, kalau suatu hari gue pergi, lo jangan nangis ya. Nggak boleh sedih. Nggak boleh down. Janji sama gue untuk ngejar semua impian lo, oke? :D Gue capek, gue pengen ketemu bokap-nyokap gue. Gue rindu banget sama mereka. Jaga diri baik-baik dan jadilah wanita sholehah. Wanita yang tidak hanya menjadi bidadari didunia, tapi juga bidadari diakhirat. Amin! Titip nenek dan Fian ya! Fian itu sepupu gue.
Satu hal yang perlu lo tau Sya, gue sayang lo!
-Davian Reinaldo Dinata-
Nasya terisak. Dipeluknya surat itu hingga surat itu menjadi lecet. Davi. Nama lelaki itu terngiang-ngiang dibenaknya. Lelaki terbaik dalam hidup Nasya setelah ayahnya. Lelaki yang tidak hanya memandangnya dari segi fisik. Lelaki yang seakan menutup mata atas semua kekurangannya.
“Davi.” ucap Nasya lirih ditengah isak tangisnya. Hal yang tak pernah sedikitpun disangka oleh Nasya bahwa dibalik kesempurnaan fisik Davi, ternyata tersimpan sebuah penyakit.
Kenapa kamu nggak pernah cerita kalau kamu sakit? Kenapa kamu nyembunyiinnya dari aku? Apa kamu nggak percaya aku? Kenapa harus kamu yang selalu menyemangati aku? Kenapa bukan aku yang nyemangati kamu padahal jelas-jelas kamu lebih butuh semangat ketimbang aku. Aku jahat banget ya?
Hati Nasya terasa sesak. Beribu tanda tanya yang tak tau jawabannya muncul dibenak Nasya. Gadis itu merasa jadi orang yang sangat jahat. Jahat karna merasa menjadi orang yang paling menderita didunia, sehingga butuh penopang untuk menyemangatinya. Padahal penopang itu jauh lebih butuh semangat.
“Kenapa kamu pakai topeng didepan aku? Sok-sok jadi orang yang kuat dan tanpa ada masalah, tapi nyatanya?” Nasya mengatur nafas. Diusapnya air mata yang membasahi wajahnya dengan tangannya.
Ujung mata Nasya tertuju pada jam dinding, lalu gadis itu berdesis pelan. Dilangkahkannya kaki pincangnya kearah WC dan dibasuhnya tubuhnya dengan air wudhu.
0 komentar: